Slider[Style1]

PSKQ dalam Liputan

Style2

Style3[OneLeft]

Style3[OneRight]

Style4

Style5

Style6

Style7

Style8

Style9

PSKQ Modern, 25 Mei 2015

Syaiful Adnan lahir di Saningbakar, Solok Sumatera Barat tanggal 5 Juli 1957. Dalam perjalanan karirnya yang singkat ia telah menyimpan banyak penghargaan. Setelah lulus dari Sekolah Seni Rupa Indonesia Padang tahun 1975, ia masuk Sekolah Tinggi Seni Rupa “ASRI” Yogyakarta jurusan Seni Lukis. Belum genap setahun di sini ia telah menyabet 2 penghargaan dalam kompetisi seni lukis. Tahun 1978, Syaiful Adnan duduk sebagai pemenang pertama dalam lomba seni lukis PORSENI Mahasiswa se-Yogyakarta untuk lukisan cat air. Sekaligus sebagai pemegang hadiah pertama dalam kompetisi lukisan cat minyak dalam lomba yang sama. Di tahun 1978 pula ia memenangkan medali emas dalam lomba seni lukis cat minyak se-Indonesia, pun sekaligus sebagai pemenang medali emas untuk cat air. Dalam kompetisi itu pula ia diangkat sebagai pelukis terbaik dan meraih tropi Gubernur DKI Jakarta Tjokropranolo. Tahun 1979 merebut hadiah Pratisara Affandi Adikarya di STSRI “ASRI”. Setahun kemudian ia mendapat beasiswa dari “ASRI” 1980.

Cukup membanggakan. Padahal kalau disimak, perjalanan seni Syaiful Adnan ini sebagian besar hasil dorongan diri sendiri saja. Ia bukan lahir dari keluarga seniman. Dan pula bukan anak seorang kyai, sehingga ia begitu fasih menguasai banyak sisi agama Islam. Adnan Sutati Satim ayah Syaiful adalah seorang petani, juga ibunya Kamisah adalah seorang wanita pengolah tanah. Meskipun menyinggung Islamnya, mereka memang termasuk penganut Islam yang ketat, sebagaimana kebanyakan orang awam. Tetapi lingkungan Syaiful yang keislaman memang mendorongnya untuk senantiasa melukis kaligrafi Arab seperti sekarang ini. Meskipun itu tidak mutlak. Syaiful mengaku bahwa keagungan al-Qur’an sendirilah yang menyebabkan ia begitu terlibat. Ditambah adanya hadis Nabi yang menyatakan “Sampaikanlah dari padaku walaupun hanya satu ayat.” Dari situ Syaiful merasa disentuh kewajiban untuk mengamalkannya, lewat jalan yang ia tempuh dan ia sanggupi yaitu seni lukis.
Maka meluncurlah karya-karyanya. Dan semua menunjukkan gaya khas Syaiful Adnan sendiri, dengan kadar yang berusaha menyamai karya jago-jago lukis kaligrafi Indonesia seperti AD Pirous dan Ahmad Sadali. Kreatifitas dan produktifitasnya menjanjikan harapan banyak untuk sampai di deretan elita seni lukis kaligrafi kita. Syaiful dulunya bukan pelukis yang gemar sekali menggores-gores huruf Arab di kanvasnya. Ia banyak melahap obyek-obyek hidup seperti manusia dan menggarap panorama. Tetapi ketika ia telah jauh dari kampung halamannya, dari tempat yang banyak mendekatkannya ke dunia Islam, Syaiful seperti dihimpit oleh perasaan rindu. Nostalgia keeratannya dengan Islam ingin dikembalikan. Namun dengan jalan lain. Melukis obyek-obyek konkrit ditinggalkannya. Dan ia menemukan kaligrafi Arab sebagai medium yang menurutnya paling tepat. Dianggap tepat karena ia jauh hari telah menguasai benar lekuk-liku huruf Arab. Dari membaca, menulis dan mengaji. Selain itu lewat kaligrafi Arab ada sesuatu yang luar biasa ia dapatkan. Kepuasan rohani yang lebih daripada jika melukis yang bukan kaligrafi.
Dalam berekspresi kaligrafi Arab ia memperoleh kepuasan rohani yang bersifat vertikal, yaitu hubungan dengan Allah swt. Di lain pihak ia memperoleh kepuasan rohani secara horisontal. Maksudnya lewat kaligrafi Arab kehendak berkomunikasi dengan lingkungan dan masyarakat, rasanya tercapai. Dengan kaligrafi, ia ingin membantu penyampaian dakwah Islam dengan menyentuh kalbu manusia sesuai dengan fitrahnya, supaya semua bisa menjalani kehidupan menurut petunjuk Ilahi. Karena itu, rasanya Syaiful tidak bakal bisa meninggalkan kaligrafi selama ia masih melukis. Dan karena itu pula ia tak mau dianggap ikut-ikutan melukis kaligrafi, ketika ada yang bicara bahwa munculnya lukisan kaligrafi sekarang banyak yang karena mode saja. Anggapan yang pernah dilontarkan tersebut agaknya kurang tepat dan masih terlalu pagi. Seni lukis kaligrafi masih dalam taraf pertumbuhan. Dan seperti biasa terjadi pada hal lain, hal baru selalu menarik diikuti bersama. Apalagi anggapan itu tidak disertai dengan data-data yang meyakinkan. Syaiful agaknya optimis benar dengan pertumbuhan seni lukis kaligrafi di Indonesia. Syaiful sebenarnya juga bisa menuliskan kalimat atau kata-kata lain di luar al-Qur’an dalam lukisan-lukisannya, lewat huruf Arab. Tetapi ia tidak tertarik untuk berbuat itu. Ia merasa bahwa ia menemukan bentuk dan gaya lukisannya karena Islam, karena itu ia akan rekat senantiasa dengan ajaran-ajaran Islam yang didapatnya dari al-Qur’an. Setiap kali ia menulis ayat-ayat di kanvas, setiap kali pula ia merenung. Dan ia mendapatkan makna baru yaitu kedamaian hati dan jiwa.
Apa yang dipilih Syaiful semua didasarkan pada prinsip: bagaimana karyanya bisa merubah sikap dan sifat manusia yang melihat dan membacanya. Dari yang buruk menuju baik. Di sini Syaiful merasakan bahwa karyanya menyimpan fungsi langsung bagi kehidupan rohaniah banyak orang. Ia memang ingin memberikan sesuatu yang berharga kepada umat manusia, tanpa harus bertindak sebagai kyai. Tanpa naik panggung dan berbicara di depan corong seperti seorang ustadz. Karena itu memang bukan bagiannya.
***
Saat masih kuliah di Yogyakarta, Syaiful Adnan pernah mengalami titik puncak kejenuhan. Kesehariannya yang hanya melukis obyek atau tema konvensional seputar manusia, lanskap atau alam lingkungan, dirasakannya kurang memberikan makna yang dalam pada karya-karyanya. Hanya keindahan yang semu belaka.
“Saya tidak bisa mengaktualisasikan diri saya sebagi muslim dalam setiap lukisan saya. Saya jenuh dengan obyek-obyek konvensional itu. Maka saya lantas mencari bentuk yang lebih berdimensi luas. Dan di kaligrafi itulah saya menemukannya,” tutur pelukis kaligrafi generasi kedua setelah Ahmad Sadali, AD. Pirous, Amang Rahman dan Amri Yahya itu dengan yakin.
Syaiful Adnan yang telah lebih dari 32 tahun menjadikan ayat-ayat al-Qur’an dan hadis sebagai sumber inspirasi karya lukisnya, mengaku telah memetik buah dari pengabdiannya selama ini. Secara karakteristik, keberadaan karya pelukis kelahiran Saningbakar, Solok Sumatera Barat 5 Juli 1957 ini, agaknya patut disejajarkan dengan para perintis seni lukis kaligrafi Islam Indonesia.
Berbicara soal seni lukis kaligrafi Islam Indonesia ada yang menarik dari pendapat Syaiful. Ia lebih cenderung mengatakan sebagai kaligrafi Islam di Indonesia, bukan seni kaligrafi Islam Indonesia. Kesuburan reproduksi yang ada belum bisa diukur sebagai hasil isme atau aliran yang dalam hal ini benar-benar khas Indonesia. Ia punya alasan; pertama, bahwa kesukaan para senirupawan akan seni kaligrafi belum berumur panjang. Karena itu hasilnya belum cukup banyak menerima godaan. Akan halnya tulisan terdahulu, ambillah Kufi misalnya. Kufi lahir dan dibesarkan di kota Kufah melalui proses uji ratusan tahun dan membuatnya menjadi semacam isme yang dinasabkan kepada kota kelahirannya yaitu Kufah. Demikian pula Farisi (yang dinasabkan dengan nama daerah Persia), Naskhi (bahan naskah ratusan tahun), Diwani (yang sering digunakan pada dewan atau kantor selama ratusan tahun) dan lain-lain. Kedua, Sambutan hangat atas hasil cipta kaligrafi kini, disamping banyak nilai positifnya, juga telah membuat beberapa senirupawan “latah” alias sekedar ikut-ikutan mencoba. Ada sapuan asal coret atau berbentuk simbol-simbol ‘jimat’ yang sukar dilukiskan maknanya karena pembuatnya kurang arif akan teori imla’iyah tulisan Arab. Ketiga, Hasil karya sebagian kaligrafer dan pelukis umumnya masih bersifat individual. Hal ini tidak masalah malah harus diberi tepuk tangan, sebab telah mendapat khasanah baru yang sangat berharga. Tidak peduli apakah ia menjadi bahan kontroversi atau tidak.
Sungguhpun ia mengolah kalam-kalam Ilahi, namun ia tidak hanya menitikberatkan pada aspek kaligrafi semata, tidak hanya mengolah huruf. Tetapi keseluruhan bidang disapunya dengan warna-warna berat yang klasik dan magis, seperti coklat tua, hijau tua, hitam dan putih. Dengan teknik sapuan paletnya yang khas, seakan sengaja menyeret penikmatnya untuk menyaksikan lukisan atau goresan di dinding-dinding gua. Menyeret penikmatnya ke alam purba. Menatap karya Syaiful Adnan kita seperti dituntun memasuki sebuah ruang transendental. Lewat karyanya berdimensi religius Islam itu, ia mengajak penikmatnya untuk menghayati gaya seni lukis kaligrafi yang mengangkat ayat suci al-Qur’an. Sebuah karya seni yang etis namun tetap mengindahkan nilai-nilai estetis secara padu.
Saat ini, Syaiful Adnan dianggap oleh sesama pelukis kaligrafi Arab, telah menemukan bentuk khat di luar delapan baku yang telah ada. Mereka menamakan sebagai gaya khat Syaifuli. Kemampuan Syaiful menemukan bentuk khat baru ini justru karena ia tidak secara khusus belajar menulis kaligrafi Arab. Ketidaktahuan ini justru telah memberinya keleluasaan atau kebebasan dalam menuliskan huruf-huruf Arab yang memang plastis itu sesuai dengan keinginannya.
Dengan kaligrafi Qur’ani, Syaiful merasa telah menemukan media ungkap yang mampu menghantarkannya ke tingkat kepuasaan batin secara penuh, baik yang bersifat horizontal maupun vertikal. Dengan kaligrafi ia menyatukan idiom seni dan idiom agama sehingga melahirkan karya yang pekat akan nilai-nilai transenden. Melukis baginya merupakan tindakan religius karena hal itu ia lakukan tak banyak berbeda dengan aktifitas ibadah lainnya. Dalam kondisi dan situasi seperti itu ia merasa mampu memasuki dimensi ilahiyah secara utuh dan menemukan puncak kebahagiaan, yang kesemuanya itu ia syukuri sebagai berkat kebesaran Ilahi.
Sebagai pencipta, setiap pelukis memiliki proses yang spesifik. Begitu halnya dengan Syaiful Adnan. Dalam upayanya menjalarkan getaran batin agar terpancar pada hasil karyanya, Syaiful meyakini tentang rumus-rumus transenden untuk menyibak tabir dimensi Ilahiyah tersebut. “Biasanya saya melakukan dzikir seusai shalat, bila perlu ditambah puasa, agar unsur-unsur isi merasuk ke dalam karya,” ungkap sarjana seni rupa lulusan STSRI-ASRI (ISI) Yogyakarta tahun 1992 yang sarat prestasi ini.
Berkesenian baginya lantas bukan berarti sekedar menggeluti dan mengutak-atik keindahan artistik semata. Namun juga menyisipkan pesan guna memberikan pesan guna memberikan motivasi kepada penikmatnya. Maka tak heran apabila Syaiful Adnan seperti sajadah panjang yang menuntun penikmatnya ke alam transenden, menemui Tuhan.
Sejak 1983 hingga kini, ia telah lebih dari 40 kali melakukan pameran di dalam dan luar negeri. Antara lain Kuala Lumpur, Jeddah dan Riyadh bersama pelukis AD Pirous, Abay D. Subarna, Amri Yahya, alm. Ahmad Sadali dan Amang Rahman.
Dari ratusan karyanya, 74 buah diantaranya dikoleksi oleh tokoh-tokoh terkemuka. Mulai dari Istana Negara RI, alm. H. Adam Malik, Sri Sultan Hamengku Buwono X, Museum Nasional, Museum Negara Malaysia, Dr. A. Steenbrink (Orientalis) Amerika Serikat, alm. Zia Ul-Haq (Mantan Presiden Republik Islam Pakistan), Dr. Mahathir Muhammad (PM Malaysia), sampai ke kolektor Australia, Jepang, Saudi Arabia, Singapura, Perancis, Bangladesh, Kanada, Denmark dan Italia.
***
Berbicara tentang pengaruh kehadiran lukisan kaligrafi dalam sebuah ruangan, pelukis yang menggarap karya secara kidal (melukis memakai tangan kiri) ini mengatakan, lukisan kaligrafi Islam akan membuat suasana rumah terkesan religius. Dan secara psikologis mempengaruhi sikap hisup keseharian penghuninya.
Seni kaligrafi sering dinilai orang sebagai seni yang eksklusif, dilihat dari nilai artistiknya yang tidak mudah dan tidak setiap orang dapat melukisnya, Katanya. Pemahaman masyarakat tentang kaligrafi sering kali salah kaprah. Awam banyak beranggapan mendengar istilah kaligrafi lantas identik dengan kaligrafi Arab, dan jika mendengar kaligrafi Arab, lalu dipastikan Islam. Tidak setiap kaligrafi Arab itu mesti Islam. Istilah kaligrafi Islam hanya dapat ditujukan kepada kaligrafi Arab yang bersumber dari kitab suci al-Qur’an. Sehingga lebih baik kita mengatakan seni kaligrafi Islam dari pada kaligrafi Arab.
Kehadiran sebuah lukisan kaligrafi Islam pada dasarnya ditopang dua unsur elementer seni rupa, berupa unsur Fisiko Plastis disatu pihak, sedangkan di lain pihak tuntutan yang cenderung ke arah Ideo Plastis. Seperti yang dikatakan para kritikus sebagai bahasa seni rupa. Syarat-syarat Fisiko Plastis yang harus dipenuhi adalah pengetahuan secara estetis (mengenai) unsur-unsur elementer seni rupa meliputi bentuk, garis, warna, ruang cahaya dan volume. Sedangkan aspek-aspek ideoplastis meliputi semua masalah yang secara langsung ataupun tak langsung berhubungan dengan isi atau cita perbahasan bentuk. Bertolak dari konsepsi seni lukis kaligrafi Islam yang dikedepankan, maka sudah barang tentu merasakan dan menikmati bahasa keindahan yang tersimbul dalam lukisan kaligrafi, harus dihayati terlebih dahulu segala penyusunan dan struktur elemen-elemen fisiko plastis yang secara harmonis pada umumnya secara langsung berhubungan dengan pertanda visual (visual sign) untuk mengungkapkan pengalaman-pengalaman emosional secara umum.
Kaligrafi sebagai ekspresi estetis seni rupa (lukisan) adalah hasil kesenian dan bukan merupakan sekelompok kata-kata ditemukan dalam pengertian umum. Lukisan kaligrafi adalah ekspresi kesenian dan jauh melampaui batas-batas sebuah lukisan (tulisan khat) dalam pengertian biasa. Atau dengan kata lain bahwa kehadiran sebuah lukisan kaligrafi bukanlah sekedar tulisan yang hanya selesai pada tulisannya. Tapi kehadirannya memang sebagai lukisan dalam arti yang sesungguhnya.
Hal yang melatarbelakangi Syaiful Adnan melukis dengan tema-tema kaligafi setidaknya ada tiga, yaitu: pertama, faktor lingkungannya yang lahir dan dibesarkan di alam ranah Minangkabau. Suatu ranah yang dikenal dengan syara’ (religinya) begitu intens dengan tata kehidupan masyarakatnya yang berpola kepada “Adat basandi syara’, syara’ basandi Kitabullah”. Jadi pola (falsafah) hidup demikianlah yang membentuk karakter hidupnya sehingga sampai mengekspose kaligrafi Arab sebagai tema sentral dalam lukisan (setelah melalui proses kontemplatif) pada awal tahun 1977. Dan dengan membawa konsep; kaligrafi Arab dalam al-Qur’an sebagai titik tolak penciptaan seni lukis dalam pencapaian nilai-nilai baru seni lukis Islam. Kedua, adalah pendidikan. Mulanya hanya berbakat mandiri (bukan bawaan dari keluarga yang berdarah seni). Kemudian bakatnya yang dimiliki mendapat tempaan dari Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) di Padang tahun 1973-1975. Setamatnya dari SMSR dilanjutkan ke Yogyakarta memasuki Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (STSRI/ASRI) jurusan seni lukis tahun 1976-1982. Pendidikan kedua sekolah itulah yang membentuk eksistensi sebagai pelukis kaligrafi, yang akhirnya mengambil sikap bahwa berkesenian (melukis) tidaklah hanya sekedar menggeluti masalah artistik saja. Namun lebih dari itu dengan menyusupkan dimensi lain yaitu suatu pesan (religi) guna memberikan motivasi kepada apresiasinya, atau dengan istilah lain bahwa berkesenian yang etis dan estetis. Artinya karya seni itu juga berfungsi menciptakan dan meneruskan makna dari kehidupan masyarakat. Ketiga, adalah aspek bentuk kaligrafi Arab itu sendiri. Aspek bentuk disini mempunyai konotasi yang tersurat (fisiko plastis) dan yang tersirat (ideo platis). Secara tersurat tidak syak lagi bahwa kaligrafi Arab itu mempunyai artistik yang tinggi dan mempunyai banyak kemungkinan-kemungkinan. Kaligrafi Arab (khat) kaya akan variasi dan nuansa. Terkadang punya karakter lembut, ramah, luwes, tenang dan terkadang pula keras, lugas, tajam, garang dan menyentak. Namun kesemua karakter tersebut dalam suatu keharmonisan yang utuh (unity). Sedangkan secara tersirat (ideo plastis) atau maknawi dan cita perbahasan (fisiko plastis) nya baik secara langsung atau pun tak langsung berhubungan dengan kaligrafi Arab dan Rasulullah saw, secara eksplisit telah memberikan isyarat kepada kita.
Dalam mengekspose kaligrafi Arab sebagai tema lukisnya, Syaiful Adnan tidak akan menyuguhkan makna-makna baru secara ideo plastis dari kaligrafi Arab dalam al-Qur’an, walaupun ia bertolak dari suatu image simbolis tradisional yang memiliki arti klasik dan maha benar serta fungsi sosial budaya sendiri. Dengan seni lukis kaligrafi Arab ini, ia tidak juga bertujuan untuk mendistorsi dan berkompetisi dengan image-image simbolis spiritual dari suatu tradisi yang telah berurat akar dalam masyarakat Islam. Tetapi ingin menyuguhkan nilai-nilai artistik baru dan sekaligus memperkaya image-image simbolis spiritual fisiko plastisnya kaligrafi Arab. Yang ditampilkan bukan lafal-lafal al-Qur’an yang mudah dibaca atau tulisan yang hanya selesai pada tulisan, melainkan suatu penyatuan unsur-unsur fisiko plastis di suatu pihak dan ideo plastis sebagai cita perbahasaan bentuk kaligrafi arab yang dijiwai oleh firman-firman Ilahi.
(Dari berbagai sumber)

About Elsya Vera Indraswari

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments:

Post a Comment

Terimakasih telah berkunjung di Pesantren Seni Kaligrafi Al Quran, silahkan meninggalkan pesan, terima kasih


Top