PSKQ Modern, 25 Mei 2015
Amang Rahman lahir tanggal 21 November 1931 di Ampel Surabaya dari
pasangan seorang keturunan Arab dan ibunya berasal dari daerah Jambi
Kemantren, Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur. Sebagai putra keempat dari 13
bersaudara dalam lingkungan keluarga yang taat beragama, Amang pada masa
kecilnya mendapat pengaruh kuat kebudayaan Islam di Jawa yang diperoleh
dari cerita maupun petuah dari kakek neneknya, keluarga, masyarakat,
lingkungannya maupun kawan sebaya sepermainannya. Pengaruh ini berlanjut
terus hingga usia remaja. Dia sangat akrab dengan al-Quran, berbagai
surau, mesjid bahkan gemar pula mengunjungi berbagai makam. Karena
tertarik untuk berziarah atau menyaksikan nisan antik yang bertuliskan
huruf Arab maupun huruf Jawa yang pada saat itu dianggap menarik dan
unik.
Sejalan dengan usahanya memperdalam bidang seni rupa, Amang pun terus
menekuni serta mengembangkan wawasannya dibidang kesenian lainnya.
Antara lain dengan membaca di perpustakaan, berdiskusi dengan rekan
seniman lainnya, dari Surabaya maupun dari kota lainnya di Indonesia,
seniman tradisional maupun modern. Kecintaannya dalam dunia kesenian
telah dibuktikan olehnya dalam bentuk puisi, penulisan kritik sastra
serta karya lukisannya.
AMANG RAHMAN JUBAIR
Latar
belakang yang diawali sejak masa kecil maupun pengalaman religi serta
berbagai pengalaman hidupnya sehari-hari telah membangun secara bertahap
dan terus memperkaya wawasan Amang Rahman dalam karya lukisannya.
Penjelajahan dan pengembaraan ruang kehidupan manusia baik jasmani
maupun rohani membentuk alam kesadaran Amang yang dimanifestasikan pada
penguasaan ruang kanvas lukisan-lukisannya.
Jejak
ini dapat disaksikan pada setiap lukisan Amang, terutama didalam
meletakkan obyek serta komposisinya yang esensial yaitu : alur
horizontal, vertikal dan diagonal. Pilihan obyek utamanya sederhana.
Sosok manusia, paling sedikit 2 dan paling banyak 9 figur dalam pola
bentuk dan posisinya dilakukan pengulangan.
Penampilan
unsur warna pada setiap lukisan Amang didominasi oleh pilihan warna
biru, hijau, kuning dan hitam dengan nuansa dari keempat warna
pilihannya itu. Berlanjut pada efek warna yang menyiratkan cahaya
merupakan esensi dari keutuhan tema sentral. Pada penggunaan unsur
garis, hampir setiap lukisan Amang bersifat efisien berupa kontur yang
fungsional malah pada kebanyakan karyanya penampilan unsur garis sebagai
maksud bayangan dibangun dengan batas pertemuan kontras warna yang
berbeda.
Menurut
pengakuannya, Amang lebih puas menggunakan jari-jarinya termasuk
telapak atau punggung tangannya sebagai pengganti kuas dan pisau pallet
untuk melukis, kadang-kadang menggunakan kain serbet untuk menghapus
atau mencampur warna langsung keatas kanvas. Hasil produk kerja seperti
itu, menjadikan wajah kanvas tidak kasar, perubahan nuansa warna menjadi
halus dan bentuk obyeknya menjadi datar seperti halnya lukisan yang
dekoratif dua dimensional.
Karya
lukisan Amang Rahman didasari oleh keluasan wawasan, aneka ragam
pengalaman hidup lahir batin serta perenungan selaku insan yang beriman
Islam telah melahirkan sikap hidup yang bersahaja, arif dan bijaksana
dalam menghadapi dan mengatasi kehidupan di dunia fana ini. Beberapa
unsur seperti keyakinan terhadap diri sendiri, pengalaman beragama yang
kian mempertebal iman Islam, memahami hakekat hidup serta menghayati
secara total dalam berkesenian telah diraih dan direfleksikan pada
sebagian lukisan Amang Rahman Jubair, khususnya pada karyanya yang
non-kaligrafis.
Sang
pelukis itu, meninggal tanggal 15 Januari 2000. Agak mengejutkan meski
setiap orang siap melepas lelaki sepuh itu. Yang selalu
bersungguh-sungguh dan ngungun, meski yang selalu hadir menyapa berkomunikasi justru lelucon-leluconnya.
Agak
mengejutkan juga ketika seniman sahabat orang banyak itu ditinggalkan
banyak orang saat diselenggarakan “Pameran Lukisan 70 Tahun” dan diskusi
buku Ambang Cakrawala: Monografi Seni Lukis Amang Rahman. Acara di
Museum Nasional Jakarta, 2001, hanya dihadiri sedikit pengunjung.
Kontras dengan pameran-pameran yang diselenggerakan ketika ia masih
hidup. Lantas mengapa acara “Mengenang Amang Rahman Jubair”, yang
diselenggarakan di Balai Pemuda, Surabaya, 28 November – 3 Desember 2005
lalu juga mengalami hal yang sama?
Mengenangkan
Amang Rahman Jubair adalah mengenang sebuah kafe terbuka, dengan meja
dan kursi di teras, yang berhubungan langsung dengan kesibukan dan lalu
lintas kota. Di mana kita berkumpul dan berbicara sambil memesan segelas
kopi, sepiring bakmi atau nasi goreng, dan dengan ditemani sebungkus
rokok. Berjam jam bicara, tak peduli pesanan habis, dan karenanya
terpaksa memesan lagi – karena obrolan tak ada habisnya, dan keceriaan
terus-terusan berhamburan.
Mungkin
juga hanya warung lesehan. Di mana tikar khusus digelar di tempat yang
agak jauh dari warung, tempat para pembeli datang dan pergi. Sementara
seorang Amang Rahman Jubair terus berbicara dan terus menghamburkan
cerita lucunya. Momen di mana waktu seperti berhenti menggelar kesulitan
ekonomi, problem politik, dan utamanya tantangan kreatif penciptaan.
Tapi
waktu tidak berhenti meski seperti alpa menggelar kenyataan ketika kita
bertemu dan berkumpul dengan Amang Rahman Jubair – yang ke luar dari
studio dan jadi si manusia yang melupakan tantangan kreatif dan mungkin
juga kesulitan ekonomi. Aspek ini yang terkadang melekat dan teringat
oleh siapa pun yang pernah bertemu dan berbicara dengannya. Semesta alpa
yang menyenangkan di tengah tantangan berkesenian yang kejam – bahkan
tak peduli, karena saat itu boom lukisan dihargai mahal belum terbentuk.
Amang
Raham Jubair berbeda, misalnya, dengan Mohamad Ali, dengan Gatut
Kusumo, atau Krisna Mustajab, dan OH Supono yang juga suka melucu dan
nyele-tuk gaya Suruboyoan. Dan sangat jauh berbeda dengan seorang Budi
Darma, seo-rang intelektual, sastrawan dan akademisi yang serius dan
sangat bersungguh-sung-guh. Yang pada puncak pencapaian kreatifnya
sebagai seorang sastrawan berimpitan dengan puncak karier profesionalnya
sebagai dosen – seperti yang diungkapkannya dalam esei “Laki-laki
Putih”.
Dalam
esei lain – yang tak bisa saya ingat judulnya – ia melukiskan situasi
simalakarma itu dengan mengutip sebuah cerpen yang tak lagi saya ingat
judulnya. Cerpen yang menceritakan seorang pelukis yang berkonsentrasi
melukis dan berhasil membuat lukisan-lukisan fenomenal. Sehingga rumah
dan studionya yang sunyi tak diperhatikan orang jadi jujugan pelukis
muda yang berkonsultasi dan berdiskusi. Hal itu membuat si pelukis
merasa tersanjung dan sekaligus merasa tergangu karena tak lagi sempat
bersunyi dan konsentrasi melukis. Cerpen itu diakhiri dengan klimak yang
tragik-dramatik. Si pelukis bunuh diri di depan kanvas kosong, yang
hanya berisi coretan satu kata, yang mungkin bermakna solider dan bisa
jadi soliter. Semacam kebingungan dan kebimbangan: Apakah menjadi
pelukis itu tidak cukup hanya kreatif melukis, dan masyarakat mengakui
kualitas dari lukisannya dengan tak perlu dibebani tugas-tugas sosial di
luar keahliannya? Atau harus melayani kehendak masyarakat dengan tugas
ini-itu di luar minat kreatifnya?
Pertanyaan
mendasarnya: Apakah seorang seniman itu, selama 24 jam dalam seminggu
harus berkonsentrasi penuh kepada kerja kreatifnya? Atau selama 24 jam
dalam 7 hari dari seluruh sisa hidupnya terperangkap di dalam obsesi
kreatif dan ilusi-ilusi kreatif yang memancar dari hal keseharian yang
ada di sekeliling? Seperti yang diungkapkan oleh seoang sastrawan Mesir,
Abdul-Hamid as-Sahar, dalam cerpen, “Seniman”.
Tidak
mengherankan kalau seorang seorang Umar Khayam harus ada di LN untuk
menulis cerpen-cerpen yang dikumpulnan dalam buku Seribu Kunang-kunang
di Manhattan atau Sri Sumarah dan Bawuk. Atau seorang Budi Darma yang
menulis cerpen-cerpen yang kemudian dikumpulkan dalam buku Orang-Orang
Bloomington – atau novel Olenka dan Nyonya Talis. Dan Darmanto Jt yang
menulis puisi-puisi fenomenalnya ketika berada di London dan Hawaii.
Ketika mereka terlepas dari kesibukan rutin sebagai pakar, dosen,
penulis, penyaji makalah, dan seterusnya.
Bagi
Amang Rachman Jubair berkesenian adalah masalah pilihan dan karenanya
ia berkonsentrasi kepada obsesi tematik dan masalah estetik ekspresi
simbolik lukisannya. Dan kita menemukan corak lukisan yang khas,
panorama semesta yang dibuat berlapis dan bertingkat-tingkat sehingga
suasana sunyi dan mistis jadi dominan dengan satu atau beberapa figur
ditinggalkan sendiri dalam kesepian dan siksaan rindu di tengah
keluasaan kosong, dan satu matahari atau bulan yang menjadi sumber dari
keberadan – karena segalanya jadi tampak ada karena diterangi.
Ada
keterpencilan di sana. Ada perasaan ngungun karena ditinggalkan di sana
– ditinggalkan di tengah segala yang tak bermakna dan tak substansial
karena semua itu hanya menggejala karena disinari Yang Tunggal. Dan
karenanya ada sikap tawakal menerima segala yang digariskan. Ada sikap
takwa dan tawadhu dari seseorang yang percaya, mengakui, dan berserah
diri dalam menjalani segalanya – dengan usaha yang bertumpu pada mencari
ridha-Nya. Pencapaian mistis yang diungkapkan dengan tehnik yang khas.
Teknik
yang matang meski tidak akademis karena dibangun dari kemauan belajar
seorang otodidak – dan kerja keras tidak kenal lelah. Tapi hal itu jadi
lumer kalau kita bertemu dengan Amang Rahman Jubair di luar studio dan
kesuntukannya sebagai pelukis yang gigih dan pantang mundur. Yang
bersiteguh mencari ciri khas sehingga lukisannya jadi ikon lukisan Amang
Rahman Jubair yang langsung merujuk ke diri seorang Amang Rahman Jubair
saja.
Di
luar itu ia adalah warung lesehan, dengan segelas kopi, sebungkus
rokok, dan tertawa panjang yang membuat waktu surut dan tidak berani
menunjukkan realitas keseharian yang penuh dengan kesulitan ekonomi,
problema politik dan ter-utama tantangan kreatif penciptaan. Tapi waktu
itu tak benar-benar abai dan alpa, karena ia tetap teringat pada
kewajiban pokok: Menghadirkan manusia dan menghilangkan manusia dari
kehadiran nyata berserentakan di dunia.
Amang
Rahman Jubair pun memenuhi panggilan itu – mungkin juga pembe-basan
dari keberadaan dalam semesta keterasingan, yang ada akibat pancaran
terang dari Yang Mengadakan, dan karenanya ia akan diserap atau terserap
lagi ke dalam Yang Utama. Persis seperti puisi “Kepastian”, ditulis
1975, yang berbunyi: Dalam hidup ini, ada satu yang pasti yaitu mati.
Sebuah puisi yang menolak simbol, imaji, dan reka bunga bahasa. Sebuah
kerja kreatif yang menolak kehadiran yang semu penuh gincu dan hiasan
estetik, dan melulu menghadirkan yang substansial, yang inti.
Jadi
satu bongkah aphorisma, rumusan yang dengan tajam menandai yang inti
dari dunia, sejarah dan hidup: Waktu. Rentangan tanpa batas yang
membuhul titik lahir dan mati seorang manusia secara horisontal antar
generasi dan vertikal berserentakan satu generasi. Di mana hal itu
mungkin melahirkan kemarahan keterhukuman dari seseorang yang terusir,
kesunyian keterkutukan eksistensial dari seseo-rang yang tak punya
pilihan dan tak bisa sama dengan yang lain, atau kristalisasi kesabaran
dari yang bisa menerima cobaan dari reka goda dunia sebelum dibebaskan
dan kembali kepada yang substansial.
Dan
sebelum hal itu sampai: Yang ada adalah kerja keras kreatif, penuntasan
kewajiban seorang suami dan ayah, serta waktu luang untuk mentertawakan
segala hal yang semu dan tidak substansial. Dan karenanya, mengikuti
simbolisasi sebuah “Sajak Ibunda” Rendra: Amang Rahman Jubair itu warung
lesehan dengan segelas kopi, sebungkus rokok, dan obrolan intim yang
penuh kegembiraan.
Kegiatan lain selain melukis adalah: Pengasuh Yayasan Pendidikan Kesenian Surabaya (sejak tahun 1967), Mendirikan Akademi Seni Rupa Surabaya (AKESERA), Sekretaris Dewan Kesenian Surabaya (1971), Ketua Dewan Kesenian Surabaya (1984).
(Dari berbagai sumber)
No comments: