PSKQ Modern , 24 Maret 2018
19 Rajab tahun 1439 Hijriyyah 483 tahun lalu, Masjid al-Aqsha dan “negeri” Kudus didirikan dan diresmikan
oleh Syaikh Ja’far Shadiq atau Sunan Kudus. Keterangan mengenai
pendirian masjid dan kota “tua” Kudus tersebut termaktub dalam prasasti
batu bertulisan Arab yang terletak di atas mihrab atau pengimaman ruang
sholat. Prasasti berukuran 40 x 23 cm tersebut, memuat tulisan berbentuk
kursiv umum teratur mirip thuluth dengan titik-titik pada sejumlah
huruf besarnya.
Prasasti
tersebut penting dan menarik, karena sejarah Kudus dijelaskan dengan
sangat ringkas dalam lima baris kalimat berbahasa dan berhuruf Arab,
memuat data-data penting, yaitu;
Pertama, masjid yang dinamakan al-Aqsha didirikan di Kudus dan kemudian mengundang pertanyaan, adakah kaitannya dengan masjid al-Aqsha di Yerussalem, yang merupakan balad al-Quds, kota suci Islam ketiga.
Kedua, tokoh yang mendirikan masjid al-Aqsha dan negeri Kudus, yaitu Ja’far Shadiq. Prasasti cukup panjang menjelaskan tentang kepribadian Ja’far Shadiq, yang ditulis dalam prasasti sebagai Kadi (qadi) dan khalifatullah fil ardi. Dalam kapasitasnya sebagai Kadi, prasasti mengidentifikasi Ja’far Shadiq sebagai ahli syariat dengan sebutan Syaikh agama Islam dan Syaikh kaum muslimin, hiasan para ulama dan mujtahid. Selain itu, Ja’far Shadiq juga disebut sebagai khalifah, sebuah gelar yang pada akhir abad pertengahan dipakai untuk menyebut semua raja yang menerapkan syariat, dan berarti dianggap sebagai “wakil Allah di bumi”, sekaligus pemimpin sebagian atau seluruh ummat.
Ketiga, tanggal pendirian masjid al-Aqsha dan negeri Kudus yang ditulis dalam prasasti pada tanggal 19 Rajab 956 Hijriyyah. Kejelasan mengenai waktu, yaitu tanggal, bulan dan tahun tersebut melalui beberapa tahap. Pembacaan pertama dilakukan oleh Sayyid Dzia Shahab pada tahun 1959 dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dalam buku Solichin Salam, Sunan Kudus Riwajat Hidup serta Perjoeangannja”. Pembacaan tersebut hanya menghasilkan tahun yaitu 956 Hijriyyah.
Pada tahun 2008, terbit buku Inskripsi Islam Tertua di Indonesia, berisi sembilan artikel, dan artikel ketujuhnya berjudul Kota Yerussalem di Jawa dan Mesjidnya Al-Aqsha. Piagam Pembangunan Masjid Kudus Bertahun 956 H/1549 M, ditulis oleh Ludvik Kalus dan Claude Guillot. Ludvik Kalus adalah perancang Thesaurus Epigrafi Islam, sebuah pangkalan data yang bertujuan merekam semua inkripsi Islam di seluruh dunia sampai tahun 1000 Hijriyyah dan telah berhasil mencatat 24.000 inskripsi. Pada artikel tersebut pembacaan prasasti Kudus mengalami kemajuan dengan jelas mencatat “Rajab” sebagai bulan dalam tulisan prasasti. Sayangnya untuk tanggal, Kalus menyatakan masih ragu-ragu dan tidak jelas.
Selanjutnya dilakukan upaya melengkapi pembacaan mengenai tanggal dalam prasasti pada tahun 2011 oleh Yayasan Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus (YM3SK), bersama para tokoh, ulama (terutama yang membaca adalah KH. Syaifuddin Luthfi) dan Tim Ahli, yaitu Prof. DR. Inajati Adrisijanti dan Drs. Musadad, M.Hum, dari Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya UGM Yogyakarta, serta Abdul Jawat Nur, S.S., M.Hum dari Jurusan Sastra Asia Barat Fakultas Ilmu Budaya UGM Yogyakarta. Upaya ini menghasilkan bacaan lengkap, yaitu 19 Rajab 956 Hijriyyah.
Angka 956 Hijriyyah atau 1549 Tarikh Umum (TU) sebagai tahun pendirian masjid al-Aqsha dan negeri Kudus memiliki arti penting, di antaranya untuk menjelaskan situasi politik saat pendirian Kudus. Dalam linimasa sejarah diperoleh rangkuman bahwa diperkirakan Sunan Kudus memutuskan “keluar” dari Kerajaan Demak pada tahun 1543 TU. Kemudian sebagaimana diterangkan oleh F. Mendez Pinto, pada tahun 1546 TU, Sultan Trenggana, Raja Demak Ke-3 wafat dan mengakibatkan gaduhnya situasi politik Demak saat itu, dan konflik yang terus meluas. Sedangkan tahun 1549 TU, di tahun yang sama dengan pendirian masjid al-Aqsha dan negeri Kudus, juga terjadi perisitiwa penting, yaitu tewasnya Sunan Prawoto dan Arya Penangsang.
Kudus bukanlah satu-satunya “negeri” yang dibangun pada masa surutnya kejayaan Kerajaan Demak. Pada masa itu, ada tiga kerajaan yang diperintah oleh pemimpin-pemimpin agama, yaitu Cirebon, Kudus, dan Giri/Gresik, yang masing-masing memiliki ciri khas. Ja’far Shadiq membangun Kudus di sebuah wilayah yang bernama asli Tajug dengan sepenuhnya mandiri, tidak ada catatan yang menunjukkan panghadiahan tanah oleh raja Demak kepada Sunan Kudus, tidak seperti para ulama Kadilangu yang memperoleh hasil tanah ladang yang telah dihadiahkan kepada mereka oleh Keraton Demak.
Sunan Kudus mula-mula memperoleh penghasilan dari tanah-tanah ladang di sekitarnya yang diolah para pengikutnya, yaitu pasukan dan barisan santri yang turut mengikutinya kelaur dari Demak untuk membangun “negeri” Kudus. Keberadaan beberapa situs, yaitu desa beserta masjid kunonya, seperti masjid Jepang, Loram, Nganguk, dan Langgar Dalem, juga mengisyaratkan bahwa Ja’far Shadiq membangun Kudus dengan sistem desentralisasi, dibuktikan dengan masih dipertahankannya desa dan masjid-masjid kuno tersebut hingga didirikannya masjid al-Aqsha dan “negeri” Kudus.
Kudus sebagai “kota suci” sudah sangat terkenal di Nusantara sebagai pusat agama. Deskripsi tentang Kudus, di antaranya disampaikan oleh Antonio Hurdt, dalam ekspedisinya ke Kediri pada tahun 1678 TU menyatakan kekagumannya terhadap menara raksasa di Masjid al-Aqsha Kudus, sebagai bangunan yang kokoh, tampan, dan arsitekturnya mengakomodir seni arsitektur candi-candi pra Islam.
Dari uraian di atas, dapat disampaikan beberapa kesimpulan. Pertama, Keberadaan prasasti pendirian masjid al-Aqsha dan negeri Kudus, berupa candra sengkala lamba, menunjukkan Kudus memiliki tradisi pencatatan yang baik, mengenaik nama masjid dan “negeri”, siapa tokoh pendiri lengkap dengan gambaran kedudukan dan profilnya, serta tanggal pendiriannya. Kedua, sejak awal Kudus dirintis dengan semangat kemandirian, tanpa “campur tangan” pemberian hadiah dari penguasa saat itu, dan berhasil mengolah sumber daya alternatif berupa pertanian dan perdagangan, bahkan di daerah atau wilayah yang tidak memiliki pelabuhan niaga sebagaimana kecenderungan daerah-daerah lainnya saat itu. Ketiga, Kudus dirintis dan dibangun dengan ciri khusus, yaitu “negeri” santri, negerinya ulama, namun menjunjung tinggi tepa salira, toleran atau tasamuh, diwujudkan dalam arsitektur bangunan sucinya yaitu masjid beserta menaranya, serta dalam metode dakwah dan perilaku keseharian.
Memperingati 483 tahun berdirinya masjid al-Aqsha dan “negeri” Kudus adalah sebuah sarana refeksi dan upaya nguri-nguri nilai luhur Kudus yang dirintis dan diajarkan Kangjeng Sunan Kudus, yang masih, bahkan semakin relevan dalam kehidupan berbangsa Indonesia saat ini, di tengah gempuran issu intoleransi. Dalam rangakian upaya tersebut, maka menjadi penting pula untuk mencermati dan membaca keberadaan prasasti pendirian masjid al-Aqsha dan “negeri” Kudus. Sayangnya, hingga tujuh tahun bacaan isi lengkap prasasti, belum terlihat sama sekali respon dan niat baik Pemerintah Kabupaten Kudus, untuk setidaknya mengevaluasi dan merevisi Peraturan Daerah Kabupaten Kudus No. 11 Tahun 1990 (terbit tanggal 6 Juli 1990), yang menetapkan hari jadi Kudus pada tanggal 23 September 1549 TU. Padahal, penetepan tersebut didasarkan tanggal cultural, bukan hystorical. Itupun, menggunakan metode konversi tanggal yang tidak tepat.
Disarikan dari:
DR. H.J. De Graaf dan DR TH. G. Pigeaud, Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa, Peralihan dari Majapahit ke Mataram, Grafiti Pers, 1985
Ludvik Kalus dan Claude Guillot, Inskripsi Islam Tertua di Indonesia, Kepustakaan Populer Gramedia, 2008.
Pertama, masjid yang dinamakan al-Aqsha didirikan di Kudus dan kemudian mengundang pertanyaan, adakah kaitannya dengan masjid al-Aqsha di Yerussalem, yang merupakan balad al-Quds, kota suci Islam ketiga.
Kedua, tokoh yang mendirikan masjid al-Aqsha dan negeri Kudus, yaitu Ja’far Shadiq. Prasasti cukup panjang menjelaskan tentang kepribadian Ja’far Shadiq, yang ditulis dalam prasasti sebagai Kadi (qadi) dan khalifatullah fil ardi. Dalam kapasitasnya sebagai Kadi, prasasti mengidentifikasi Ja’far Shadiq sebagai ahli syariat dengan sebutan Syaikh agama Islam dan Syaikh kaum muslimin, hiasan para ulama dan mujtahid. Selain itu, Ja’far Shadiq juga disebut sebagai khalifah, sebuah gelar yang pada akhir abad pertengahan dipakai untuk menyebut semua raja yang menerapkan syariat, dan berarti dianggap sebagai “wakil Allah di bumi”, sekaligus pemimpin sebagian atau seluruh ummat.
Ketiga, tanggal pendirian masjid al-Aqsha dan negeri Kudus yang ditulis dalam prasasti pada tanggal 19 Rajab 956 Hijriyyah. Kejelasan mengenai waktu, yaitu tanggal, bulan dan tahun tersebut melalui beberapa tahap. Pembacaan pertama dilakukan oleh Sayyid Dzia Shahab pada tahun 1959 dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dalam buku Solichin Salam, Sunan Kudus Riwajat Hidup serta Perjoeangannja”. Pembacaan tersebut hanya menghasilkan tahun yaitu 956 Hijriyyah.
Pada tahun 2008, terbit buku Inskripsi Islam Tertua di Indonesia, berisi sembilan artikel, dan artikel ketujuhnya berjudul Kota Yerussalem di Jawa dan Mesjidnya Al-Aqsha. Piagam Pembangunan Masjid Kudus Bertahun 956 H/1549 M, ditulis oleh Ludvik Kalus dan Claude Guillot. Ludvik Kalus adalah perancang Thesaurus Epigrafi Islam, sebuah pangkalan data yang bertujuan merekam semua inkripsi Islam di seluruh dunia sampai tahun 1000 Hijriyyah dan telah berhasil mencatat 24.000 inskripsi. Pada artikel tersebut pembacaan prasasti Kudus mengalami kemajuan dengan jelas mencatat “Rajab” sebagai bulan dalam tulisan prasasti. Sayangnya untuk tanggal, Kalus menyatakan masih ragu-ragu dan tidak jelas.
Selanjutnya dilakukan upaya melengkapi pembacaan mengenai tanggal dalam prasasti pada tahun 2011 oleh Yayasan Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus (YM3SK), bersama para tokoh, ulama (terutama yang membaca adalah KH. Syaifuddin Luthfi) dan Tim Ahli, yaitu Prof. DR. Inajati Adrisijanti dan Drs. Musadad, M.Hum, dari Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya UGM Yogyakarta, serta Abdul Jawat Nur, S.S., M.Hum dari Jurusan Sastra Asia Barat Fakultas Ilmu Budaya UGM Yogyakarta. Upaya ini menghasilkan bacaan lengkap, yaitu 19 Rajab 956 Hijriyyah.
Angka 956 Hijriyyah atau 1549 Tarikh Umum (TU) sebagai tahun pendirian masjid al-Aqsha dan negeri Kudus memiliki arti penting, di antaranya untuk menjelaskan situasi politik saat pendirian Kudus. Dalam linimasa sejarah diperoleh rangkuman bahwa diperkirakan Sunan Kudus memutuskan “keluar” dari Kerajaan Demak pada tahun 1543 TU. Kemudian sebagaimana diterangkan oleh F. Mendez Pinto, pada tahun 1546 TU, Sultan Trenggana, Raja Demak Ke-3 wafat dan mengakibatkan gaduhnya situasi politik Demak saat itu, dan konflik yang terus meluas. Sedangkan tahun 1549 TU, di tahun yang sama dengan pendirian masjid al-Aqsha dan negeri Kudus, juga terjadi perisitiwa penting, yaitu tewasnya Sunan Prawoto dan Arya Penangsang.
