Oleh : Yasir Amrullah
Khattath yang memiliki budi pekerti tinggi, sekaligus
seorang sufi yang khusyuk dan bersikap tenang ini lahir pada tahun 1871, di
daerah Macka, Trabzon. Ketika umurnya masih belia, beliau bersama keluarganya
pindah ke daerah pedesaan bernama Kagithane yang berada di Istanbul. Ketika
beranjak dewasa, Aziz mulai menekuni bidang khat yang ia pelajari dari khattath
besar pada masanya. Bukti dari kegigihan dan kegemarannya terhadap khat
yang tiada tara, tempat belajarnya dia jadikan tempat tinggalnya. Ia rajin
latihan untuk pelajaran yang dia dapat dari gurunya. Berkat kepiawaiannya dalam
menarikan pena maka kualitas tulisannya pun memiliki corak yang khusus yang
menambah keindahan kebathinannya. Dengan kelebihan penulisan yang dia miliki,
beliau hampir mengungguli gurunya sendiri dan teman sejawatnya.
Ada cerita khusus yang menunjukkan kedekatan hubungan antara sang murid,
Aziz Rifa’i dan gurunya Arif Afandi (murid Muhammad Syauqi). Kedekatan hubungan
ini menunjukkan nilai luhur dan kegigihan baik sang guru maupun murid dalam
belajar dan mengajarkan khot. Diriwayatkan bahwa suatu ketika datang musim
dingin yang sangat menusuk, Arif Afandi tetap keluar dari rumahnya untuk datang
ke madrasah khot sambil berkata pada dirinya sendiri “Jika tidak ada satu
murid pun yang datang, aku yakin Aziz akan tetap datang”. Demikianlah
Sang Guru sengaja memaksakan diri untuk pergi ke madrasah supaya muridnya tidak
merasa kecewa jika hari itu tidak mendapatkan tashih. Dan benar apa yang ia
katakan, karena begitu sampai di madrasah, Aziz Rifa’i bahkan telah
menunggu kedatangannya di madrasah guna untuk belajar. Karena kegigihan itulah,
hingga gurunya kewalahan dalam membimbing Aziz Rifa’i. sampai pernah berkata
“Wahai anakku, aku sudah tidak sanggup lagi untuk memberikan pelajaran baru
kepadamu, namun aku tidak bermaksud untuk meninggalkanmu dalam keadaan sedih”.
Meskipun begitu Aziz Rifa’i tidak merasa sombong akan kepiawaiannya tetap
tawadhu dan rendah hati. Itulah sifat sebagai seorang khattath yang patut
ditiru sebagai contoh adab dalam kegigihan dan menghormati guru.
Pada tahun 1896, Aziz Rifa’i menyelesaikan khat diwani dan naskh kemudian
mendapat ijazah dari gurunya Arif Afandi, dengan begitu Sang Guru telah
memberikan hak kepadanya untuk memberikan tauqi (tanda tangan) di bawah
karya yang dibuatnya. Kemudian beliau juga mendapatkan ijazah khat
Nasta’liq dari gurunya yang lain yakni Husni Qarn Abadi Afandi pada
tahun 1894. Sepeninggalan wafatnya sang guru, Aziz Afandi meneruskan
pengembaraannya, kali ini ia belajar kepada ustadz besar yaitu Sami Afandi.
Beliau belajar dari Sami pada khat Suluts Jaly dan Ta’liq Jaly.
Selain itu, Aziz Rifa’i menekuni beberapa jenis khat yang lainnya
seperti Raihani, Muhaqqaq, Tauqi’, dan Riq’ah
secara detail dan indah. Dalam setiap penulisan pada karya-karya beliau
terdapat tauqi’ di akhir karya dengan kalimat Katabahu ‘Aziz, atau
Abdul Aziz al-Ayyubi atau Al-Syaikh Muhammad Abdul Aziz ar-Rifa’i.
Selain terkenal dengan husnul adabnya, Aziz Rifa’i ketika berbicara
tentang ilmu, baik khot maupun tadzhib (zahrofah) yang beliau
kuasai, tidak pernah memberikan keterangan dengan setengah setengah,
akan tetapi mengajarkannya dengan sungguh-sungguh tanpa menyembunyikan rahasia
apapun. Satu prinsip kehidupan beliau adalah, “Bahwa Allah selalu
melihat gerak saya setiap saat, tidak terdapat suatu waktu dan tempat
pun dimana Allah tidak melihatku. Maka akankah aku
merusak adabku sedangkan Allah selalu melihat gerak gerikku?”
Sungguh, kata-kata ini tidak mungkin kita dapati kecuali dari seorang
khattath yang beradab dan beriman.
Pada tahun 1922, Syaikh Aziz Rifa’i pernah bertandang ke Kairo atas
undangan dari Raja Fuad Awwal, Raja Mesir saat itu, untuk menulis mushaf khusus
untuk Sang Raja. Setelah menyelesaikan penulisan mushaf sekaligus hiasan
tadzhibnya, dan datang waktu untuk kembali pulang ke Turki, saat itulah terjadi
Revolusi Turki, sehingga kantor tempat beliau bekerja pun terkena imbasnya dan
ditutup. Karena alasan inilah dan atas saran dari Raja dan para khattath Mesir,
beliau kemudian menetap di Kairo dan mengajar di Madrasah Malakiyyah yang
kemudian hari dikenal dengan Madrasah Khalil Agha. Selama 11 tahun
mengajar di Kairo itulah, Syaikh Aziz berhasil mengkader banyak khattath Mesir
dengan mengajar di Madrasah Khot, sekaligus menjadi direkturnya.
Sekembalinya ke Istanbul setelah pengabdian yang panjang di Kairo, Syaikh
Aziz Rifa’i berpulang ke rahmatullah pada tanggal 5 Jumadal Ula 1353 H/ 16
Agustus 1934 M. Dimakamkan di kompleks pemakaman Ardana Kapi, Istanbul. Syaikh
Aziz –rahimahullah- adalah khattath yang menguasai semua jenis khot. Utamanya
Tsuluts, Naskh, dan Jaly Tsuluts. Merupakan tipe khattath yang cepat dalam
menulis dengan tarkib yang menawan.
Dari keterangan ini, terdapat pesan yang tersirat bahwa ketika Syaikh Aziz
ar-Rifa’i telah mendapatkan ijazah dari guru tertentu, beliau tidak merasa
cukup dengan apa yang telah beliau dapatkan tetapi terus mengembangkan
keilmuannya untuk belajar kepada guru yang lain untuk mengupas rahasia setiap
huruf yang mungkin belum beliau ketahui sebelumnya. Semoga kita senantiasa
mengikuti jejak beliau dan jejak para khattath kibar yang lainnya. Amin.
Dinukil dari Muhyiddin Serin, Sun’atuna al-Khattiyah, Tarjamah oleh
Mustafa Hamzah (Damaskus: Daru at-Taqaddum, 1994).
[yasir/hamidionline.net]
No comments: