PSKQ Modern, 25 Mei 2015
Ibnu Muqlah adalah Abu Ali al-Sadr Muhammad ibn al-Hasan ibn Abd
Allah ibn Muqlah, yang lebih dikenal dengan Abu Ali atau Ibnu Muqlah.
Lahir tahun 272 H/887 M, meninggal pada 940 M dan dikuburkan di
pekuburan kerajaan, setelah tiga kali dipindahkan. Ibnu Muqlah artinya
“anak si biji mata” yang berarti anak kesayangan. Abu Abdillah adalah
gelar bagi Ubnu Muqlah, nama yang sama dengan saudaranya, Abu Abdillah,
yang juga seorang kaligrafer kenamaan di zamannyaSedangkan Muqlah adalah
gelar ayahnya, Ali. Ada yang meriwayatkan sebagai nama ibunya, yang
apabila ayahnya (kakek Ibnu Muqlah) mempermainkannya, slalu memanggilnya
dengan kata-kata: “Yaa muqlata abiha!” (“Wahai biji mata ayahnya!”).
IBNU MUQLAH
Ibnu
Muqlah yang dikenal sebagai “Imam Khattatin” (Bapaknya Kaligrafer) dan
saudaranya, Abu Abdillah mendapat bimbingan kaligrafi dari Al-Ahwal
al-Muharrir, salah seorang murid Ibrahim al-Syajari yang paling masyhur,
hingga keduanya menjadi kaligrafer sempurna yang paling menguasai
bidangnya di Baghdad pada permulaan zaman tersebut.
Kejeniusan
Abu Ali Ibn Muqlah dan pengetahuan mendasarnya tentang geometri (ilmu
ukur) membawa kemajuan penting satu-satunya di bidang kaligrafi Arab.
Nama Ibnu Muqlah mendapat perhatian besar dalam halaman-halaman buku
sejarah. Karenanya, selalu dikaitkan kepada Abu Ali, sebagai penemu
sejati kaligrafi Arab Cursif.
Karena
kejeniusannya, ia dikenal sebagai nabinya para kaligrafer atau Imam
al-Khatthathin (pemimpin para kaligrafer). Keberhasilan Ibnu Muqlah
adalah mengangkat gaya Naskhi menjadi gaya yang paling populer dipakai,
setelah abad sebelumnya didominasi oleh gaya Kufi. Gaya lain yang
ditekuninya adalah Tsulus, yang nantinya banyak berpengaruh pada karya
Ibnu Bawab. Sumbangan Muqlah dalam kaligrafi bukan pada penemuan gaya
baru tulisan, akan tetapi pada penerapan kaidah-kaidah yang
sistematisuntuk kaidah khat Naskhi yang berpangkal pada huruf alif.
Lebih
jelasnya diterangkan oleh Y.H. Safadi, bahwa sistem Ibnu Muqlah
berpangkal pada tiga unsur kesatuan baku: titik (yang dibuat dari
tarikan diagonal pena), huruf alif vertikal dan lingkaran.
Prinsip-prinsip geometrikal ini mendobrak cara penulisan Arab sebelumnya
yang cenderung nisbi. Metode penulisan baru ini disebut al-Khath
al-Manshubi (kaligrafi yang tersandar). Meskipun kaidah-kaidah tersebut
tidak terpakai sekaku awal perintisan Ibnu Muqlah, perkembangan
kaligrafi selanjutnya banyak dipengaruhi oleh kepiawaiannya dalam
memperindah tulisan. Sayangnya, tidak satupun karyanya dapat terpelihara
hingga kini.
Pada
mulanya Ibnu Muqlah mengabdi pada beberapa kantor pemerintahan,
menyumbangkan kemahiran dari bakat yang dimilikinya sebagaimana yang
dilakukan oleh para kaligrafer lainnya. Untuk pekerjaan tersebut ia
mendapat upah enam dinar sebulan. Karirnya mulai meroket setelah ia
mengeratkan hubungan dengan Abu al-Hasan ibn Furat yang mengawalnya ke
puncak prestasi yang meyakinkan sehingga ia mulai populer dan banyak
mendapat sorotan dari segenap kalangan. Bahkan, dalam suatu catatan
disebutkan bahwa tulisan Ibnu Muqlah pernah digunakan dalam pembubuhan
surat perdamaian (hadnah) antara kaum muslimin dengan bangsa Romawi,
surat itu tetap dalam pegangan pemerintah Romawi hingga Sultan Muhammad al-Fatih menaklukkan kota Konstantinopel, ibukota Romawi Timur.