Kudus bukanlah satu-satunya “negeri” yang dibangun pada masa surutnya kejayaan Kerajaan Demak. Pada masa itu, ada tiga kerajaan yang diperintah oleh pemimpin-pemimpin agama, yaitu Cirebon, Kudus, dan Giri/Gresik, yang masing-masing memiliki ciri khas. Ja’far Shadiq membangun Kudus di sebuah wilayah yang bernama asli Tajug dengan sepenuhnya mandiri, tidak ada catatan yang menunjukkan panghadiahan tanah oleh raja Demak kepada Sunan Kudus, tidak seperti para ulama Kadilangu yang memperoleh hasil tanah ladang yang telah dihadiahkan kepada mereka oleh Keraton Demak.
Sunan Kudus mula-mula memperoleh penghasilan dari tanah-tanah ladang di sekitarnya yang diolah para pengikutnya, yaitu pasukan dan barisan santri yang turut mengikutinya kelaur dari Demak untuk membangun “negeri” Kudus. Keberadaan beberapa situs, yaitu desa beserta masjid kunonya, seperti masjid Jepang, Loram, Nganguk, dan Langgar Dalem, juga mengisyaratkan bahwa Ja’far Shadiq membangun Kudus dengan sistem desentralisasi, dibuktikan dengan masih dipertahankannya desa dan masjid-masjid kuno tersebut hingga didirikannya masjid al-Aqsha dan “negeri” Kudus.
Kudus sebagai “kota suci” sudah sangat terkenal di Nusantara sebagai pusat agama. Deskripsi tentang Kudus, di antaranya disampaikan oleh Antonio Hurdt, dalam ekspedisinya ke Kediri pada tahun 1678 TU menyatakan kekagumannya terhadap menara raksasa di Masjid al-Aqsha Kudus, sebagai bangunan yang kokoh, tampan, dan arsitekturnya mengakomodir seni arsitektur candi-candi pra Islam.
Dari uraian di atas, dapat disampaikan beberapa kesimpulan. Pertama, Keberadaan prasasti pendirian masjid al-Aqsha dan negeri Kudus, berupa candra sengkala lamba, menunjukkan Kudus memiliki tradisi pencatatan yang baik, mengenaik nama masjid dan “negeri”, siapa tokoh pendiri lengkap dengan gambaran kedudukan dan profilnya, serta tanggal pendiriannya. Kedua, sejak awal Kudus dirintis dengan semangat kemandirian, tanpa “campur tangan” pemberian hadiah dari penguasa saat itu, dan berhasil mengolah sumber daya alternatif berupa pertanian dan perdagangan, bahkan di daerah atau wilayah yang tidak memiliki pelabuhan niaga sebagaimana kecenderungan daerah-daerah lainnya saat itu. Ketiga, Kudus dirintis dan dibangun dengan ciri khusus, yaitu “negeri” santri, negerinya ulama, namun menjunjung tinggi tepa salira, toleran atau tasamuh, diwujudkan dalam arsitektur bangunan sucinya yaitu masjid beserta menaranya, serta dalam metode dakwah dan perilaku keseharian.
Memperingati 483 tahun berdirinya masjid al-Aqsha dan “negeri” Kudus adalah sebuah sarana refeksi dan upaya nguri-nguri nilai luhur Kudus yang dirintis dan diajarkan Kangjeng Sunan Kudus, yang masih, bahkan semakin relevan dalam kehidupan berbangsa Indonesia saat ini, di tengah gempuran issu intoleransi. Dalam rangakian upaya tersebut, maka menjadi penting pula untuk mencermati dan membaca keberadaan prasasti pendirian masjid al-Aqsha dan “negeri” Kudus. Sayangnya, hingga tujuh tahun bacaan isi lengkap prasasti, belum terlihat sama sekali respon dan niat baik Pemerintah Kabupaten Kudus, untuk setidaknya mengevaluasi dan merevisi Peraturan Daerah Kabupaten Kudus No. 11 Tahun 1990 (terbit tanggal 6 Juli 1990), yang menetapkan hari jadi Kudus pada tanggal 23 September 1549 TU. Padahal, penetepan tersebut didasarkan tanggal cultural, bukan hystorical. Itupun, menggunakan metode konversi tanggal yang tidak tepat.
Disarikan dari:
DR. H.J. De Graaf dan DR TH. G. Pigeaud, Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa, Peralihan dari Majapahit ke Mataram, Grafiti Pers, 1985
Ludvik Kalus dan Claude Guillot, Inskripsi Islam Tertua di Indonesia, Kepustakaan Populer Gramedia, 2008.
No comments: