Oleh: Guruh Ramdani
Dalam seni rupa, sketsa itu adalah gambar rancangan. Atau gambar
yang akan disempurnakan lagi menjadi gambar atau lukisan yang lebih
utuh. Bisa merupakan gambar imajinasi, gambar model dengan pose tertentu
di studio, atau pun gambar on the spot di alam.
Di beberapa
perguruan tinggi seni yang ada jurusan seni rupanya, aktifitas atau mata
kuliah sketsa ini merupakan studi tersendiri yang dilakukan secara on
the spot (langsung menggambar berhadapan dengan objek-objek yang ada di
alam) yang bertujuan untuk; melatih kepekaan sang perupa menangkap
esensi benda di alam, baik yang statis (atau diam, seperti pohon dan
bangunan) maupun yang dinamis (atau bergerak, seperti manusia dan
hewan); melatih spontanitas dan keluwesan tangan dalam menggoreskan alat
(pensil, kwas, atau pena); melatih kejujuran dan efisiensi dalam
menggores, karena itu biasanya sangat dianjurkan untuk menggunakan alat
yang berpotensi salah dan tidak bisa dihapus atau diulang goresannya
seperti pena dan kwas; serta melatih mental peserta didik untuk tampil
di hadapan publik, karena tentunya jauh berbeda situasinya ketika
menggambar di studio dengan di ruang publik yang berpotensi dikerubungi
orang banyak.
Setidaknya itu yang biasa dilakukan dalam metode
pendidikan seni rupa yang berakar pada barat atau Eropa, yang terlebih
dahulu menggunakan (penemu?) cat minyak dan kanvas. Di mana dalam
melukis menggunakan cat minyak, goresan yang salah bisa ditumpuk. Karena
dalam (kebudayaan) seni rupa China klasik (yang lebih tua dalam
menggunakan kertas dan cat air?) sulit sekali dibedakan antara sketsa
dan lukisan. Melalui latihan yang keras selama bertahun-tahun (atau
mungkin berpuluh tahun), satu goresan lukisan China akan sangat efisien
membentuk satu objek yang langsung jadi, langsung diwarnai, dan tidak
ada pengulangan. Hasilnya cuma dua; bagus sekali, atau sama sekali
gagal. Tapi ya itu, mungkin dari 20 lukisan, hanya satu yang benar benar
"sempurna".
Cuma memang fenomena gambar sketsa ini di kemudian
hari berkembang jadi semacam "karya seni tersendiri" dan berhenti pada
karya sketsa saja, atau tidak diniatkan untuk dilanjutkan menjadi gambar
yang utuh, serta diapresiasi lebih, baik oleh perupanya, maupun para
stakeholder seni-nya. Belakangan didukung oleh kehadiran media sosial
yang semakin mempopulerkannya. Walaupun sebetulnya jauh-jauh hari (untuk
yang di tanah air) sebelum Facebook lahir, karya-karya sketsa semacam
Rudolf Bonet atau Barli Sasmitawinata sudah jadi incaran kolektor.
Jadi, jika coretan gambar rancang itu dilakukan secara imajinatif, atau
menggunakkan model di dalam studio, apakah sah disebut sebagai karya
sketsa? Ya sah saja, karena budaya membuat sketsa ini sudah dilakukan
dari jaman "baheula," alias dari dulu kala, sejak sebelum adanya
kebudayaan menggambar on the spot, seperti sketsa gambar wajahnya mbah
Leonardo Da Vinci yang menggunakan kapur yang sangat terkenal itu, atau
sketsa-sketsanya tentang rancangan pesawat terbang, tank, san senjata,
atau sketsa mengenai teori anatomi tubuh manusia.
No comments: