Slider[Style1]

PSKQ dalam Liputan

Style2

Style3[OneLeft]

Style3[OneRight]

Style4

Style5

Style6

Style7

Style8

Style9

PSKQ Modern, 25 Mei 2015

Ibnu Bawwab yang nama lengkapnya Abu al-Hasan Ali ibn Hilal, adalah anak seorang penjaga pintu istana Baghdad, namun ada yang mengatakan bahwa ia adalah putra seorang kuli. Bawwab berarti penjaga pintu. Ia dikenal juga sebagai al-sitri. Ia menjalani kehidupan yang lebih tentram, tetapi sejarah hidupnya dapat menjelaskan tentang posisi kaligrafi dalam berbagai cara. Ia memulai kariernya sebagai dekorator yang menghias rumah dengan gambar-gambar, kemudian melanjutkannya dengan menghias buku-buku dengan aneka gambar, dan akhirnya membuat kaligrafi. Tak diragukan lagi bahwa hal ini berarti ia berhasil meningkatkan kariernya pada bentuk seni yang lebih tinggi. Pada suatu saat ia diangkat sebagai seorang mubaligh Masjid Mansur di Baghdad, sebuah posisi yang berbeda dengan penceramah pada sholat Jum’at (khatib). 

Pada suatu saat Ibnu Bawwab mengurus perpustakaan Baha’ Al-Daula di Syiraz dan ia sendiri menceritakan sekelumit kisah berikut ini dari sana yang dilaporkan oleh Yaqut: suatu hari dalam tumpukan buku-buku yang telah disisihkan, ia menemukan sebuah buku bersampul hitam yang ternyata merupakan bagian dari Al-Qur’an tiga puluh jilid yang ditulis oleh Ibnu Muqlah. Buku ini menimbulkan kekaguman yang luar biasa. Di perpustakaan tersebut berhasil ditemukan dua puluh sembilan jilid, tetapi satu jilid masih belum ditemukan. Ketika ia menyampaikan berita ini kepada Baha’ Al-Daula yang disebut terakhir ini kemudian memerintahkan untuk melengkapi karya tersebut. Ibnu Bawwab menawarkan diri untuk menuliskan jilid yang hilang itu dengan syarat ia mendapatkan jubah kehormatan dan uang seratus dinar jika jilid baru yang ditulisnya tidak dapat dibedakan dengan jilid-jilid lain. Syarat itu diterima, lalu Ibnu Bawwab mencari beberapa kertas tua yang diperkirakan sama dengan kertas jilid yang hilang itu dengan baik dan dibuat agar tampak usang, kemudian dijilid dengan sampul tua yang diambil dari buku lain.
Ketika Baha’ Al-Daula menanyakan hal itu setahun kemudian, ia melihat tiga puluh jilid dibawa kehadapannya dan menelitinya dengan cermat sebelum mengambil satu jilid yang baru ditulis, kemudian ia menganggap bahwa semuanya merupakan karya Ibnu Muqlah. Ibnu Bawwab tidak menerima bayaran yang telah disetujui, tetapi permohonannya untuk memiliki seluruh potongan kertas Cina yang ada di perpustakaan, yang cukup untuk keperluan beberapa tahun dikabulkan. Konon ada dua jenis kertas di perpustakaan itu yaitu kertas Samarkand dan kertas Cina.
Kisah itu menyiratkan bahwa tulisan Ibnu Bawwab tidak jauh berbeda dengan tulisan Ibnu Muqlah yang menjadi pedomannya dalam menulis. Kita tidak mengetahui apa perbedaan yang ada diantara mereka, tetapi biografi beberapa orang di abad kedua belas dan ketiga belas menyatakan bahwa mereka mengikuti metode Ibnu Muqlah dan Ibnu Bawwab. Seseorang mengatakan bahwa ia memakai metode Ibnu Muqlah untuk menulis buku-buku dan metode Ibnu Bawwab untuk menulis surat-surat. Tulisan kedua ahli kaligrafi tersebut sangat diminati oleh para kolektor dan mendapat harga yang tinggi.
Yaqut menceritakan sebuah surat yang terdiri dari sembilan puluh baris berisikan hal-hal sepele yang ditulis oleh tangan Ibnu Bawwab telah terjual dengan harga tujuh belas dinar dan kemudian dijual lagi dengan harga dua puluh lima dinar. Semangat para kolektor itu menyebabkan adanya pemalsuan. Kita telah melihat bahwa beberapa pabrik kertas juga menginstruksikan untuk menciptakan kertas kuno buatan. Hal ini berhubungan dengan kenyataan bahwa Ibnu Bawwab sendiri memalsu karya seorang maestro yang terdahulu. Yaqut menceritakan tentang seorang kaligrafi abad ketiga belas yang membeli selembar tulisan Ibnu Bawwab dengan harga empat puluh dinar. Dia menyalinkannya diatas kertas usang dan memberikan salinan tersebut kepada seorang penjual buku yang menjualnya sebagai tulisan Ibnu Bawwab dengan harga enam puluh dinar.
Ibnu Bawwab adalah penulis kaligrafi hafal al-Qur’an dan menulis 64 mushaf. Salah satunya, yang ditulis dengan gay Raihani, disimpan di masjid Leleli di Istanbul. Ia penemu dan pengembang gaya tulisan Raihani dan Muhaqqaq. Al-Bawwab yang berhasil membentuk mazhab kaligrafi di Baghdad, meninggal tahun 1022 M dan dimakamkan di dekat makam Imam Ahmad ibn Hanbal. Tidak diketahui tanggal kelahirannya.
Pada masa mudanya, Ibnu Bawwab belajar kaligrafi pada Muhammad ibn Asad, kemudian Muhammad ibn al-Simsimani, murid Ibnu Muqlah. Dalam karir kaligrafinya ia lebih dikenal sebagai penerus dan pengembang prestasi Ibnu Muqlah. Dialah yang menambah makna pekerjaan yang telah dirintis pendahulunya itu. Bentuk baru yang penuh keindahan ini kemudian dikenal dengan al-Mansub al-Faiq (huruf standar yang indah). Meskipun al-Bawwab yang pada mulanya dikenal sebagai dekorator rumah (house painter) dan ilustrator buku, namun ia lebih menonjol dalam mengembangkan dan mempercantik keenam gaya tulisan yang ada saat itu (al-aqlam al-sittah). Perhatiannya terutama dicurahkan pada gaya Naskhi dan Muhaqqaq yang secara ideal selaras dengan kejeniusannya. Ibnu Bawwab mendirikan sekolah kaligrafi yang dikenal sampai masa Yaqut al-Musta’shimi. Meskipun ia banyak berkarya, namun kini hanya beberapa saja yang dapat terdokumentasi. Dua halaman al-Qur’annya, berukuran 17,5 x 13,5 cm bertahun 1001 M, kini tersimpan di perpustakaan Chester Beatty, Dublin Irlandia.
(Dari berbagai sumber)

About Elsya Vera Indraswari

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments:

Post a Comment

Terimakasih telah berkunjung di Pesantren Seni Kaligrafi Al Quran, silahkan meninggalkan pesan, terima kasih


Top