Slider[Style1]

PSKQ dalam Liputan

Style2

Style3[OneLeft]

Style3[OneRight]

Style4

Style5

Style6

Style7

Style8

Style9

Assiry gombal mukiyo, 2016


Beberapa waktu lalu saya secara tidak sengaja mampir di pemakaman Sedo Mukti, Desa Kaliputu, Kudus, Jawa Tengah. Untuk berziarah ke Makam Eyang Sosrokartono. Di sebelah kirinya terdapat makam Ibunya Nyai Ngasirah dan Bapaknya RMA Sosroningrat.

Di dinding pagar besi di makam SosroKartono tersebut, terpasang tulisan huruf Alif dalam bingkai kaca seukuran 10R. Di bawahnya terdapat foto SosroKartono mengenakan setelan jas ala orang Barat. Di nisan sebelah kiri, tercantum kata- kata terpilih dari SosroKartono: Sugih tanpa banda, digdaya tanpa aji. Di nisan sebelah kanan tercantum kalimat: Trimah mawi pasrah (qanaah dan ikhlas ), suwung pamrih tebih ajrih (kosong dari pamrih dan kepentingan individu dan jauh dari rasa takut), langgeng tan ana susah tan ana bungah (tetap tenang, meskipun dalam keadaan duka maupun suka), anteng manteng sugeng jeneng (istiqamah sungguh-sungguh, maka akan mulia).

Meski separuh lumpuh, Kartono–begitu RA Kartini dan adik-adiknya memanggil–masih menerima ratusan tamu yang datang dengan berbagai kepentingan, mulai dari sekadar meminta nasihat, belajar bahasa asing, hingga mengobati berbagai macam penyakit.

SosroKartono mangkat pada 1952, tanpa meninggalkan istri dan anak setelah separuh badan Kartono lumpuh sejak 1942.

Air putih, huruf Alif, nasihat-nasihat hidup yang ia tulis dalam bahasa Jawa, dan laku berpuasa berhari-hari ( Puasa Dalail) adalah bagian dari “wajah mistik” Sosrokartono. Jika tak berpuasa, ia jarang makan. Ia hanya minum air kelapa.

Luar biasa, Ia adalah orang Indonesia pertama yang terjun ke medan peperangan di Perang Dunia I di Eropa sebagai wartawan. Selama 29 tahun, Sosrokartono lebih dikenal sebagai seorang intelektual yang disegani di Eropa. Ia kerap dipanggil dengan sebutan De Javanese Prins (Pangeran dari Tanah Jawa) atau De Mooie Sos (Sos yang Tampan).

Inilah yang menginspirasi saya dan sekaligus meneladankan saya untuk terus puasa Sunnah Dalail yang juga diikuti oleh Santri -Santri PSKQ Modern hingga sekarang ini.

Hal ini yang membuat saya sesenggukan, menangis didepan makamnya. Karena Sosrokartono adalah tokoh besar juga seorang Kaligrafer bahkan setiap pasiennya yang datang selalu diberikan air putih dan memberikan goresan alif ( Singkatan lafaz Allah) pada secarik kertas setiap ada yang berobat kepadanya bahkan Pak Karno juga pernah dikasih coretan alif tersebut yang disimpan didalam lipatan pecinya.

Menarik sekali, Beliau menjadikan setiap huruf -huruf dari Al Quran begitu bermanfaat dan menemukan setiap sari manfaatnya untuk penyembuhan penyakit. Banyak orang yang mengerti bahwa Al Quran diturunkan sebagai "Syifaun" sebagai obat dan "rahmatun" sebagai rahmat, tetapi tidak mengerti bagaimana caranya. Inilah hebatnya Sosrokartono yang banyak tidak diketahui orang. Ia memahami detail manfaat setiap kandungan Al Quran bahkan hanya dengan memberinya coretan goresan alif pada sebuah kertas dan air putih banyak yang berhasil disembuhkannya. Masya Allah tentunya ini adalah kelebihan yang Allah berikan kepada Sosrokartono.

Pramoedya Ananta Toer dalam Panggil Aku Kartini Saja (Hasta Mitra, Jakarta, 1997) menggambarkan kelebihan Kartono sebagai spritualis itu. Pram mengutip kesaksian seorang dokter Belanda di CBZ (kini RS Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta) pada 1930-an. Ia menyaksikan Kartono menyembuhkan wanita melahirkan yang menurut para dokter tak tertolong lagi, tapi sembuh setelah minum air putih yang diberikan Kartono.

Kaum bangsawan di Belanda menjulukinya Pangeran dari Tanah Jawa. Raden Mas Panji Sosrokartono, kakak R.A. Kartini, selama 29 tahun, sejak 1897, mengembara ke Eropa. Ia bergaul dengan kalangan intelektual dan bangsawan di sana. Mahasiswa Universitas Leiden itu kemudian menjadi wartawan perang Indonesia pertama pada Perang Dunia I.

Ia mengembara ke beberapa negara. Mula-mula ia belajar di Delft, Belanda, lalu pindah ke Universitas Leiden, bergaul dengan kalangan bangsawan Eropa, kemudian menjadi wartawan perang. Ia juga pernah menjadi staf Kedutaan Besar Prancis di Den Haag, bahkan sempat menjadi penerjemah untuk Liga Bangsa-Bangsa. Kartono pada akhirnya memutuskan pulang ke Indonesia mendirikan perpustakaan dan sekolah. Seperempat abad sisa umurnya kemudian ditambatkan sebagai seorang spiritualis.

Beliau lebih terkenal dipanggil Kartono. Ia adalah seorang intelektual yang menguasai 17 bahasa asing itu, yang mudah diterima kalangan elite di Belanda, Belgia, Austria, dan bahkan Prancis. Ia berbicara dalam bahasa Inggris, Belanda, India, Cina, Jepang, Arab, Sanskerta, Rusia, Yunani, Latin. Bahkan, “Ia juga pandai berbahasa Basken (Basque), suatu suku bangsa Spanyol,” kata Hatta dalam bukunya.

Sosrokartono (1877-1952) adalah adik kandung Boesono. Keduanya adalah kakak RA Kartini, pahlawan emansipasi wanita yang setiap tanggal 21 April selalu dirayakan di seluruh pelosok Indonesia. Mereka adalah anak Bupati Jepara Raden Mas Adipati Ario Samingoen Sosroningrat untuk periode 1880-1905 dari perkawinannya dengan Ngasirah. Pasangan ini memiliki delapan anak.

Kartini Pudjiarto adalah cucu Boesono yang masih cucu keponakan dari Sosro Kartono.Ia masih menyimpan lukisan sederhana berbingkai kayu yang berisi goresan Alif di kertas putih pemberian Eyang Sosro.

Ada pula secarik kertas putih yang berisi nasihat Eyang Sosrokartono bertulisan “Sugih tanpa banda / Digdaya tanpa aji / Nglurug tanpa bala / Menang tanpa ngasorake” (Kaya tanpa harta/ Sakti tanpa azimat/ Menyerbu tanpa pasukan/ Menang tanpa merendahkan yang dikalahkan) yang ditempel dengan selotip di dinding. Ia juga menyimpan tongkat Kartono, yang merupakan jatah warisan keluarga yang dibagi-bagi setelah sang eyang meninggal.

Foto hitam putih seukuran kartu pos itu masih ia simpan rapi. Saat itu Kartini Pudjiarto masih umur delapan tahun. Ia bersama ibunya RA Siti Hadiwati dan kakeknya PAA Sosro Boesono berfoto bersama RM Panji Sosrokartono di rumah pengobatan Darussalam di Jalan Pungkur 7, Bandung, milik Sosrokartono.
Foto yang menjadi koleksi tak ternilai Kartini Pudjiarto itu dipotret pada 1950, dua tahun menjelang Sosrokartono wafat. Eyang Sosro, begitu Kartini memanggil, duduk di sebuah kursi. “Eyang Sosro lebih sering duduk di kursi, karena separuh tubuhnya sudah lumpuh".

Di Indonesia, Sosrokartono pernah mendirikan sekolah dan perpustakaan. Ia juga membuka rumah pengobatan Darussalam di Bandung. Selama 29 tahun ia hidup melanglang Eropa. Di Bandung ia mendirikan perpustakaan, rumah pengobatan, dan dicap komunis.

Pengobatan Darussalam beralamat di Jalan Pungkur 7, Bandung, milik Sosrokartono. Suryatini Ganie, cucu RA Sulastri Tjokrohadi Sosro, kakak seayah Sosrokartono, menggambarkan kelebihan Kartono yang juga kakeknya itu sebagai orang yang mudah sekali menebak pikiran orang. Menurut pengarang buku Resep-resep Kartini ini, Eyang Sosro cenderung menyendiri, jauh di Bandung, dibanding berkumpul dengan keluarga yang tersebar di Jawa Tengah.

Rumah pengobatan Pondok Darussalam milik Sosrokartono merupakan rumah panggung yang terbuat dari kayu dengan dinding bambu. Kini bangunan itu sudah tidak ada lagi. Penghuninya sudah berganti, begitu juga nomor rumahnya, yang sudah memakai nomor baru yang dipakai sejak 1960-an. Pemilik ruko yang menempati Jalan Pungkur 3, 5, 7, 9 ketika ditanya tidak tahu bahwa di jalan itu pernah ada pondok pengobatan milik Sosrokartono. Mendengar cerita Kayanto, pondok pengobatan milik Kartono diperkirakan menempati deretan bangunan yang kini sudah berubah menjadi toko listrik, swalayan di Gedung Mansion, serta sebuah apotek yang terletak di sudut Jalan Pungkur dan Jalan Dewi Sartika.

Darussalam, selain menjadi rumah pengobatan, juga sebuah perpustakaan. Kartono dalam suratnya kepada Abendanon pada 19 Juli 1926 (Surat- surat Adik R.A. Kartini terbitan PT Djambatan 2005) menceritakan selain mendirikan perpustakaan Panti Sastra di Tegal bersama adiknya, RA Kardinah, ia juga mendirikan perpustakaan di Bandung. “Perpustakaan ini tidak disebut dengan nama yang lazim melainkan merupakan lambang dari suatu pengertian baru, suatu cita-cita baru. Namanya Darussalam, yang berarti rumah kedamaian.

Buku-buku perpustakaan itu disumbang oleh dua orang insinyur perusahaan kereta api Staats Spoorwegen, tiga orang partikelir bangsa Belanda, dua orang wanita Belanda, tiga orang Jawa, dan seorang Tionghoa. “Semboyannya tanpo rupo tanpo sworo, yang berarti tidak berwarna, tiada perbedaan, tiada perselisihan,” ucap Kartono.

Terkalu kecil jika saya bercerita tentang Sosro Kartono, sangat menginspirasi. Kecerdasannya yang sangat luar biasa serta kecenderungannya yang concern dibidang pengobatan dan Pendidikan bersama Ki Hajar Dewantara, ikut andil dalam pergerakan kemerdekaan, mengabdi untuk kemanusiaan dan kerakyatan dan cinta pada tanah airnya menjadikan Ia sebagai sosok teladan yang susah tergantikan bahkan seribu tahun lagi. Tetapi ironi ia begitu dikesampingkan bahkan nyaris dilupakan oleh negeri ini.

About Assiry Art

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments:

Post a Comment

Terimakasih telah berkunjung di Pesantren Seni Kaligrafi Al Quran, silahkan meninggalkan pesan, terima kasih


Top