Berkat
keuletan luar biasa dan prestasi yang tampak sangat menonjol, ia
berhasil menaiki jenjang kedudukan perdana menteri (wazir) untuk tiga
orang khalifah Abbasiyah, yakni al-Muqtadir (908-932 M), al-Qahir (932-934 M) dan al-Radhi (934-940 M). Sayangnya ia sangat malang, mendapat tekanan-tekanan berat akibat masalah-masalah kekhalifahan
yang sedang bergolak dengan segala kekisruhannya; tatkala penindasan,
korupsi dan intrik-intrik politik menjadi setan-iblis kekuasaan yang
merajalela. Model kepemimpinan pada waktu itu telah menyiksanya dengan
beragam penganiayaan.
Ia memulai karirnya sebagai pegawai pemungut pajak di provinsi Persia
sekaligus mengatur anggaran pengeluarannya. Hingga keadaannya berbalik
ketika ia menjadi pejabat bawahan al-Imam al-Muqtadir Billah pada tahun
316 H yang membawanya sukses untuk menduduki posisi tertinggi di istana Baghdad. Namun ia juga mempunyai musuh yang menfitnahnya hingga ia ditangkap. Ia berkali-kali masuk penjara, hartanya disita dan ia dibuang ke Persia, sampai suatu saat ia mesti membayar tebusan satu juta dirham. Namun
ia malah menjadi pembantu al-Radhi, dan musuhnya pun kembali
mencemarkan nama baiknya hingga ia ditangkap lagi dan dipecat dari
jabatannya. Kenaasaannya mendorongnya mendekati Ibnu Raiq, Perdana
Menteri di Baghdad, bawahan khalifah yang naif itu. Namun khalifah tidak
bisa menyembunyikan rahasianya, bahkan membusukkan namanya dihadapan
Ibnu Raiq. Maka ia mendapat hukuman lagi dengan mempertaruhkan tangan kanan dan kirinya. Akhirnya
al-Radhi pun menyesal atas sikapnya sendiri dan menyuruh dokter untuk
mengobati luka tangannya yang sudah terpotong hingga ia sembuh. Ibnu
Muqlah menggoreskan pena dengan lengan tangannya yang terpotong dan
dengan itu pul ia menulis.
Akan
halnya dengan Ibnu Raiq, ketika ingatannya kumat akan permintaan Ibnu
Muqlah untuk duduk di kursi kementeriannya. Maka dibuatlah tindakan yang
lebih bengis melengkapi kekejaman sikap sebelumnya. Raiq menjatuhkan
hukuman potong lidah dan menjebloskan Ibnu Muqlah ke dalam penjara
hingga ia mendekam bertahun-tahun dengan segala duka derita yang tak
terkirakan. Di dalam penjara itu ia meninggal dunia tahun 328 H/940 M
dan dimakamkan di rumah sultan. Mendengar peristiwa itu, keluarganya
menuntut agar jenazahnya pun dibongkar dan diserahkan kepada keluarga.
Kemudian anaknya menguburkan di rumahnya sendiri. Dari rumah anaknya,
istrinya yang dikenal dengan Dinariyah menggalinya kembali dan
menguburkan di rumahnya di Istana Umm Habib Baghdad.
Segala kepedihannya pernah dilukiskan di dalam syairnya sebagai berikut :
Apabila setengahmu hapus nyawa
Nangislah sisanya
Sebab satu sama lain
Akrab senantiasa
Bukan ku telah muak hidup di dunia
Tapi, kepalang kudiperdaya sumpah mereka
Maka cerailah tangan kananku tercinta
Kujual kepada mereka agamaku
Dengan duniaku
Namun mereka halau aku dari dunia mereka
Sehabis mereka gasak agamaku
Kugoreskan kalam sekuat upayaku
Tuk melindungi nafas-nafas mereka
Duhai malangnya
Bukannya mereka melindungiku
Tiada nikmat dalam hidup ini
Sesudah senjata kananku perdi tiada arti
Duh, hayatku nan malang
Tangan kananku telah hilang
Hilanglah, segala arti tergusur hilang
No comments: