PSKQ Modern, 25 Mei 2015
Cukup
membanggakan. Padahal kalau disimak, perjalanan seni Syaiful Adnan ini
sebagian besar hasil dorongan diri sendiri saja. Ia bukan lahir dari
keluarga seniman. Dan pula bukan anak seorang kyai, sehingga ia begitu
fasih menguasai banyak sisi agama Islam. Adnan Sutati Satim ayah Syaiful
adalah seorang petani, juga ibunya Kamisah adalah seorang wanita
pengolah tanah. Meskipun menyinggung Islamnya, mereka memang termasuk
penganut Islam yang ketat, sebagaimana kebanyakan orang awam. Tetapi
lingkungan Syaiful yang keislaman memang mendorongnya untuk senantiasa
melukis kaligrafi Arab seperti sekarang ini. Meskipun itu tidak mutlak.
Syaiful mengaku bahwa keagungan al-Qur’an sendirilah yang menyebabkan ia
begitu terlibat. Ditambah adanya hadis Nabi yang menyatakan
“Sampaikanlah dari padaku walaupun hanya satu ayat.” Dari situ Syaiful
merasa disentuh kewajiban untuk mengamalkannya, lewat jalan yang ia
tempuh dan ia sanggupi yaitu seni lukis.
Maka
meluncurlah karya-karyanya. Dan semua menunjukkan gaya khas Syaiful
Adnan sendiri, dengan kadar yang berusaha menyamai karya jago-jago lukis
kaligrafi Indonesia seperti AD Pirous dan Ahmad Sadali. Kreatifitas dan
produktifitasnya menjanjikan harapan banyak untuk sampai di deretan
elita seni lukis kaligrafi kita. Syaiful dulunya bukan pelukis yang
gemar sekali menggores-gores huruf Arab di kanvasnya. Ia
banyak melahap obyek-obyek hidup seperti manusia dan menggarap panorama.
Tetapi ketika ia telah jauh dari kampung halamannya, dari tempat yang
banyak mendekatkannya ke dunia Islam, Syaiful seperti dihimpit oleh
perasaan rindu. Nostalgia keeratannya dengan Islam ingin dikembalikan.
Namun dengan jalan lain. Melukis obyek-obyek konkrit ditinggalkannya.
Dan ia menemukan kaligrafi Arab sebagai medium yang menurutnya paling
tepat. Dianggap tepat karena ia jauh hari telah menguasai benar
lekuk-liku huruf Arab. Dari membaca, menulis dan mengaji. Selain itu
lewat kaligrafi Arab ada sesuatu yang luar biasa ia dapatkan. Kepuasan
rohani yang lebih daripada jika melukis yang bukan kaligrafi.
Dalam
berekspresi kaligrafi Arab ia memperoleh kepuasan rohani yang bersifat
vertikal, yaitu hubungan dengan Allah swt. Di lain pihak ia memperoleh
kepuasan rohani secara horisontal. Maksudnya lewat kaligrafi Arab
kehendak berkomunikasi dengan lingkungan dan masyarakat, rasanya
tercapai. Dengan kaligrafi, ia ingin membantu penyampaian dakwah Islam
dengan menyentuh kalbu manusia sesuai dengan fitrahnya, supaya semua
bisa menjalani kehidupan menurut petunjuk Ilahi. Karena itu, rasanya
Syaiful tidak bakal bisa meninggalkan kaligrafi selama ia masih melukis.
Dan karena itu pula ia tak mau dianggap ikut-ikutan melukis kaligrafi,
ketika ada yang bicara bahwa munculnya lukisan kaligrafi sekarang banyak
yang karena mode saja. Anggapan yang pernah dilontarkan tersebut
agaknya kurang tepat dan masih terlalu pagi. Seni lukis kaligrafi masih
dalam taraf pertumbuhan. Dan seperti biasa terjadi pada hal
lain, hal baru selalu menarik diikuti bersama. Apalagi anggapan itu
tidak disertai dengan data-data yang meyakinkan. Syaiful agaknya optimis
benar dengan pertumbuhan seni lukis kaligrafi di Indonesia. Syaiful
sebenarnya juga bisa menuliskan kalimat atau kata-kata lain di luar
al-Qur’an dalam lukisan-lukisannya, lewat huruf Arab. Tetapi ia tidak
tertarik untuk berbuat itu. Ia merasa bahwa ia menemukan bentuk dan gaya
lukisannya karena Islam, karena itu ia akan rekat senantiasa dengan
ajaran-ajaran Islam yang didapatnya dari al-Qur’an. Setiap kali ia
menulis ayat-ayat di kanvas, setiap kali pula ia merenung. Dan ia
mendapatkan makna baru yaitu kedamaian hati dan jiwa.
Apa
yang dipilih Syaiful semua didasarkan pada prinsip: bagaimana karyanya
bisa merubah sikap dan sifat manusia yang melihat dan membacanya. Dari
yang buruk menuju baik. Di sini Syaiful merasakan bahwa karyanya
menyimpan fungsi langsung bagi kehidupan rohaniah banyak orang. Ia
memang ingin memberikan sesuatu yang berharga kepada umat manusia, tanpa
harus bertindak sebagai kyai. Tanpa naik panggung dan berbicara di
depan corong seperti seorang ustadz. Karena itu memang bukan bagiannya.
***
Saat
masih kuliah di Yogyakarta, Syaiful Adnan pernah mengalami titik puncak
kejenuhan. Kesehariannya yang hanya melukis obyek atau tema
konvensional seputar manusia, lanskap atau alam lingkungan, dirasakannya
kurang memberikan makna yang dalam pada karya-karyanya. Hanya keindahan
yang semu belaka.
“Saya
tidak bisa mengaktualisasikan diri saya sebagi muslim dalam setiap
lukisan saya. Saya jenuh dengan obyek-obyek konvensional itu. Maka saya
lantas mencari bentuk yang lebih berdimensi luas. Dan di kaligrafi
itulah saya menemukannya,” tutur pelukis kaligrafi generasi kedua setelah Ahmad Sadali, AD. Pirous, Amang Rahman dan Amri Yahya itu dengan yakin.
Syaiful
Adnan yang telah lebih dari 32 tahun menjadikan ayat-ayat al-Qur’an dan
hadis sebagai sumber inspirasi karya lukisnya, mengaku telah memetik
buah dari pengabdiannya selama ini. Secara karakteristik, keberadaan
karya pelukis kelahiran Saningbakar, Solok Sumatera Barat 5 Juli 1957
ini, agaknya patut disejajarkan dengan para perintis seni lukis
kaligrafi Islam Indonesia.
Berbicara
soal seni lukis kaligrafi Islam Indonesia ada yang menarik dari
pendapat Syaiful. Ia lebih cenderung mengatakan sebagai kaligrafi Islam
di Indonesia, bukan seni kaligrafi Islam Indonesia. Kesuburan reproduksi
yang ada belum bisa diukur sebagai hasil isme atau aliran yang
dalam hal ini benar-benar khas Indonesia. Ia punya alasan; pertama,
bahwa kesukaan para senirupawan akan seni kaligrafi belum berumur
panjang. Karena itu hasilnya belum cukup banyak menerima godaan. Akan
halnya tulisan terdahulu, ambillah Kufi misalnya. Kufi lahir dan
dibesarkan di kota Kufah melalui proses uji ratusan tahun dan membuatnya
menjadi semacam isme yang dinasabkan kepada kota kelahirannya
yaitu Kufah. Demikian pula Farisi (yang dinasabkan dengan nama daerah
Persia), Naskhi (bahan naskah ratusan tahun), Diwani (yang sering
digunakan pada dewan atau kantor selama ratusan tahun) dan lain-lain.
Kedua, Sambutan hangat atas hasil cipta kaligrafi kini, disamping banyak
nilai positifnya, juga telah membuat beberapa senirupawan “latah” alias
sekedar ikut-ikutan mencoba. Ada sapuan asal coret atau berbentuk
simbol-simbol ‘jimat’ yang sukar dilukiskan maknanya karena pembuatnya
kurang arif akan teori imla’iyah tulisan Arab. Ketiga, Hasil
karya sebagian kaligrafer dan pelukis umumnya masih bersifat individual.
Hal ini tidak masalah malah harus diberi tepuk tangan, sebab telah
mendapat khasanah baru yang sangat berharga. Tidak peduli apakah ia
menjadi bahan kontroversi atau tidak.
Sungguhpun
ia mengolah kalam-kalam Ilahi, namun ia tidak hanya menitikberatkan
pada aspek kaligrafi semata, tidak hanya mengolah huruf. Tetapi
keseluruhan bidang disapunya dengan warna-warna berat yang klasik dan
magis, seperti coklat tua, hijau tua, hitam dan putih. Dengan teknik
sapuan paletnya yang khas, seakan sengaja menyeret penikmatnya untuk
menyaksikan lukisan atau goresan di dinding-dinding gua. Menyeret
penikmatnya ke alam purba. Menatap karya Syaiful Adnan kita seperti
dituntun memasuki sebuah ruang transendental. Lewat karyanya berdimensi
religius Islam itu, ia mengajak penikmatnya untuk menghayati gaya seni
lukis kaligrafi yang mengangkat ayat suci al-Qur’an. Sebuah karya seni
yang etis namun tetap mengindahkan nilai-nilai estetis secara padu.
Saat
ini, Syaiful Adnan dianggap oleh sesama pelukis kaligrafi Arab, telah
menemukan bentuk khat di luar delapan baku yang telah ada. Mereka
menamakan sebagai gaya khat Syaifuli. Kemampuan
Syaiful menemukan bentuk khat baru ini justru karena ia tidak secara
khusus belajar menulis kaligrafi Arab. Ketidaktahuan ini justru telah
memberinya keleluasaan atau kebebasan dalam menuliskan huruf-huruf Arab
yang memang plastis itu sesuai dengan keinginannya.
Dengan
kaligrafi Qur’ani, Syaiful merasa telah menemukan media ungkap yang
mampu menghantarkannya ke tingkat kepuasaan batin secara penuh, baik
yang bersifat horizontal maupun vertikal. Dengan kaligrafi ia menyatukan
idiom seni dan idiom agama sehingga melahirkan karya yang pekat akan
nilai-nilai transenden. Melukis baginya merupakan tindakan religius
karena hal itu ia lakukan tak banyak berbeda dengan aktifitas ibadah
lainnya. Dalam kondisi dan situasi seperti itu ia merasa mampu memasuki
dimensi ilahiyah secara utuh dan menemukan puncak kebahagiaan, yang
kesemuanya itu ia syukuri sebagai berkat kebesaran Ilahi.
Sebagai
pencipta, setiap pelukis memiliki proses yang spesifik. Begitu halnya
dengan Syaiful Adnan. Dalam upayanya menjalarkan getaran batin agar
terpancar pada hasil karyanya, Syaiful meyakini tentang rumus-rumus
transenden untuk menyibak tabir dimensi Ilahiyah tersebut. “Biasanya
saya melakukan dzikir seusai shalat, bila perlu ditambah puasa, agar
unsur-unsur isi merasuk ke dalam karya,” ungkap sarjana seni rupa
lulusan STSRI-ASRI (ISI) Yogyakarta tahun 1992 yang sarat prestasi ini.
Berkesenian
baginya lantas bukan berarti sekedar menggeluti dan mengutak-atik
keindahan artistik semata. Namun juga menyisipkan pesan guna memberikan
pesan guna memberikan motivasi kepada penikmatnya. Maka tak heran
apabila Syaiful Adnan seperti sajadah panjang yang menuntun penikmatnya
ke alam transenden, menemui Tuhan.
Sejak
1983 hingga kini, ia telah lebih dari 40 kali melakukan pameran di
dalam dan luar negeri. Antara lain Kuala Lumpur, Jeddah dan Riyadh
bersama pelukis AD Pirous, Abay D. Subarna, Amri Yahya, alm. Ahmad
Sadali dan Amang Rahman.
Dari
ratusan karyanya, 74 buah diantaranya dikoleksi oleh tokoh-tokoh
terkemuka. Mulai dari Istana Negara RI, alm. H. Adam Malik, Sri Sultan
Hamengku Buwono X, Museum Nasional, Museum Negara Malaysia, Dr. A.
Steenbrink (Orientalis) Amerika Serikat, alm. Zia Ul-Haq (Mantan
Presiden Republik Islam Pakistan), Dr. Mahathir Muhammad (PM Malaysia),
sampai ke kolektor Australia, Jepang, Saudi Arabia, Singapura, Perancis,
Bangladesh, Kanada, Denmark dan Italia.
***
Berbicara tentang pengaruh kehadiran lukisan kaligrafi dalam sebuah ruangan, pelukis yang menggarap karya secara kidal
(melukis memakai tangan kiri) ini mengatakan, lukisan kaligrafi Islam
akan membuat suasana rumah terkesan religius. Dan secara psikologis
mempengaruhi sikap hisup keseharian penghuninya.
Seni
kaligrafi sering dinilai orang sebagai seni yang eksklusif, dilihat
dari nilai artistiknya yang tidak mudah dan tidak setiap orang dapat
melukisnya, Katanya. Pemahaman masyarakat tentang kaligrafi sering kali
salah kaprah. Awam banyak beranggapan mendengar istilah kaligrafi lantas
identik dengan kaligrafi Arab, dan jika mendengar kaligrafi Arab, lalu
dipastikan Islam. Tidak setiap kaligrafi Arab itu mesti Islam. Istilah
kaligrafi Islam hanya dapat ditujukan kepada kaligrafi Arab yang
bersumber dari kitab suci al-Qur’an. Sehingga lebih baik kita mengatakan
seni kaligrafi Islam dari pada kaligrafi Arab.
Kehadiran sebuah lukisan kaligrafi Islam pada dasarnya ditopang dua unsur elementer seni rupa, berupa unsur Fisiko Plastis disatu pihak, sedangkan di lain pihak tuntutan yang cenderung ke arah Ideo Plastis.
Seperti yang dikatakan para kritikus sebagai bahasa seni rupa.
Syarat-syarat Fisiko Plastis yang harus dipenuhi adalah pengetahuan
secara estetis (mengenai) unsur-unsur elementer seni rupa meliputi
bentuk, garis, warna, ruang cahaya dan volume. Sedangkan aspek-aspek
ideoplastis meliputi semua masalah yang secara langsung ataupun tak
langsung berhubungan dengan isi atau cita perbahasan bentuk. Bertolak
dari konsepsi seni lukis kaligrafi Islam yang dikedepankan, maka sudah
barang tentu merasakan dan menikmati bahasa keindahan yang tersimbul
dalam lukisan kaligrafi, harus dihayati terlebih dahulu segala
penyusunan dan struktur elemen-elemen fisiko plastis yang secara
harmonis pada umumnya secara langsung berhubungan dengan pertanda visual
(visual sign) untuk mengungkapkan pengalaman-pengalaman emosional secara umum.
Kaligrafi
sebagai ekspresi estetis seni rupa (lukisan) adalah hasil kesenian dan
bukan merupakan sekelompok kata-kata ditemukan dalam pengertian umum.
Lukisan kaligrafi adalah ekspresi kesenian dan jauh melampaui
batas-batas sebuah lukisan (tulisan khat) dalam pengertian biasa. Atau
dengan kata lain bahwa kehadiran sebuah lukisan kaligrafi bukanlah
sekedar tulisan yang hanya selesai pada tulisannya. Tapi kehadirannya
memang sebagai lukisan dalam arti yang sesungguhnya.
Hal
yang melatarbelakangi Syaiful Adnan melukis dengan tema-tema kaligafi
setidaknya ada tiga, yaitu: pertama, faktor lingkungannya yang lahir dan
dibesarkan di alam ranah Minangkabau. Suatu ranah yang dikenal dengan
syara’ (religinya) begitu intens dengan tata kehidupan masyarakatnya
yang berpola kepada “Adat basandi syara’, syara’ basandi Kitabullah”. Jadi
pola (falsafah) hidup demikianlah yang membentuk karakter hidupnya
sehingga sampai mengekspose kaligrafi Arab sebagai tema sentral dalam
lukisan (setelah melalui proses kontemplatif) pada awal tahun 1977. Dan
dengan membawa konsep; kaligrafi Arab dalam al-Qur’an sebagai titik
tolak penciptaan seni lukis dalam pencapaian nilai-nilai baru seni lukis
Islam. Kedua, adalah pendidikan. Mulanya hanya berbakat mandiri (bukan
bawaan dari keluarga yang berdarah seni). Kemudian bakatnya yang
dimiliki mendapat tempaan dari Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) di
Padang tahun 1973-1975. Setamatnya dari SMSR dilanjutkan ke Yogyakarta
memasuki Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (STSRI/ASRI) jurusan seni
lukis tahun 1976-1982. Pendidikan kedua sekolah itulah yang membentuk
eksistensi sebagai pelukis kaligrafi, yang akhirnya mengambil sikap
bahwa berkesenian (melukis) tidaklah hanya sekedar menggeluti masalah
artistik saja. Namun lebih dari itu dengan menyusupkan dimensi lain
yaitu suatu pesan (religi) guna memberikan motivasi kepada apresiasinya,
atau dengan istilah lain bahwa berkesenian yang etis dan estetis.
Artinya karya seni itu juga berfungsi menciptakan dan meneruskan makna
dari kehidupan masyarakat. Ketiga, adalah aspek bentuk kaligrafi Arab
itu sendiri. Aspek bentuk disini mempunyai konotasi yang tersurat
(fisiko plastis) dan yang tersirat (ideo platis). Secara tersurat tidak
syak lagi bahwa kaligrafi Arab itu mempunyai artistik yang tinggi dan
mempunyai banyak kemungkinan-kemungkinan. Kaligrafi Arab (khat) kaya
akan variasi dan nuansa. Terkadang punya karakter lembut, ramah, luwes,
tenang dan terkadang pula keras, lugas, tajam, garang dan menyentak.
Namun kesemua karakter tersebut dalam suatu keharmonisan yang utuh
(unity). Sedangkan secara tersirat (ideo plastis) atau maknawi dan cita
perbahasan (fisiko plastis) nya baik secara langsung atau pun tak
langsung berhubungan dengan kaligrafi Arab dan Rasulullah saw, secara
eksplisit telah memberikan isyarat kepada kita.
Dalam
mengekspose kaligrafi Arab sebagai tema lukisnya, Syaiful Adnan tidak
akan menyuguhkan makna-makna baru secara ideo plastis dari kaligrafi
Arab dalam al-Qur’an, walaupun ia bertolak dari suatu image simbolis
tradisional yang memiliki arti klasik dan maha benar serta fungsi sosial
budaya sendiri. Dengan seni lukis kaligrafi Arab ini, ia tidak juga
bertujuan untuk mendistorsi dan berkompetisi dengan image-image simbolis
spiritual dari suatu tradisi yang telah berurat akar dalam masyarakat
Islam. Tetapi ingin menyuguhkan nilai-nilai artistik baru dan sekaligus
memperkaya image-image simbolis spiritual fisiko plastisnya kaligrafi
Arab. Yang ditampilkan bukan lafal-lafal al-Qur’an yang mudah dibaca
atau tulisan yang hanya selesai pada tulisan, melainkan suatu penyatuan
unsur-unsur fisiko plastis di suatu pihak dan ideo plastis sebagai cita
perbahasaan bentuk kaligrafi arab yang dijiwai oleh firman-firman Ilahi.
(Dari berbagai sumber)
No comments: