Slider[Style1]

PSKQ dalam Liputan

Style2

Style3[OneLeft]

Style3[OneRight]

Style4

Style5

Style6

Style7

Style8

Style9

KHATH KUFI FATHIMIYYAH





































KALIGRAFI IJADAH & KALIGRAFI IJAZAH

Assiry gombal mukiyo, 30 Maret 2017

 
Tidak sedikit dari kita terus menyuarakan untuk terus belajar kaligrafi bersanad. Bahkan ada juga yang paling lantang meneriakkan bahwa belajar kaligrafi harus bersanad sedangkan yang belajar kaligrafinya tidak bersanad kepada Guru Kaligrafi yang jelas dianggap menyesatkan.

Sah dan boleh -boleh saja mau belajar kaligrafi dengan sanad guru yang jelas atau tidak. Yang terpenting terus belajar dan mau berbenah. Kekuatan seorang Kaligrafer besar letaknya pada karya yang dihasilkan (ijadah) bukan menggantungkan pada setifikat pengakuan (ijazahnya) semata.

Berbahagialah bagi yang belajar langsung dengan para Maestro besar kaligrafi dunia, tetapi itu bukan sebuah jaminan bahwa karya -karyanya juga berkelas dan berkualitas kemudian menganggap yang tidak belajar langsung kepada Master karyanya dianggap remeh.

Bahkan ratusan Kaligrafer -Kaligrafer hebat Indonesia dan dunia yang belajar kaligrafi tidak secara langsung bertemu dengan para Master kaligrafi dunia, hanya belajar kaligrafi melalui karya -karyanya.

Semua dari kita harus tetap bergandengan tangan saling berfastabiqu al khairat, saling asah, asih dan asuh. Yang sudah bisa memberikan ilmunya kepada yang belum bisa, sebaliknya yang masih pemula jangan sungkan dan malas belajar. Yang sudah mapan dan berpengalaman Jangan pelit berbagi ilmu dan menunjukkan kepada yang masih pemula jangan malah "diumpetin".

Pernah suatu ketika Khulusi Afandy yang tidak lain adalah Guru satu-satunya dan juga Paman Syauqy afandy pernah menyarankannya untuk melanjutkan belajar kaligrafi kepada kaligrafer lain yang lebih hebat semisal Musthafa Izzat Afandi. tetapi Syauqi tidak mau. Ia berkata :
" Aku tidak akan pergi kepada kaligrafer lain selain engkau ".

Meski Syauqy tidak belajar kaligrafi langsung kepada kaligrafi lain. Tetapi ia mempelajari secara otodidak karya karya kaligrafer besar semacam Hafidz Usman, dan kakak beradik Ismail Zuhdi dan Musthafa Raqim.
Syauqi pun berkata : "Mereka telah mengajariku kaligrafi melalui alam imaginasi meskipun aku tidak bertemu dengan mereka."

Bahkan Sami Afandy, yang juga seorang teman dekatnya pernah berkata mengenai Syauqi: "Syauqi Afandy tidak bisa menulis jelek walaupun dia menginginkannya". Guru hanya membantu yang menentukan bagus atau tidaknya kualitas karya kita ya diri kita sendiri dengan tidak putus-putusnya belajar. Guru saya KH.Didin Sirojuddin Ar pernah berujar:
"Belajar kaligrafi itu bukan bersanad kepada Guru tapi kepada kebenaran dan prinsip- prinsip standar akurasi. Guru memang membantu."

Jangan putus asa dan minder jika anda termasuk salah satu dari ribuan orang yang belajar tidak dengan guru kaligrafi yang bersanad seperti saya. Teruslah belajar jangan pernah berhenti sampai ujung kematian menjemputmu.

SARKUB

Ahmad Mustofa Bisri, 30 Maret 2017



Aku sedang duduk sendiri di ruang tamu, setelah tamu-tamu pamit pulang, ketika datang seorang tua berpakaian petani, seperti baru saja mentas dari sawah.

Begitu sampai pintu rumah, dia buka tudung kepalanya dan dengan berjongkok dia mendatangiku. Aku buru-buru mendapatkannya dan 'mendudukkannya' di sebelahku.

Dengan sangat sopan, dia memperkenalkan dirinya. (MasyaAllah, aku kaget setengah mati. Inikah tokoh yang selama ini diceritakan orang dengan berbagai sebutan, seperti Kiai Khos, Kiai Nyentrik, 'Kiai jalanan', bahkan ada yang terang-terangan menyebutnya sebagai Wali? Kiai yang sering menolong orang dengan menyamar sebagai orang lain?). Selain ingin bersilaturahmi, tamu istimewaku itu minta izin untuk memberi sekedar 'uang jajan' kepada anak-anak TK Masyithoh yang letaknya di sebelah rumah. Dia minta tolong ibu guru TK menjelaskan kehadirannya, sebelum kemudian membagikan uang kepada anak-anak sambil mengatakan, "Mbah dimintakan ampun kepada Allah ya!"

Kemudian, setelah perkenalan aneh tersebut, tokoh yang suka menyebut dirinya Sarkub alias Sarjana Kuburan ini sering ke rumah dengan penampilan khas. Tidak lagi seperti petani; tapi campuran antara citra kiai, pengusaha, dan rakyat jelata: mengenakan jas, peci hitam yang lancip, selalu naik mobil yang cukup mewah --paling sering naik jeep Mercedes Benz-- dan memakai sandal japit atau bahkan kadang nyeker, tanpa alas kaki.

Kebiasaan istimewa tokoh ini saat rawuh ke rumah: duduk hanya sebentar, lalu minta izin ke dapur; lalu membagi-bagi uang kepada siapa saja yang ada di dapur. Lalu minta izin untuk memberi uang kepada ibuku (almarhumah nyai Ma'rufah Bisri), kepada mbakyuku (Nyai Muhsinah Cholil), dan ibunya anak-anak (almarhumah bu Siti Fatmah). Kemudian bergegas kesana-kemari untuk memberikan uang tidak hanya kepada mereka yang dituju, tapi juga kepada siapa saja yang berpapasan; apakah itu anak-anak, santri, atau orang yang kebetulan lewat. Maka hampir semua penduduk seputar gubug kita hafal kebiasaan istimewa ini. Aku perhatikan jasnya yang tampak kebesaran dan memiliki banyak saku itu, ternyata bukan sembarang jas. Rupanya saku-saku jas itu penuh dengan uang dan masing-masing, berisi uang dengan nominal sendiri-sendiri: saku ini berisi ratusan ribu; saku itu, lima puluhan ribu; yang ini, dua puluhan ribu; yang itu, sepuluhan... Jadi setiap orang 'punya saku'nya sendiri di jas tokoh kita ini.

Pasti kebiasaan membagi-bagi uang itu tidak hanya di tempat kami saja. Sebelumnya aku sudah mendengar kebiasaan 'kiai-pengusaha' dermawan ini. Dan ini hanyalah salah satu dari keistimewaan tokoh kiai yang mengaku pernah menjadi khadam atau pelayannya Mbah Kiai Romli Tamim Rejoso. Kiai yang --seperti halnya Al-'arif biLlah Syeikh Bahlul dari Baghdad-- suka ziarah ke kuburan ini, 8 tahun yang lalu wafat setelah sehari sebelumnya ziarah ke makam Sunan Muria. Hari ini akan diperingati haul tokoh kita ini, KH. Shobiburrahman bin Anwar yang masyhur dikenal dengan panggilan Mbah Shobib, di kediamannya Menganti Jepara.

Lahul Fãtihah.

Sumber :https://www.facebook.com/simbah.kakung/posts/10203382131349526

WALI SONGO

Assiry gombal mukiyo, 29 Maret 2017


Sesungguhnya perjalanan Islam di Indonesia itu sangat tergantung dari perjuangan dakwah Wali Songo. Sejak abad 8 sudah ada pedagang Arab Muslim yang tinggal di Indonesia, pun sejak abad 13 banyak pedagang Cina Muslim yang menyebar di Indonesia. Tapi mereka semua gagal merayu penduduk Indonesia untuk memeluk Islam.

Sampai abad 16 ketika wali songo dengan akulturasi Islamnya mulai mendapatkan simpati dari penduduk Indonesia. Mula-mula dimulai dari Jawa, ketika Jawa sudah memeluk Islam, pulau-pulau lain pun lambat laun mengikuti.

Islam Wali Songo adalah Islam realistis, Islam yang fleksibel terhadap kebudayaan lokal, hanya intisari Islam yang diambil, bukan dimakan beserta ampas-ampas Arabnya. Tentu ada intrik-intrik politik juga bermain dalam penyebaran agama ini, tapi sejarah menunjukkan bahwa keluwesan penyampaian ajaran Islam lah yang menentukan diterimanya Islam sebagai agama mayoritas orang Indonesia.

Puritanisasi Islam Wahabi atau bahkan radikal yang dicoba diperkenalkan di Indonesia adalah anti historis, oleh karena itu amatlah sangat disayangkan. Islam yang akrab dengan wayang, tahlilan, tembang mocopat, dan dinamika manusia Indonesia adalah bagian dari tradisi mengislamkan nusantara. Islam itu bukan Arab, dan Arab tidak selalu Islam. Filterisasi Islam dari ampas-ampas beban sejarah dan budaya yang kemudian disinergikan dengan indah oleh Walisongo dengan budaya baru adalah pemerkaya khasanah Islam dunia. Karena justru mungkin Islam adaptif akulturatif seperti itulah Islam sejati-jatinya Islam.

SOSROKARTONO SOSOK KALIGRAFER, TABIB, TOKOH PENDIDIKAN & SPIRITUALIS ANAK BANGSA YANG TERLUPAKAN

Assiry gombal mukiyo, 2016


Beberapa waktu lalu saya secara tidak sengaja mampir di pemakaman Sedo Mukti, Desa Kaliputu, Kudus, Jawa Tengah. Untuk berziarah ke Makam Eyang Sosrokartono. Di sebelah kirinya terdapat makam Ibunya Nyai Ngasirah dan Bapaknya RMA Sosroningrat.

Di dinding pagar besi di makam SosroKartono tersebut, terpasang tulisan huruf Alif dalam bingkai kaca seukuran 10R. Di bawahnya terdapat foto SosroKartono mengenakan setelan jas ala orang Barat. Di nisan sebelah kiri, tercantum kata- kata terpilih dari SosroKartono: Sugih tanpa banda, digdaya tanpa aji. Di nisan sebelah kanan tercantum kalimat: Trimah mawi pasrah (qanaah dan ikhlas ), suwung pamrih tebih ajrih (kosong dari pamrih dan kepentingan individu dan jauh dari rasa takut), langgeng tan ana susah tan ana bungah (tetap tenang, meskipun dalam keadaan duka maupun suka), anteng manteng sugeng jeneng (istiqamah sungguh-sungguh, maka akan mulia).

Meski separuh lumpuh, Kartono–begitu RA Kartini dan adik-adiknya memanggil–masih menerima ratusan tamu yang datang dengan berbagai kepentingan, mulai dari sekadar meminta nasihat, belajar bahasa asing, hingga mengobati berbagai macam penyakit.

SosroKartono mangkat pada 1952, tanpa meninggalkan istri dan anak setelah separuh badan Kartono lumpuh sejak 1942.

Air putih, huruf Alif, nasihat-nasihat hidup yang ia tulis dalam bahasa Jawa, dan laku berpuasa berhari-hari ( Puasa Dalail) adalah bagian dari “wajah mistik” Sosrokartono. Jika tak berpuasa, ia jarang makan. Ia hanya minum air kelapa.

Luar biasa, Ia adalah orang Indonesia pertama yang terjun ke medan peperangan di Perang Dunia I di Eropa sebagai wartawan. Selama 29 tahun, Sosrokartono lebih dikenal sebagai seorang intelektual yang disegani di Eropa. Ia kerap dipanggil dengan sebutan De Javanese Prins (Pangeran dari Tanah Jawa) atau De Mooie Sos (Sos yang Tampan).

Inilah yang menginspirasi saya dan sekaligus meneladankan saya untuk terus puasa Sunnah Dalail yang juga diikuti oleh Santri -Santri PSKQ Modern hingga sekarang ini.

Hal ini yang membuat saya sesenggukan, menangis didepan makamnya. Karena Sosrokartono adalah tokoh besar juga seorang Kaligrafer bahkan setiap pasiennya yang datang selalu diberikan air putih dan memberikan goresan alif ( Singkatan lafaz Allah) pada secarik kertas setiap ada yang berobat kepadanya bahkan Pak Karno juga pernah dikasih coretan alif tersebut yang disimpan didalam lipatan pecinya.

Menarik sekali, Beliau menjadikan setiap huruf -huruf dari Al Quran begitu bermanfaat dan menemukan setiap sari manfaatnya untuk penyembuhan penyakit. Banyak orang yang mengerti bahwa Al Quran diturunkan sebagai "Syifaun" sebagai obat dan "rahmatun" sebagai rahmat, tetapi tidak mengerti bagaimana caranya. Inilah hebatnya Sosrokartono yang banyak tidak diketahui orang. Ia memahami detail manfaat setiap kandungan Al Quran bahkan hanya dengan memberinya coretan goresan alif pada sebuah kertas dan air putih banyak yang berhasil disembuhkannya. Masya Allah tentunya ini adalah kelebihan yang Allah berikan kepada Sosrokartono.

Pramoedya Ananta Toer dalam Panggil Aku Kartini Saja (Hasta Mitra, Jakarta, 1997) menggambarkan kelebihan Kartono sebagai spritualis itu. Pram mengutip kesaksian seorang dokter Belanda di CBZ (kini RS Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta) pada 1930-an. Ia menyaksikan Kartono menyembuhkan wanita melahirkan yang menurut para dokter tak tertolong lagi, tapi sembuh setelah minum air putih yang diberikan Kartono.

Kaum bangsawan di Belanda menjulukinya Pangeran dari Tanah Jawa. Raden Mas Panji Sosrokartono, kakak R.A. Kartini, selama 29 tahun, sejak 1897, mengembara ke Eropa. Ia bergaul dengan kalangan intelektual dan bangsawan di sana. Mahasiswa Universitas Leiden itu kemudian menjadi wartawan perang Indonesia pertama pada Perang Dunia I.

Ia mengembara ke beberapa negara. Mula-mula ia belajar di Delft, Belanda, lalu pindah ke Universitas Leiden, bergaul dengan kalangan bangsawan Eropa, kemudian menjadi wartawan perang. Ia juga pernah menjadi staf Kedutaan Besar Prancis di Den Haag, bahkan sempat menjadi penerjemah untuk Liga Bangsa-Bangsa. Kartono pada akhirnya memutuskan pulang ke Indonesia mendirikan perpustakaan dan sekolah. Seperempat abad sisa umurnya kemudian ditambatkan sebagai seorang spiritualis.

Beliau lebih terkenal dipanggil Kartono. Ia adalah seorang intelektual yang menguasai 17 bahasa asing itu, yang mudah diterima kalangan elite di Belanda, Belgia, Austria, dan bahkan Prancis. Ia berbicara dalam bahasa Inggris, Belanda, India, Cina, Jepang, Arab, Sanskerta, Rusia, Yunani, Latin. Bahkan, “Ia juga pandai berbahasa Basken (Basque), suatu suku bangsa Spanyol,” kata Hatta dalam bukunya.

Sosrokartono (1877-1952) adalah adik kandung Boesono. Keduanya adalah kakak RA Kartini, pahlawan emansipasi wanita yang setiap tanggal 21 April selalu dirayakan di seluruh pelosok Indonesia. Mereka adalah anak Bupati Jepara Raden Mas Adipati Ario Samingoen Sosroningrat untuk periode 1880-1905 dari perkawinannya dengan Ngasirah. Pasangan ini memiliki delapan anak.

Kartini Pudjiarto adalah cucu Boesono yang masih cucu keponakan dari Sosro Kartono.Ia masih menyimpan lukisan sederhana berbingkai kayu yang berisi goresan Alif di kertas putih pemberian Eyang Sosro.

Ada pula secarik kertas putih yang berisi nasihat Eyang Sosrokartono bertulisan “Sugih tanpa banda / Digdaya tanpa aji / Nglurug tanpa bala / Menang tanpa ngasorake” (Kaya tanpa harta/ Sakti tanpa azimat/ Menyerbu tanpa pasukan/ Menang tanpa merendahkan yang dikalahkan) yang ditempel dengan selotip di dinding. Ia juga menyimpan tongkat Kartono, yang merupakan jatah warisan keluarga yang dibagi-bagi setelah sang eyang meninggal.

Foto hitam putih seukuran kartu pos itu masih ia simpan rapi. Saat itu Kartini Pudjiarto masih umur delapan tahun. Ia bersama ibunya RA Siti Hadiwati dan kakeknya PAA Sosro Boesono berfoto bersama RM Panji Sosrokartono di rumah pengobatan Darussalam di Jalan Pungkur 7, Bandung, milik Sosrokartono.
Foto yang menjadi koleksi tak ternilai Kartini Pudjiarto itu dipotret pada 1950, dua tahun menjelang Sosrokartono wafat. Eyang Sosro, begitu Kartini memanggil, duduk di sebuah kursi. “Eyang Sosro lebih sering duduk di kursi, karena separuh tubuhnya sudah lumpuh".

Di Indonesia, Sosrokartono pernah mendirikan sekolah dan perpustakaan. Ia juga membuka rumah pengobatan Darussalam di Bandung. Selama 29 tahun ia hidup melanglang Eropa. Di Bandung ia mendirikan perpustakaan, rumah pengobatan, dan dicap komunis.

Pengobatan Darussalam beralamat di Jalan Pungkur 7, Bandung, milik Sosrokartono. Suryatini Ganie, cucu RA Sulastri Tjokrohadi Sosro, kakak seayah Sosrokartono, menggambarkan kelebihan Kartono yang juga kakeknya itu sebagai orang yang mudah sekali menebak pikiran orang. Menurut pengarang buku Resep-resep Kartini ini, Eyang Sosro cenderung menyendiri, jauh di Bandung, dibanding berkumpul dengan keluarga yang tersebar di Jawa Tengah.

Rumah pengobatan Pondok Darussalam milik Sosrokartono merupakan rumah panggung yang terbuat dari kayu dengan dinding bambu. Kini bangunan itu sudah tidak ada lagi. Penghuninya sudah berganti, begitu juga nomor rumahnya, yang sudah memakai nomor baru yang dipakai sejak 1960-an. Pemilik ruko yang menempati Jalan Pungkur 3, 5, 7, 9 ketika ditanya tidak tahu bahwa di jalan itu pernah ada pondok pengobatan milik Sosrokartono. Mendengar cerita Kayanto, pondok pengobatan milik Kartono diperkirakan menempati deretan bangunan yang kini sudah berubah menjadi toko listrik, swalayan di Gedung Mansion, serta sebuah apotek yang terletak di sudut Jalan Pungkur dan Jalan Dewi Sartika.

Darussalam, selain menjadi rumah pengobatan, juga sebuah perpustakaan. Kartono dalam suratnya kepada Abendanon pada 19 Juli 1926 (Surat- surat Adik R.A. Kartini terbitan PT Djambatan 2005) menceritakan selain mendirikan perpustakaan Panti Sastra di Tegal bersama adiknya, RA Kardinah, ia juga mendirikan perpustakaan di Bandung. “Perpustakaan ini tidak disebut dengan nama yang lazim melainkan merupakan lambang dari suatu pengertian baru, suatu cita-cita baru. Namanya Darussalam, yang berarti rumah kedamaian.

Buku-buku perpustakaan itu disumbang oleh dua orang insinyur perusahaan kereta api Staats Spoorwegen, tiga orang partikelir bangsa Belanda, dua orang wanita Belanda, tiga orang Jawa, dan seorang Tionghoa. “Semboyannya tanpo rupo tanpo sworo, yang berarti tidak berwarna, tiada perbedaan, tiada perselisihan,” ucap Kartono.

Terkalu kecil jika saya bercerita tentang Sosro Kartono, sangat menginspirasi. Kecerdasannya yang sangat luar biasa serta kecenderungannya yang concern dibidang pengobatan dan Pendidikan bersama Ki Hajar Dewantara, ikut andil dalam pergerakan kemerdekaan, mengabdi untuk kemanusiaan dan kerakyatan dan cinta pada tanah airnya menjadikan Ia sebagai sosok teladan yang susah tergantikan bahkan seribu tahun lagi. Tetapi ironi ia begitu dikesampingkan bahkan nyaris dilupakan oleh negeri ini.

GAYA LUKISAN KALIGRAFI DIWANI MADZHAP ZAINI KUDUS

Assiry gombal mukiyo, 28 Maret 2017




Tambah riuh-gemuruh debur dan gelora yang membuncah dalam berkaligrafi di tahun-tahun terakhir ini mendorong dan didorong kreativitas menggebu para pelkuis kaligrafi Islam kontemporer yang mencerminkan kecenderungan rata-rata sikap batin dan pikiran mereka yang ingin terus mengolah dan mengasah bentuk -bentuk kaligrafi dengan memadukan kedalam lukisan kaligrafi yang sudah ada dan menggubahnya menjadi lebih bebas dan berbeda dari bentuk bakunya.

Inilah yang dilakukan oleh karib juga guru dan teman seperjuangan waktu masih di Sanggar kaligrafi Annur yang didirikan KH.Nur Aufa Shiddiq alm, yakni Ustazuna H.Purwanto Zain S.Pdi yang sekarang juga melanjutkan S2 Tarbiyyah di STAIN Kudus ini. Ia begitu tekun siang malam mengasah terus gaya -gaya baku kaligrafi. Seperti dalam karyanya yang diberi judul "Surga Al Fatihah" ini, menujukkan eksistensi dan puncak estetika dalam ia mengolah antara bentuk huruf dengan background yang analog dan harmoni sekali. Ia melakukan gebrakan demi gebrakan pembebasan huruf dari khath Diwani dengan membentangkan dan merubah bentuk aslinya huruf alif menjadi sangat unik. Ia menyebutnya sebagai Madzhab Gaya Diwani zaini.

Saya seperti memasuki alam bathin yang begitu teduh, mengalun lembut Suara desah syahdu bidadari dengan desiran angin surga yang menentramkan jiwa. Kiranya begitulah gambaran yang saya rasakan ketika melihat, menatap dan menikmati indahnya lukisan "Kang Haji" begitu saya memanggilnya.

Seolah -olah saya ingin bersemayam disana.
Contoh paling mencolok adalah lukisan kaligrafer Tunisia Naja al-Mahdawi yang saban hari berujicoba huruf lebih dari 13 jam secara tekun. Di antara ungkapan-ungkapannya yang paling “berani” dan sinthing adalah:
“Huruf bagi saya adalah material hidup, yang darinya saya olah apa saja sekehendak saya” “Dalam teknik mengolah seni saya, saya kembali ke warisan secara alamiah, namun saya musti keluar darinya. Kalau tidak, saya akan mati di sana”.

Sikap Naja al-Mahdawi mencerminkan pandangan perlunya pengembangan huruf-huruf supaya tidak statis, karena huruf-huruf itu sendiri menawarkan kelenturan luar biasa. Sudah pasti sikap revolusionernya, yang oleh Charbal Dagir disebut “permainan gila” (al-la’bah al-majnunah), tidak terlepas dari pergaulan kesehariannya dengan model-model kreasi lukis gaya kontemporer Eropa. Tata pergaulan semacam ini oleh kaligrafer muslim kontemporer, Hassan Massaoud yang puya pergaulan erat dengan kehidupan seni Barat di Perancis, dianggap sangat menentukan. Ia bahkan menyebut tentang “tatacara melindungi kaligrafi supaya terpelihara”, yaitu dengan menempatkan sang kaligrafer di tengah masyarakat. Tidak dapat disangkal, jika masyarakat sepergaulannya adalah para perupa Barat, maka akan lahir darinya adalah kreasi yang bergaya atau dipengaruhi gaya Barat.

Istilah “lukisan kaligrafi” biasanya digunakan untuk membedakannya dari “kaligrafi murni” atau “kaligrafi klasik” yang berpegang pada kaedah khattiyah seperti Naskhi, Tsuluts, Farisi, Diwani, Kufi dan Riq’ah. Lukisan kaligrafi acap dihubungkan dengan rupa-rupa teknik penggarapan karya secara keseluruhan, seperti teknik batik, teknik grafis, teknik ukir kayu, teknik logam dan lain-lain dalam media dan peralatan (seperti cat minyak atau akrilik) yang beragam pula. Hasil garapan yang memadukan huruf dengan latar belakangnya membentuk sebuah lukisan yang utuh, tidak hanya tulisan terpisah.

Oleh karena itu, pengertian “lukisan” kaligrafi Islam di Indonesia tidak selalu menunjuk kepada pembagian gaya-gaya kaligrafi dalam arti huruf seperti kriterium al-Faruqi. Fokus “lukisan kaligrafi” di Indonesia “tidak hanya selesai pada huruf”, tetapi kehadirannya memang sebagai lisan dalam arti yang sesugguhnya, seperti dikemukakan pelukis kaligrafi Islami, Syaiful Adnan. Kritikus seni rupa, Dan Suwaryono menandaskan, bahwa lukisan kaligarfi Islami pada dasarnya ditopang dua unsur elemen seni rupa, berupa unsur-unsur fisiko plastis (berupa bentuk, garis, warna, ruang, cahaya, dan volume) di satu pihak, sedangkan di pihak lain tuntutan-tuntutan yang cenderung ke arah ideo plastis (meliputi semua masalah yang secara langsung ataupun tak langsung berhubungan dengan isi atau cita perbahasaan bentuk). Dalam ungkapan yang lebih mudah, bahwa lukisan kaligrafii di Indonesia tidak hanya menampilkan sosok huruf yang dilukis, tetapi sebuah lukisan utuh di mana huruf menjadi salah satu elemennya.

Maka, lukisan kaligrafi Islam yang berkembang di Indonesia sangat kaya varisasi, karena integral dengan rupa-rupa huruf tanpa memandang gaya alirannya. Baik gaya kontemporer ataupun klasik baku, semuanya dapat menjadi obyek garapan.

Kini, bukan hanya para alumnus perguruan seni rupa, bahkan para pelukis dan khattat yang tidak memiliki disiplin pendidikan seni rupa pun banyak yang terjun ke “permainan” seni lukis kaligrafi gaya baru ini. Siapa saja bahkan anak saya Sulthan Katiby Al Hakim yang masih berusia 6 tahun sudah asyik sekali melukis dan mewarnai kaligrafi dengan nuansa dan pilihan warna yang kelihatan bebas tetapi tetap indah untuk ukuran anak seusianya.

Dalam ragam bentuk pembebasan Kaligrafi Islam ini Ustaz H.Purwanto Zain termasuk salah satu pelukis dan Kaligrafer yang mampu mendobrak kemapanan kaidah baku khath. Dalam peta seni rupa Islam kontemporer, ia juga termasuk sudah ikut andil memberikan sumbangsih yang sangat besar dan telah menimbulkan maraknya kegairahan berkreasi dikalangan pelukis dan kaligrafer khususnya di Jawa Tengah. Munculnya gaya kontemporer, sungguhpun menimbulkan tanggapan pro-kontra, memberikan isyarat semakin meningkatnya pencarian gaya-gaya baru untuk lebih melengkapi gaya-gaya masa lalu.

Meminjam kata penyair India Rabindranath Tagore, al-khattat Kamil al-Baba dari Libanon menulis dalam bab “al-Jadid fi Dunya al-Khath” (Yang Trendy dalam Dunia Kaligrafi), bahwa perkembangan adalah sunnatullah dan hanyalah satu bagian dari hukum alam yang berputar. Perkembangan adalah cermin kekekalan, seperti halnya stagnasi atau jumud, adalah sebab pokok yang memperlekas fana. Dan kaligrafi, dia adalah “lukisan huruf”, posisisnya tidak pernah mandek, bahkan terus berkembang menyusuri waktu. Perkembangan yang juga disusuri kaligrafi Islam kontemporer.

Semoga terus menginspirasi Dunia Kang Haji Purwanto Zain. Amiiin.

==========================================================
- Hari ini Selasa 28 Maret 2017 pukul 10.00 Wib, saat berkunjung dan ngangsu kawruh mencari dan mereguk tetesan ilmu di Galery Asta Qalam milik H.Purwanto Zain, Honggosoco, Kudus.

BERBAGI ILMU MEMBANGUN BERKAH ALA USTADZ HAMZAH ALUMNI PSKQ

Assiry gombal mukiyo, 28 Maret 2017







Kunjungan Ustadz Hamzah di Asrama PSKQ Modern Senin 27 Maret 2017 adalah bagian dari kelezatan ilmu yang terus ia tebar dan bagikan kepada siapa saja terutama untuk adek -adek yuniornya Santri -Santri PSKQ Modern.

Ustaz Hamzah yang juga adalah Alumni PSKQ Modern angkatan pertama yakni 2007-2008 aktif dan sangat murah sekali membagikan ilmu -ilmu kaligrafi yang didapatkan selama ini. Karyanya tersebar pada Puluhan Masjid diberbagai daerah di Indonesia. Bahkan beberapa waktu lau ia juara harapan 2 lomba kaligrafi tingkat Internasional di Istanbul, Turki.

Berbagi adalah cara seorang manusia untuk menyatakan eksistensi dirinya. Apalagi jika yang kita bagikan adalah ilmu. Ilmu tidak akan pernah hilang dari diri kita. Ilmu yang dibagikan justru akan menjadi ilmu yang berkah, sperti pohon yang berbuah. Jika seseorang membagikan ilmu, maka ilmunya akan semakin bertambah. Dengan mengajarkan ilmu, ilmu yang dimiliki akan semakin menancap kuat dalam sanubarinya.

Coba kita renungkan. Berbagi ilmu tiada ruginya, bahkan kita beruntung. Sebab, ilmu yang bermanfaat akan mendatangkan pahala bagi kita selama orang yang kita transferi ilmu menggunakannya di jalan kebaikan.

Abu Mas’ud Uqbah bin Amir Al Anshari radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
“Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya." (HR. Muslim no. 1893).

Maka dari itu, jangan segan membagikan ilmu yang kita miliki. Berbagi imu termasuk tolong-menolong dalam kebaikan. Sekecil apapun itu. Berbagi ilmu seperti mengajarkan Alqur’an, akan mengantarkan kita menjadi sebaik-baik manusia.

Usman ibn Affan ra berkata: Rasulullah saw bersabda:
” Sebaik-baik kalian adalah yang belajar al-Qur’an dan mengajarkannya.”
Hadis sahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari (hadis no. 4639), Abu Dawud (hadis no. 1240), al-Tirmizi (hadis no. 2832), dan Ibn Majah (hadis no. 207)

Bagi yang bisa berwirausaha, ajarkan ilmu wirausaha kepada orang lain yang belum memiliki pekerjaan, supaya orang itu bisa mandiri. Jika Anda ibu rumah tangga yang pandai membuat kue, ajarkan kepada saudara dan tetangga-tetangga Anda agar ilmu Anda bisa mereka gunakan untuk membuat kue seenak buatan Anda. Jika Anda ahli dalam suatu ilmu, tulislah buku agar ilmu Anda tidak hilang begitu saja. Membagikan ilmu yang bermanfaat dapat menjadi sarana menebar kebaikan dan mendulang pahala hingga kelak saat kita telah tiada.

Bagi Ustadz Hamzah berbagi ilmu itu juga sebenarnya adalah membangun keberkahan bagi ilmu itu sendiri. Tidak sedikit orang yang memilki ilmu tetapi hanya untuk dirinya sendiri dan enggan dibagi. Ustadz Hamzah menjadikan dirinya seperti paralon yang terus mendapatkan air tetapi bukan untuk dirinya sendiri tetapi terus saja dialirkan kepada orang lain. Ia membuka kran pengetahuan, keahlian, keterampilan dan keilmuan kaligrafi selebar -lebarnya. Bagi yang mau bertanya tidak ada sedikitpun yang ia sembunyikan.

Semoga semakin megah bangunan keberkahan ilmu Ustadz Hamzah menjulang,melangit dan menjadi kemanfaatan yang terus mengalir (Sedekah Jariyyah) yang tidak pernah terputus hingga kapanpun.Amiiin.

Top