PSKQ Modern, 25 Mei 2015
PROFIL
MUHAMMAD ASSIRY
Bagai si
pungguk yang merindukan bulan”, ini adalah peribahasa yang tidak pernah berlaku
dalam kamus kehidupan seorang Assiry, panggilan akrab Muhammad Assiry Jasiri,
pendiri dan sekaligus pimpinan Pesantren Seni Kaligrafi Al-Quran PSKQ Kudus
Jawa Tengah, yang telah membuktikan bahwa wong ndeso dan kampungan ternyata
bukan penghalang untuk menggapai cita-cita walaupun setinggi langit. Muhammad
Assiry lahir di sebuah kampung di gang kecil dengan suasana pedesaan yang
sangat asri, di sebuah rumah kayu kudusan (rumah adat Kudus), dari pasangan
ayah bernama Sudiro Yasir yang bekerja sebagai petani dan Ibu Kadarsih sebagai
pedagang di Pasar. Anak ke 6 dari 9 bersaudara ini, lahir tepat pada hari Jumat
Legi tanggal 6 Agustus 1978, Desa Undaan Lor Rt.03, Rw 1 Kec. Undaan, Kab.
Kudus, Jawa Tengah. Tidak bisa dibayangkan betapa bahagianya ayah dan ibunya
pada waktu itu ketika lahir seorang bayi laki –laki, dengan berat 3,3 kg dengan
kondisi sehat dan suara tangisan yg menggelegar yang kelak dewasa bakal menjadi
maestro kaligrafi Indonesia dan ASEAN sekaligus juga pendiri Pesantren Seni
Kaligrafi Al Quran (PSKQ) Kudus .
Semenjak
umur 5 tahun, Assiry tidak jauh berbeda dengan anak–anak seusianya yang suka
bermain, bersenda gurau dan mengaji di Masjid, karena kebetulan rumahnya tidak
jauh dari Masjid, tapi ada yang membuat Assiry unik dan berbeda (nyleneh)
dengan anak –anak kebanyakan, hobi corat – coret, di kertas, papan tulis bahkan
di dinding-dinding rumah, “pernah suatu ketika Assiry kecil dijewer oleh
tetangga karena dinding rumahnya di corat–coret habis dengan cat dengan gambar
dan tulisan”, kenang Assiry. Ternyata hobi corat–coret dan melukis ini
berlanjut ketika masuk TK (taman kanak – kanak), ini dibuktikan Assirry dengan
sering mendapatkan kejuaraan melukis kategori anak -anak tingkat kecamatan.
Disamping
sebagai petani Ayahnya adalah seorang tukang yang sangat kreatif. Assiry kecil
memperhatikan betul kreasi ayahnya. Setiap apapun perabot yang ada di rumahnya
mulai dari bangku, dinding bambu anyaman, kursi bahkan bangunan rumah khas jawa
kuno yang dihuni bersama 6 orang saudara kandungnya dibuat sendiri oleh ayahnya
dengan dibantu pamannya.
Barangkali inilah yang membuat Assiry suka melukis dan menulis indah. Hobby dan kecenderungan ini semakin terlihat jelas ketika naik kelas 4 SD (sekolah dasar) Assiry selalu saja terpilih menjadi sekertaris kelas sampai kelas 6 SD dan kerap juga menjuarai perlombaan melukis di tingkat SD.
Hobinya yang
susah dibendung ini hanya menyisakan rasa senang pada mata pelajaran sejarah
dan mengarang, dan setengah benci pelajaran berhitung.
Apalagi
ketika ia tidak bisa mengerjakan tugas matematika, punggunya merasakan memar
hingga berminggu -minggu karena disabet Guru Matematikanya dengan penggaris
kayu. Mulai saat itulah pelajaran Matematika dan Fisika dan berhitung lainnya
semakin menjadi momok baginya hingga MAN (SMA). Bahkan ketika menyangkut
Pelajaran Ekonomi dan Manajemen ketika MAN, angka-angka perhitungan untung dan
rugi, ia tidak tertarik karena katanya:“Cuma ngitung uang orang.” Assiry juga
berterus terang: “Dari 10 soal berhitung, kadang-kadang cuma 1 yang betul.
Rupanya angka satu itu menjadi inspirasinya untuk menjadi yang terbaik dibidang
yang digelutinya itu.
Lucunya,
bahkan ketika Ujian akhir menjelang kelulusan MAN Assiry mengerjakan soal
Matematika dengan tidak membaca soal hanya melingkari jawaban A,B,C atau D
sesuai dengan ukuran kira -kira. Untungnya waktu itu ia lulus, karena dengan
cara yang terbilang nekat itu soal matematika yang dikerjakannya mendapat nilai
5, 6 kenangnya sambil tertawa.
Ketika masuk
SMP ( sekolah menengah pertama) mulai kelas satu sampai kelas tiga, Assiry
terpilih kembali menjadi sekertaris, jadi genap 6 tahun jabatan sekertaris
kelas di sandangnya,guru –gurunya pun sering memuji melihat tulisan dan
lukisannya yang bagus.
Lazimnya
anak-anak seusianya, hari-harinya selama belajar di SMP Assiry juga disibukkan
oleh kegiatan belajar di Madrasah Diniyah ibtidaiyyah sepulang sekolah yakni
mulai pukul 13.00 WIB sampai pukul 16.30 WIB dari sinilah awal mula Assiry
diperkenalkan kaligrafi untuk kali pertamanya oleh kyai Abdul Hafidz sebagai
salah satu pelajaran wajib di Madrasah tersebut. Kemudian setelah sholat magrib
Assiry mengaji Al-Qur’an di masjid Baitu Assalam yang juga dibimbing oleh kyai
Abdul Hafidz Almaghfurlahu.
Dan pada
malam-malam tertentu, Assiry mengikuti pengajian kitab kuning oleh beberapa
kyai yang mengajar di Madrasah Diniyah Irsyadu Al-Aulad Al-Salafiyah seperti Bp
Kiyai Mahfudhon, Bp Kiyai Khairi ahmadi, Bp kiyai Ali Ridwan, dan Kiyai Ahmad
Rifai almaghfurlahu.
Ketika masuk
Madrasah Aliyyah Negeri/MAN (setingkat SLTA) tahun 1995, bakat melukis dan
menulis indah ini semakin terasah ketika ada pelajaran ekstra kurikuler
kaligrafi di sekolahnya, yang dibimbing oleh Ustadz H. Nur Syukron (peraih
juara 1 kaligrafi tingkat Nasional cabang khat naskhah tahun 1994 di Riau ),
dan setiap hari Jumat setelah selesai sholat Jumat, Assiry melanjutkan belajar
kaligrafi pada Ust. H. Nur Aufa Siddiq ( juara 1 kaligrafi nasional cabang khot
naskah tahun 1985 di Lampung ), dan berkat bimbingan dan keikhlasan Beliau
berdua, Assiry mengenal dan banyak belajar tentang kaidah kaligrafi murni.
Membutuhkan mujahadah dan riyadhoh yang kuat untuk bisa menggapai cita-citanya,
bukan hanya sekadar belajar kaligrafi. Konsep "man jadda wajada" atau
kalau dalam filosofi jawa disebutkan " enom gelem tirakat mbesuk tuo nemu
derajat".( red: kalau muda mau riyadhoh dan sungguh -sungguh ketika tua
menemukan kesuksesan). Hal tersebut tidak hanya menjadi pemahamannya belaka
tapi dipraktekkan langsung dengan mengambil ijazah puasa Dalail Al Qur’an,
puasa dalail shalawat dan ijazah puasa Daud kepada K.H. Ahmad Basir pada tahun
1996 dan menyelesaikan puasanya hingga tahun 2008.
Setelah
lulus MAN tahun 1997, Assiry melanjutkan studinya di Pesantren Institut Ilmu
Al-Quran (IIQ), Kalibeber, Wonosobo, Jateng dengan harapan bisa mendalami
Kaligrafi dan Tahfidh Al Quran. Di pesantren ini Assiry sempat bertahan hanya 3
bulan dan akhirnya keluar karna cuaca yang sangat dingin dan terbentur biaya.
Di Pesantren Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) Assiry justru mendapatkan ilmu seni
lukis dari Bapak Maftuhin yang kebetulan memiliki galeri di sekitar lingkup
pesantren tersebut. Disela-sela waktu mengaji kitab di pesantren tersebut,
Assiry tekun belajar melukis sehingga mendapatkan satu hasil yang di anggap
maksimal oleh Bapak Maftuhin. Sepulang dari Pesantren Institut Ilmu Al-Quran
(IIQ) Assiry pindah ke pesantren tahfidh KH Abdul Qodir Kudus dan kembali
belajar kaligrafi di Ust. H. Nur Aufa Siddiq, Kudus dan khidmah (mengabdi) di
rumah Beliau sampai tahun 2000. Setiap malam hingga subuh waktunya dihabiskan
untuk berkarya dan mendapatkan bimbingan kaligrafi secara mendalam bersama
rekan seperjuangannya H. Purwanto Zain S.Pdi.
Karena
keinginan yang sangat kuat untuk bisa lebih memahami membaca kitab-kitab kuning
(salafiyyah) setiap pagi jam 07.00-12.00 WIB, Assiry sekolah di Madrasah
Salafiyyah Diniiyyah, Kradenan Kudus (1998-2000) dibawah asuhan para Masyayikh
dan Kiyai Masyhur di Kudus seperti KH.Sya'roni Ahmadi, KH. Ma'ruf Irsyad,
KH.Muhdi dll.
Kota Kudus
adalah karib baginya. "Di Kudus juga ada segalanya,” kata Assiry. Saat
longgar waktunya Ia sering berlama-lama nongkrong di loakan buku GOR Kudus,
Toko Buku Hasan putra dan berkunjung ke beberapa Seniman Senior Kudus Seperti
Bp. Sofwan yang dianggapnya sebagai guru lukis Realisnya. Diikutinya pula
acara-acara baca puisi dan pergelaran drama juga sempat mendirikan Group Rebana
Rosita dan menjadi vokal utamanya bersama Ustaz Syamsuddin, Ustaz Sugiyanto,
dan Ustaz Abdul Mujib Undaan Kudus. Aktif juga sebagai Ketua IPNU-IPPNU Ranting
Undaan Lor periode (1998-1999). Kebiasaannya membaca buku-buku agama, buku
Seni, Sejarah dan buku sastra seperti khalil Gibran, Cak Nun, Rendra seakan
menjadi candu baginya. Hingga kini ratusan karya Essay, puisi dan catatan
pemikirannya berhasil ditulisnya meskipun belum ada satupun yang diterbitkan.
Prestasi
Awal Pengantar Kesuksesan
Tidak
sia–sia pengabdian Assiry untuk mendalami seni kaligrafi. Akhirnya pada tahun
1999 Assiry berhasil menorehkan tinta emas, meraih juara 1 lomba kaligrafi
cabang naskah untuk yang pertamakalinya di tingkat propinsi Jawa Tengah dan
mewakili Jawa Tengah pada MTQ Nasional yang di selenggarakan di Palu, Sulteng.
Bersama Purwanto cabang hiasan mushaf, Turmuzi cabang dekorasi, Elli Sofiana
Nur cabang dekorasi putri, Manun Al Ahna ( putri dari KH. Syaroni Ahmadi Kudus)
cabang naskah putri, dan Diana Akhdiani cabang mushaf putri. Meskipun hanya juara
harapan, Assiry tidak kenal putus asa, sepulangnya dari Palu Sulteng, keinginan
dan dorongan yang kuat untuk semakin berkualitas dan profesional dalam
berkesenian, membuat Assiry memutuskan untuk hijrah ke Jakarta, untuk belajar
melukis dan mendalami Ilmu Seni Rupa kepada kakak kandungnya, Rosidi Pendiri
WADAH ART Jakarta, dan dilanjutkan pengembaraan seninya, pada awal bulan Juli
2000 masuk ke Pesantren Kaligrafi Al-Quran LEMKA, Sukabumi, Jawa Barat, di
bawah asuhan KH. Drs. Didin Sirojuddin AR.
Setelah
selesai mengikuti DIKLAT 1 tahun di LEMKA, Sukabumi, pada tahun 2001 Assirry
sempat menjadi ‘gelandangan’ dan hanya mengandalkan tekad dan keberanian
menjual lukisan kaligrafi dan melukis potret jalanan untuk sekedar biaya hidup.
Perlu mujahadah dan berfikir keras melawan setiap keinginan antara kuliah atau
ke pesantren salafiyyah. Hingga pada akhirnya Assiry memutuskan untuk belajar
di pesantren salafiyyah An-Nidzom, Panjalu di bawah asuhan KH. Mukhtar yang
hanya bertahan 6 bulan saja.
Karena keinginan
yang sangat kuat untuk mendalami kaligrafi secara total, Assiry memutuskan pada
tahun 2002 sampai 2003 kembali lagi ke LEMKA Sukabumi untuk mendalami kaligrafi
dengan mengabdi sambil mengajar di LEMKA Sukabumi. Didukung dengan kondisi pada
waktu itu kurangnya pengajar yang mukim disana, Assiry semakin bulat untuk ikut
membantu mengajar Gurunya KH.Didin Sirajuddin dengan mukim disana.
Dengan niat
yang tulus dan ikhlas untuk membantu dan khidmah (pengabdian) Assiry menolak
gaji yang diberikan pengurus LEMKA. Ia menyelesaikan pengabdian mengajar di
LEMKA Sukabumi sampai Th.2007.
Sebelumnya
Assiry meminta ijin untuk mendirikan tempat pengkaderan kaligrafi yang waktu
itu ia namai PSK ( Pesantren Seni Kaligrafi) dan oleh KH. Didin Sirojuddin
Assiry diminta untuk fokus saja di Kudus dan memberikan restunya mengembangkan
kaligrafi di Jawa Tengah.
Nama PSK
sempat membuat minder dan malu para kadernya karena sama dengan nama PSK(
red:Jablay). Tapi gara -gara nama PSK itu justru diliput oleh SCTV 2008 karena
unik. Sekarang berkembang pesat dan bermetamorfosis menjadi PSKQ Modern.
Buah Manis
Dari Lika- Liku Perjalanan Panjang
“Berakit-rakit
ke hulu, berenang-renang ke tepian”, sebuah peribahasa yang tepat bagi Assiry.
Semua jerih payah Assiry, yang tak kenal lelah, pahit getir semuanya seakan
sirna sudah. Pada tahun 2002 Assiry meraih beberapa kejuaraan berturut–turut.
Dimulai dari juara kaligrafi cabang naskah di propinsi Banten yang telah
mengantarkannya ke tanah suci Mekkah, dan juara 1 kaligrafi tingkat ASEAN
(Tingkat se Asia Tenggara) yang diselenggarakan di Brunei Darussalam, dan
sekaligus meraih Penghargaan Rekor Nasional dari MURI (Museum Rekor Indonesia)
pada pembuatan Patung Stereofoam setinggi 14 meter pada acara menyambut Ramadan
di Atrium Plaza, Senen Jakarta Pusat, bersama sang kakak, Rosidi dan adiknya
Haji. Rohadi Raziqin.
Karirnya
melesat seakan mulus tanpa hambatan sedikitpun, puluhan prestasi kejuaran
kaligrafi di tingkat kabupaten dan propinsi bak panah yang bertubi –tubi.
Hingga puncaknya pada tahun 2003 Assiry kembali menggondol juara 1 kaligrafi
naskah di propinsi DKI Jakarta, dan juara 1 MTQ tingkat Nasional di Palangka
Raya, Kalteng. Sejak saat itu Assiry sering mengadakan pembinaan dan pelatihan
kaligrafi di Jawa Tengah dan mendirikan DAKA (Persatuan Seniman dan Kaligrafer
Muda Kudus) yang di prakarsai oleh Assiry, Turmudzi, Purwanto dan Nur Syukron, dan
berhasil mengkader lebih dari 500 kader kaligrafer dan seniman di Kudus.
Tidak puas
dengan prestasi yang disandangnya, tahun 2004 Assiry melanjutkan studinya. Kali
ini ia mendalami tilawah (seni baca Al Quran) di bawah bimbingan Ustadz Adli
Asari Nasution, di Warung Nangka, Bogor, Jawa Barat. Agar tetap bisa eksis
berkarya dan mencukupi kebutuhan hidupnya, Assirry mendirikan galeri lukis dan
kaligrafi ANUGERAH ART 2004- 2006 di daerah Caringin Bogor, Jabar bersama
kader-kader binaannya : Ustaz Zainal mahasin kudus, Sulaiman ( cung man) kudus,
Yasin Lampung, Muhammad Rais Kudus dan Hamluddin Kudus. Namun disela–sela
kesibukannya melukis dan mendekorasi puluhan masjid, Assiry masih meluangkan
waktunya untuk membina kader–kader seniman dan kaligrafer di Jateng.
Bersama
Khusnul Aflah , Saifuddin, Muhammad Rais, Sulaiman, Sukarno, Suparman dan Ali
Ahmadi sempat mendirikan KUASS (Komunitas Seniman Kudus) dan berhasil mengkader
lebih 1500 kaligrafer dan seniman yang tersebar di Kudus dan sekitarnya dengan
membuka kursus kilat dan paket kilat Ramadan hingga mencapai 14 gelombang.
Kegiatan Kuass ini meliputi pementasan drama kolosal, teater, musik band,
kursus kaligrafi dan melukis, lomba nasyid, lomba baca tartil al Quran dan
lomba kaligrafi.
Model
pembinaan yang ditempunya adalah dengan membangkitkan rasa senang terhadap
kaligrafi dan Melukis. Maka seni kaligrafi dan melukis harus bernuansa
rekreatif dan metode pengajarannya harus mengandung faktor novelty. Untuk itu
Assiry membuka program kursus yang dinamakannya Kursus Diklat Kaligrafi dan
Seni Rupa Gratis yang diselenggarakan di Balai Desa Undaan Lor, di Masjid Baitu
Assalam dan beberapa kali meminjam tempat di Gedung Sholawat Angudi Barokahe
Gusti ( ABG) Cabang Kudus Pimpinan Mbah Datuk.
Untuk
kegiatan-kegiatan yang dibinanya dengan kurikulum melukis kaligrafi untuk
anak-anak dan kegiatan demonstrasi massal kaligrafi di tempat-tempat rekerasi
yang terbuka, temu tokoh seni, pementasan Seni dan kunjungan ke tempat-tempat
pameran dan Galeri Seni Rupa.
Hasil-hasil
pencapaiannya tetap saja tidak memuaskannya. Seakan kehausan dan terus mencari
sesuatu yang melegakan dahaga seninya. Assiry terus mencari jalan lain untuk
meluluskan pemikirannya yang menurut pengakuannya sudah bertumpuk-tumpuk. Agar
bisa menggabungkan konsep Seni Rupa dan Kaligrafi Ia menginginkan suatu tempat
"kawah candradimuka" untuk pembinaan dan pusat studi kaligrafi dan
Seni Rupa yang kian marak di Indonesia.
Mendirikan
Pesantren Seni Kaligrafi dan Seni Rupa Pertama di Asia
Pada tahun
2006, Assiry untuk ke dua kalinya berhasil meraih juara 1 di tingkat ASEAN di
Brunei Darussalam, namun kali ini Assiry meraih juara 1 untuk semua kategori
yang dilombakan sekaligus, yakni Khoth Tsulust, Diwani dan Riqah. Sebuah puncak
prestasi yang belum pernah dicapai orang lain sebelumnya. Namun prestasi yang
besar dan tinggi ternyata mendatangkan tanggung jawab yang besar dan tinggi
pula. Berbagai tawaran PNS di Jakarta, dan bekerja di luar negeri termasuk di
Brunei Darussalam memang begitu menggiurkan, tapi Assiry tidak bergeming.
Dengan niat untuk membumikan dan melestarikan kaligrafi, dan kesenian lainnya
di Indonesia tekadnya sudah sedemikian kuatnya untuk membuat wadah atau
pesantren yang fokus pada Seni Rupa dan kaligrafi.
Gagasan itu
tidak asal lahir tanpa adanya sebab. Alasannya adalah karena keprihatinannya
terhadap perkembangan kaligrafi dan Seni rupa di Jawa Tengah yang stagnan,
disamping itu tidak adanya perhatian dari pemerintah Jawa Tengah khususnya LPTQ
Jawa Tengah. Akhirnya Assiry menggalang segenap elemen masyarakat, mengumpulkan
kader-kader Kuass, tokoh masyarakat, dan meminta petunjuk dari para Alim dan
Ulama, dengan sowan kepada Guru Mursyid Thoriqah , Al Habib Lutfi bin Ali
Pekalongan dan dorongan Mbah Datuk Syukron Kudus untuk mengutarakan
keinginannya itu untuk mendirikan pesantren Seni Rupa dan kaligrafi. Dan
akhirnya tepat pada hari Rabu Wage tanggal 17 Januari 2007, Assiry
memproklamirkan berdirinya Pesantren Seni Rupa dan Kaligrafi Al-Quran (PSKQ).
Sebuah pesantren pertama di Indonesia bahkan dia Asia yang tidak hanya
mempelajari seni kaligrafi klasik, tapi para santrinya juga diajarkan
keterampilan seni murni atau Seni Rupa, seperti Seni Lukis berbagai aliran,
kreasi patung 3 dimensi, batik manual, pahat kayu, seni lukis teknik semprot
airbrush, dan lain sebagainya.
Untuk
menambah pengetahuan tentang dunia pendidikan Assiry melanjutkan Studynya di
Kampus IAIN Sunan Kudus dengan mengambil konsentrasi jurusan
Tarbiyyah/pendidikan (2007-2012).
Selama
menjadi mahasiswa di IAIN Sunan Kudus, Assiry justru lebih banyak menghabiskan
waktunya untuk menebar virus-virus kaligrafinya. Sehingga ada beberapa Dosennya
yang jengkel dan tidak mau memberikan Nilai mata kuliahnya. Bagi Assiry Kuliyah
adalah sekadar batu loncatan dalam menambah pergaulan saja. Karena bagi ia
urusan ilmu tidak mesti harus didapatkan di Kampus. Di jalanan atau dimana saja
Assiry mendapatkan pengalaman dan ilmu baru ketika bertemu dengan siapa saja
mulai Birokrasi dan pemerintahan, Aparat, bahkan orang -orang yang paling
"keparat" sekalipun ketika berkarya diberbagai Masjid di Indonesia
dan manca Negara, katanya.
Saat Wisuda
beberapa Dosennya bertanya kepadanya"kenapa ndak ikut Wisuda Mas?".
"Lha wong jarang berangkat kuliyah ko tiba -tiba diwisuda terus apanya
yang diwisuda, meskipun mungkin secara akademik saya lulus tapi sebenarnya saya
ndak pernah lulus sampai kapanpun Pak". Begitu jawabnya.
Meskipun
Kuliyahnya tidak begitu maksimal tapi saat tersebut justru menjadi masa-masa
subur bagi Assiry sehingga bisa membangun fasilitas Asrama dan Gedung PSKQ
Modern dan membangun bisnis kuliner dan lainnya hanya mengandalakan menulis
Kaligrafi Masjid. Ia mengatakan "inilah keberkahan yang tidak akan pernah
terputus karena tidak hanya mendapatkan pahala tapi juga uang berlimpah. Ia
juga berkesempatan memiliki gedung dari rumah pribadi dengan keluarganya yang
disulap menjaai asrama sebagai wadah untuk mengkader murid-muridnya.
Menurut
Assiry yang dilakukannya itu sesungguhnya adalah sebagai keberanian mental,
ketahanan jasad, ketangguhan hati dan keikhlasan rohani untuk menyelenggarakan
perubahan yang bukan hanya mendasar dan mengakar, melainkan ekstra-eksistensial
mulai dari metode belajar, pola pembinaan, dan bermacam -macam strategi untuk
menumbuhkan kembali budaya kaligrafi yang pernah ada di bumi Nusantara ini
dengan bukti sejarah masa silam ketika ditemukan kaligrafi kufi pada makam
Fatimah binti Maimun sekitar abad ke 11.
Assiry
menganalogikan langkahnya sebagai langkah "Rajawali" karena tidak
mempersyaratkan sekedar keputusan hati, tapi juga keputusan akal dan nalar
dengan pengetahuan yang sempurna tentang alur waktu ke depan untuk membumikan
kaligrafi di nusantara ini. Keputusan itu bukan sekedar tindakan mental, tapi
juga intelektual dan pengejawantahan ide/gagasan juga rohaniah. "Kita bisa
betul -betul menjadi Rajawali yang diakui dan digelari Sang Garuda karena
mengerti dan berani betapa beratnya menyangga kalimat sehari-hari yang
sederhana yakni “mati sakjroning urip” ( mati didalam hidup) artinya membunuh
ego dan kemalasan dan menghidupkan kreativitas didalam diri kita disaat masih
memilki kesempatan untuk lebih baik bagi keberlangsungan kehidupan
berkesenian" ujarnya.
Karya dan
gagasan besar Assiry ini tetap saja diakuinya terlalu kerdil dan belum apa-apa.
Ia mengingatkan sabda Nabi Muhammad SAW. bahwa Jika terjadi kiamat dan kamu
masih sempat menanam sebutir benih, maka tanam saja, karena itu pun ada
pahalanya. Menurut Assiry Setiap apapun ada jodohnya dan kebaikan yang
ditanamkan tentu berjodoh dengan kemanfaatan dan keberkahan yang akan
diunduhnya kelak.
Meskipun
terseok -seok dan banyaknya kendala dan rintangan tidak pernah dihiraukannya.
Hal itu justru mematik semangatnya semakin berkobar.
Diantara
kader-kader Kuass dan PSKQ banyak yang menjadi seniman dan kaligrafer
berprestasi di tingkat ASEAN, Nasional dan Internasional. Antara lain, Suparman
Jateng juara 2 kategori Khot Diwani tingkat ASEAN tahun 2006, Dina D. dari
Madarasah Tsanawiyyah Kudus Jateng juara kaligrafi 1 tingkat Nasional di Pondok
Haji Jakarta 2009, Hasanuddin dari Kalimantan Selatan juara 3 mushaf MTQ
nasional di Banten tahun 2008, Muhammad Rifqi Nashrullah dari Jawa Timur juara
1 kaligrafi tingkat nasional di ambon 2012 dan juara nominasi lomba kaligrafi
TIAFF di Malaysia 2012, Nukman dari Aceh juara Kaligrafi tingkat Internasional
di Malaysia TIAFF, tiga kali berturut-turut (2012-2013-2014) dan ratusan kader
lainnya yang tersebar di seluruh Indonesia, ada yang menjadi pembina dan guru
kaligafi seperti: Ledy Hamdani dari Medan, Abdul Fathir dari Kalsel, Rustam
dari Kalimantan Tengah, Nur Khalim dari Kepulauan Riau, Muhammad Hafidz dari
Jogja, Nahrowi dari Jambi, Murtadho dari Batam, Nurkholis dari Kaltim, Ayuwanti
dari Kalimantan Timur, Agus dan Istrinya Siti Zuhriyah dari Kalimantan Timur,
Rahmawati dari Sulawesi Tengah, Nur Habibah dari Riau, Taufiq dari Inhil Riau,
Marhawi dari Ketapang Kalimantan Barat, Husain dari Lampung,Muallimin dari
Demak Jateng, Ahmad Najib dari Tegal Jateng, Aziz dari Madiun Jatim Muhammad
Katili dari Gorontalo, dan lain –lain.
Ada sebuah
cita–cita luhur yang saat ini belum tercapai, yaitu mendirikan Universitas Seni
Islam dan Kaligrafi pertama di Indonesia. Semoga impian ini akan segera menjadi
kenyataan di Indonesia, amin.
No comments: