Oleh: Guruh Ramdani
Kurang lebih tiga tahun yang lalu ketika saya sedang menunggu
giliran dipanggil guru sewaktu pembagian raport anak di Sekolah Dasar,
terdengar dua orang tua (yang juga sedang menunggu giliran)
berbincang-bincang di sebelah saya, yang satu seorang ibu dan yang
satunya seorang bapak. Karena topik pembicaraannya menarik saya pun
akhirnya menguping mereka.
Isi pembicaraannya kurang lebih
begini, “kalau saya sih rangking SD anak tidak begitu penting, bu.
Soalnya saya melihat ada anak saudara yang bermasalah karena ditekan
supaya selalu punya rangking bagus,” kata si bapak memulai pembicaraan.
“O ya, kenapa memang pak?” Tanya si ibu penasaran.
“Jadi anak saudara saya ini dari kelas satu SD sampai SMA ditekan terus
supaya rangking satu. Setiap saat dari kecil disuruh belajar keras,
ditambah lagi dengan les ini, les itu, nyaris tidak ada waktu luang
untuk bermain. Dan memang sampai kelas dua SMA anaknya bisa mencapai
target tersebut. Namun ketika kelas tiga SMA mulai terlihat masalah
serius,…”
“Masalah apa pak?” Tanya si ibu semakin penasaran.
Demikian juga saya, walaupun tidak ikut nimbrung pembicaraan mereka tapi
ikut penasaran.
“Anaknya mogok belajar bu. Sama sekali tidak mau
belajar. Bahkan yang paling fatal dia sama sekali tidak mau sekolah.
Kerjaannya hanya melamun dan mengurung diri di dalam kamar. Orang tuanya
pun kebingungan. Segala cara dilakukan untuk membujuknya supaya mau
sekolah. Tapi sang anak sama sekali tidak bergeming…”
“Wah semakin menarik nih,” pikir saya.
“Sampai akhirnya sang anak ditanya orang tuanya, kamu tuh sebetulnya
mau apa?” Kata sang bapak melanjutkan. “Jawabannya sungguh di luar
dugaan bu. Ternyata dia ingin mobil-mobilan.”
“Ah masa sih segitunya pak?” Tanya si ibu seakan akan tidak percaya.
“Iya betul bu. Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri. Anak segede
gitu, yang normalnya sudah puber dan melirik anak gadis, malah main
mobil-mobilan, persis seperti anak kelas dua SD! Maininnya pun sambil
dibunyikan segala, ngeeeeng, ngeeeng, brumm! Brummm!” Kata si bapak
sambil menirukan gaya anak kecil yang sedang main mobil-mobilan…
Pembicaraan mereka selanjutnya saya lupa, tapi kata-kata terakhir tadi
begitu menghentak kesadaran saya saat itu. Karena pikiran saya langsung
melayang pada ingatan masa kecil saya, yang sangat berbanding terbalik
dengan keadaan sang anak dalam cerita tadi. Di mana saya bisa
dikategorikan sebagai anak yang malas belajar, kerjaannya main saja,
walaupun mungkin karena sekolah saya di kampung yang kualitas
pendidikannya lebih rendah dengan di kota besar, rangking SD saya tidak
jelek jelek amat. Yah bisa masuk empat besar. Tapi ya itu, ibu saya yang
juga seorang guru SD– apalagi guru matematika - di sekolah yang berbeda
(ibu tidak pernah menyekolahkan anaknya satu sekolah dengan tempatnya
dia mengajar) sangat cerewet menyangkut soal belajar ini. Sebaliknya,
entah kenapa saya malah bersikap sebaliknya, yaitu sangat pemalas. Dalam
kehidupan saya saat itu yang dipikirkan cuma tiga soal, yaitu main –
menggambar – dan baca komik.
Untuk yang terakhir saya lakukan
dengan menyewa diam-diam di tempat rental, dengan cara menyisihkan uang
jajan. Karena betapa murkanya ibu jika tahu saya baca komik, dan selalu
mengancam akan membakar komik sewaan tersebut. Walau sudah saya
sembunyikan sedemikian rupa, namun ibu selalu tahu di mana saya
menyimpannya, karena saya sangat jorok dan kamar selalu berantakan. Jadi
setiap kali ibu membereskannya, beliau selalu menemukan barang yang
dianggapnya haram itu. Walau demikian, rupanya ibu hanya gertak sambal
saja rupanya, karena tidak pernah benar-benar melakukan apa yang
diancamkannya tersebut. Karena beliau tahu itu adalah barang milik
orang.
Tapi anehnya, biar nilai matematika SD saya pas-pasan, ibu
tidak marah soal itu, tapi kalau nilai pendidikan agama dan PMP saya
kecil, baru dia datangi guru saya, dan menanyakan apakah anaknya pernah
melakukan tindakan yang kurang ajar di sekolah? Karena ibu menganggap
nilai agama dan PMP adalah indikator atau cerminan dari moral saya.
Namun ajaibnya, saya masih diberi keberuntungan masuk SMP dan SMA
Negeri, yang saat itu di kota kabupaten seperti Sumedang masih menjadi
indikator sekolah dengan kualitas pendidikannya yang paling baik
dibandingkan swasta (saya curiga ini adalah dampak dari do’a ibu yang
tidak lelah-lelahnya memohon kepada Allah supaya anaknya ini menjadi
anak yang berguna). Tentu hal ini bisa diperdebatkan saat ini, di mana
sudah banyak sekolah swasta yang kualitas maupun sarana pendidikannya
jauh lebih bagus atau bersaing. Walaupun semakin naik tingkat sekolah
saya, semakin tidak karu-karuan juga rangking saya. Padahal saya semakin
rajin membaca lho! Kalau waktu SD bacaan saya adalah komik silat, maka
menginjak SMP mulai rajin baca novel Wiro Sableng dan Kho Ping Ho. Benar
kan terjadi peningkatan?
Kelakuan tidak terhormat dan memalukan
jadi tukang contek amatiran dan ketahuan guru pun pernah pernah saya
alami. Alhasil rangking sewaktu SMP bertengger di atas belasan sampai
dua puluhan, semasa SMA ada peningkatan yaitu di atas tiga puluhan dari
empat puluh siswa dalam satu kelas. Dan saya lulus SMA dengan NEM 21
dari tujuh mata pelajaran, alias nilainya rata-rata tiga! Sungguh
emejing!
Namun situasi berubah seratus delepan puluh derajat
ketika kuliah di ISI. Entah karena memang sesuai minat, entah sudah
insyaf, atau karena otaknya sudah kebuka – saya tidak tahu – karena
ajaib tanpa merasa belajar pun nilai saya bagus-bagus, semua pelajaran
seolah-olah masuk dengan sendirinya tanpa dipaksa masuk. Saya pun mulai
membaca dan mengenal buku-buku serius, bahkan kesannya kalap. Ketika
mendapat honor dari tempat kerja, hampir satu bulan sekali membeli buku,
dua sampai empat buah banyaknya. Baca komik sudah tidak doyan, karena
bosan ujung ceritanya sudah bisa ditebak, pun demikian dengan Wiro
Sableng dan Kho Ping Ho.
Walaupun kuliah sambil kerja, diselingi
pacaran, berorganisasi, diputus sang pacar lalu depresi, menenggelamkan
diri dalam kesibukan pameran lukisan di dalam dan di luar kampus, dapat
pacar lagi, ikut kompetisi seni lukis, nambah pacar lagi, jadi tentor
bimbingan belajar, diputus semua pacar dan depresi lagi, namun
depresinya dilarang berkepanjangan karena harus KKN, lalu cuti kuliah
(ini yang saya anggap paling keren selama kuliah, yaitu boleh cuti!
Kesannya dewasa banget gitu loh! Tapi sekarang kalau dipikir-pikir lagi
soal ini, kok pemikiran “keren” ini malah kesannya goblok, ya? Tapi ya
sudahlah, anda tidak usah ikut pusing memikirkannya, karena itu kan
keputusan saya, bukan keputusan anda. Oke?), lalu menyelesaikan laporan
TA, dan akhirnya lulus dengan IP 3,47. Meskipun demikian, berakhir
dengan tragis, yaitu wisuda tanpa ada pendamping alias jomblo! Mh
nasiiib nasib!
Belakangan pekerjaan saya malah berkutat di bidang
pendidikan, dan melihat banyak hal di kampus. Ternyata semakin tinggi
pendidikan seseorang itu, yang dipelajari semakin spesifik. Jika sewaktu
SD kita belajar hampir semua hal namun tahu sedikit dari semua
pelajaran tersebut, maka ketika masuk SMP materinya semakin diperdalam,
ketika naik ke tingat SMA mulai ada penjurusan, IPA atau IPS (untuk soal
ini tolong koreksi saya kalau salah), jaman saya waktu itu masih dibagi
berdasarkan kelas Fisika, Kimia, Biologi, dan Bahasa. Untuk kasus saya
yang sebetulnya berbakat di ilmu-ilmu humaniora dan seni, karena
keinginan ibu saya dicemplungin ke kelas Biologi (Hasilnya ya pasti
teler! Ha ha ha!). Sementara di perguruan tinggi, yang dipelajari
hanyalah satu minat utama saja, misalkan kalau seni, ya cuma minat utama
seni lukis saja. Seni patung pun tidak dipelajari kecuali dalam mata
kuliah umum atau mata kuliah pilihan. Perguruan Tinggi Seni pun dibagi
menjadi tiga Fakultas, yaitu Seni Rupa, Seni Pertunjukan, dan Seni Media
Rekam. Sementara seni lukis ada di Fakultas Seni Rupa. Sekolah
Pascasarjana lebih spesifik lagi, penelitian saya di S2 hanya soal
prangko. Itu pun seputar ideologi prangko (saja). Demikian juga dengan
S3. Jadi jika ada seorang bergelar profesor, sesungguhnya dia bukan
orang yang ahli dalam banyak hal. Tapi justru orang yang sangat
menguasai suatu hal dengan sangat mendalam. Misalkan professor ahli
jagung, profesor ahli budidaya ikan, profesor ahli seni lukis moi indie,
dan seterusnya. Jadi jangan tanya soal seni atau robot pada profesor
yang ahlinya di bidang kambing.
Nah soal terakhir di atas yang
tidak banyak diketahui masyarakat. Artinya begini, jika seorang anak
tidak pintar dalam beberapa mata pelajaran, tidak berarti kita
menghakiminya bodoh. Mungkin saja sesungguhnya dia jenius dalam satu
atau pelajaran-pelajaran tertentu lainnya, dan potensi tersebut malah
keluar sewaktu dia kuliah di perguruan tinggi. Atau tidak kurang yang
sewaktu sekolah dianggap bodoh, namun ketika lulus tanpa sengaja dia
menemukan minatnya lalu iseng-iseng menekuninya, lama-kelamaan menjadi
serius, dan malah sukses. Bukankah Einstein juga adalah seorang jenius
Fisika namun nilai pelajaran biologinya merah di raport?
Dididik
rajin belajar memang perlu untuk menanamkan kebiasaan dan mendidik sang
anak merasa punya kewajiban. Tapi ya sewajarnya saja. Karena jangan lupa
ada hak anak yang lain, yaitu menikmati masa bermainnya. Jadi tidak
perlu terlalu kuatirlah jika sewaktu SD rangking anak kita pas-pasan,
sehingga kita bersikap reaktif berlebihan dan menekan anak melebihi
kapasitas dan usianya.
Atau jangan-jangan (kalau harus jujur)
seringkali kita menanamkan ambisi yang tidak kita capai di masa lalu
kepada sang anak. Memang hal ini juga diperparah dengan stereotipe di
masyarakat dan seolah-olah ada kasta di dalam pendidikan kita yang
berkonotasi bahwa kelas IPA kastanya lebih tinggi dibandingkan kelas
IPS, apalagi seni? Apa masa depannya? Walaupun belakangan banyak
masyarakat yang terbengong bengong mengetahui bahwa para pelukis sudah
banyak yang kaya raya dan dihargai milyaran untuk satu buah lukisannya,
sehingga terjadi fenomena banyak orang tua yang berbondong-bondong pula
menyekolahkan anaknya ke seni. Huh dasar matre!
Janganlah
demikian. Yang bijak adalah, didiklah dan arahkan anak sekolah sesuai
dengan minat dan bakatnya. Anak berminat sekolah di jurusan masak
memasak? Kenapa dilarang? Tidak bergengsi? Apa urusannya? Kurang banyak
apa pengusaha rumah makan atau frenchise usaha makanan yang sukses
besar? Tapi harus pula ditekankan, “oke kalau itu pilihanmu, boleh. Tapi
kamu harus bertanggungjawab menyelesaikannya dengan tuntas, dan
berjuang untuk menjadi yang terbaik di bidangnya!”
Soal rezeki?
Tenaaang, Tuhan maha kaya kok! Betapa banyaknya profesi yang dulu
dianggap sepele namun hari ini memimpin di depan dari segi penghasilan.
Hal inilah salah satunya yang menjelaskan kenapa anak yang dulunya
bodoh bisa sukses di belakang hari (tentunya dengan usaha, do’a, dan
perhatian yang tidak mengenal lelah dari orang tuanya. Nggak bener juga
jika menyerahkan pendidikan anak sepenuhnya pada guru di sekolah). Atau
kenapa anak yang rangking sekolah dari SD sampai SMA-nya berlian, namun
tidak mampu masuk ke perguruan tinggi yang bergengsi.
Demikian,
cuma sekedar berbagi. Mudah-mudahan ada manfaatnya. Mohon maaf
sebesar-besarnya apabila ada kata kata yang menyinggung, atau terkesan
narsis. Apabila anda tersinggung beneran, ngak apa-apa nanti saya
unfriend saja. Juga apabila ada kesamaan tokoh dan cerita hanya
kebetulan saja. Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung,
impotensi, gangguan kehamilan dan janin. Jadilah manusia yang bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa; cinta alam dan kasih-sayang sesama manusia;
patriot yang sopan dan kesatria; patuh dan suka bermusyawarah; rela
menolong dan tabah; rajin, terampil, dan gembira; hemat, cermat, dan
bersahaja; disiplin, berani, dan setia; bertanggung jawab dan dapat
dipercaya; suci dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan; kamu
cantik-cantik dari dalam hatimu (kok mau-maunya sih baca bagian yang
terakhir ini? Kan kurang kerjaan?)
No comments: