Assiry gombal mukiyo, 2016
Betul
memang ketika kita sedekah dengan ikhlas Tuhan memberikan jalan yang
luas bagi dipertemukannya keberkahan atas rizki kita. Sedekah itu mirip
hukum kekekalan energeri maupun entropi. Apa yang kita berikan
essensinya tak ada yg hilang, semua berlangsung didalam dealektika
kemesraan dengan Tuhan yang Maha Kaya.
Jika
orang hidup itu niatnya pokoknya hanya " mung gawe apik lan becik"
hanya niat melakukan kebaikan maka apapun itu entah materi, uang atau
nafkah yang anda dapatkan justru lebih melimpah daripada ketika tujuan
hidup kita adalah mencari uang semata.
Tentu
ini berbeda dengan “Kiai Yusuf Mansyur” yang demikian heroik
menafsirkan Qur’an dengan “teori” sedekah versinya. Benar dalam Al
Qur’an Allah SWT menjanjikan akan melipatgandakan amal kebaikan menjadi
700 kali dan seterusnya, namun tentu ini harus dimaknai dalam hubungan
“rasa cintaNya” kepada kita, dan bukan hubungan matematis-kapitalistis.
Kalau terjebak dengan cara pandang Kiai Yusuf Mansyur maka orang yang
bersedekah bukan dalam kerangka taqwa dan tawakal, melainkan dalam
hubungan dagang. “Ini lho Tuhan aku sudah bersedekah, mana imbalan 700
kali itu?”, barangkali ini yang dicari manusia.
Padahal
Allah SWT sudah bernjanji akan memberi rezeki dari arah yang tidak
diduga-duga dan akan mencukupkan segala kebutuhan kita, dan Allah hanya
meminta dua hal dari kita: taqwa dan tawakal. Taqwa tentu terkait dengan
kemesraan cinta antara hamba dan Tuhannya dan tawakal adalah term yang
tidak terpisah dari kata kerja. Orang yang tidak pernah bekerja dalam
kebaikan tidak boleh mengklaim dirinya tawakal hanya dengan jalan
menyerahkan diri saja kepada Allah SWT. Sederhana saja, Allah telah
berbagi kepada kita secara demokratis. Kita sudah diberi berbagai
fasilitas di alam semesta ini, dan tentu saja ada pembagian tugas atau
sharing. Ada qudrah dan ada iradah.
Kalau
kita menaruh motor tanpa terkunci dan kemudian kita berdoa kepada Allah
agar motor itu tidak hilang, maka ketika motor itu benar-benar hilang
jangan kemudian kita mengkambinghitamkan Tuhan atau setidaknya kita
bicara takdir.
Ungkapan
“urip mung gawe apik lan becik”, dalam bingkai kapitalisme akan
ditertawakan. Dalam prinsip kapitalisme, modal harus sekecil-kecilnya
dan untung sebesar-besarnya. Karena yang dicari hanya materi atau
keuntungan semata, maka efek sampingnya justru “tidak untung”. Dalam
kapitalisme yang muncul bukan “kebecikan” yang berbuah “materi”, namun
justru kerusakan dan kehancuran. Padahal Allah dengan tegas melarang
manusia berbuat kerusakan di muka bumi ini.
Kapitalisme
saat ini bagai “agama baru” yang menyembah api. Kaum kapitalis dengan
berbagai cara terus menempuh sampai si konsumen merasa kehausan dan
bernafsu untuk melepaskan dahaga itu. Para birokrat negara yang begitu
fasih berkolaborasi dengan para pemilik modal, sampai dalam membangun
negara tidak memperhatikan kebudayaan dan hanya akan menjadikan negara
yang “beragamakan api”.
Belilah
dagangan mereka yang lemah dan papa kalau perlu lebihkan tanpa perlu
menawar, toh tidak menjadikanmu miskin dan juga tidak menjadikan mereka
langsung kaya. Mereka begitu perkasa meskipun usia senja, tidak
melacurkan diri dan menghancurkan martabatnya sebagai manusia yang
menghamba kepada kepengemisan.
Meskipun renta mereka tetap berdiri, bekerja dan terus mengais rizki dari rahmat Allah.
Ditengah -tengah penjajahan kapitalisme ekonomi yang maha dasyat ini kita tidak boleh melupakan bahwa tujuan hidup adalah "mung gawe apik lan becik".
Meskipun renta mereka tetap berdiri, bekerja dan terus mengais rizki dari rahmat Allah.
Ditengah -tengah penjajahan kapitalisme ekonomi yang maha dasyat ini kita tidak boleh melupakan bahwa tujuan hidup adalah "mung gawe apik lan becik".
No comments: