Oleh: Drs.H. D. Sirojuddin AR, M.Ag.
A. Iftitah
 
Inti ajaran Islam adalah tauhid. Kaligrafi yang kerap diistilahkan 
dengan sebutan art of Islamic art (seninya seni Islam) mencerminkan inti
 ajaran tersebut, merujuk kepada kelahiran dan perkembangannya yang 
menjauhkannya dari ikonoklasme. Ciri-cirinya menonjol dari penampilannya
 yang abstrak, yang karenanya kerap pula disebut ‘seni abstrak’, 
sehingga terjauh dari kemungkinan gambaran-gambaran yang menjurus pada 
obyek syirik atau sesembahan semisal pada seni patung atau seni suara 
dan tari yang kerap ‘tenggelam dalam pusaran siklus hawa nafsu” sehingga
 pada titik ekstrem menjadi hampa akan makna dan nilai-nilai moral.
Maka dalam perjalanannya, kaligrafi Arab yang lebih sering menjadi alat
 visual ayat-ayat al-Quran, tumbuh tertib mengikuti rumus-rumus 
berstandar (al-khat al-mansub) olahan Ibnu Muqlah yang sangat ketat. 
Standarisasi yang menggunakan alat ukur titik belah ketupat, alif, dan 
lingkaran untuk mendesain huruf-huruf itu mencerminkan “etika 
berkaligrafi” dan kepatuhan pada “kaedah murni” aksara Arab. Terutama 
bagi pemula, berpegang teguh pada kaidah khattiyah ini sangat penting. 
Mengetahui seluk beluk aliran kaligrafi dan tatacara penulisannya tidak 
saja akan memperkokoh kredibilitas tulisan pada komposisi yang serasi 
(insijam wa mu’alamah). Lebih dari semuanya, sang karya dapat 
dipertanggungjawabkan sebagai hasil pencapaian yang utuh (al-ikhtira 
al-kamil).
Hasil dari ikhtiar tersebut, telah lahir aliran-aliran
 kaligrafi yang beragam. Dimulai dari pengembangan al-aqlam as-sitah 
(Tsuluts, Naskhi, Muhaqqaq, Raihani, Tawqi, dan Riqa’) di masa 
pemerintahan daulah Umayyah sebagai era kebangkitan kedua pasca khat 
Kufi dan kaligrafi kursif kuno sesudahnya. Dari enam gaya tulisan yang 
populer dengan sebutan Shish Qalam di Persia ini berkembang pula ratusan
 gaya lain. Sampai abad 20, gaya-gaya tersebut menunjukan fluktuasi 
perkembangan yang dinamis, meskipun kelahirannya hanya meninggalkan 
sekitar tujuh gaya tulisan modern: Naskhi, Tsulutsi, Farisi, Diwani, 
Diwani Jali, Kufi, dan Riq’ah. Gaya-gaya tulisan tersebut masih berkutat
 pada standar system Ibnu Muqlah tanpa mengalami perubahan yang berarti.
Namun belakangan, muncul gerakan menjauhkan diri dari kebekuan 
ikatan-ikatan baku di atas. Kreasi mutakhir yang menyimpang dari grammar
 lama ini populer dengan sebutan kaligrafi kontemporer, merujuk pada 
gaya zaman kiwari yang penuh dinamika dan kreativitas dalam mencipta 
karya yang serba aneh dan unik.
Risalah ini bermaksud mengenalkan
 serba sedikit gambaran mengenai kaligrafi Islam kontemporer dan 
rembesan pengaruhnya terhadap seniman lukis dan para kaligrafer di 
Indonesia.
B. Pembatasan Masa Kontemporer
 
Meskipun kaligrafi 
dapat dimasukkan ke bagian seni rupa, namun tidak harus mengikuti corak 
periodisasi seni rupa secara utuh. Kendatipun begitu, tidak dapat 
disangkal bahwa gaya kaligrafi Islam “kontemporer”, “modern” atau 
“masakini” tidak lepas dari perjalanan dan bias pengaruh seni rupa 
modern, yang merupakan fenomena konsep dan realitas di tengah lalu 
lintas perjalaan seni rupa di seluruh pelosok dunia.
Mungkin 
secara kebetulan, dalam proses perkembangannya, seni rupa modern yang 
awalnya tumbuh di Barat, merembes ke Timur Tengah dan bagian-bagian 
dunia Islam yang lain termasuk Indonesia. Abdel Kebir Khatibi dan 
Mohammed Sijelmassi memprediksi adanya hubungan kuat Barat-Timur 
tersebut, karena tulisan yang merupakan bagian dari seni grafis 
berhubungan erat dengan seni-seni lain seperti menggambar, melukis, dan 
arsitektur. Di sini tulisan bergabung dalam satu latar kesatuan unit 
media seperti dinding masjid atau kanvas lukisan. Oleh karena itu, 
meskipun seni lukis tumbuh independen, kenyataannya secara konstan 
mengikuti dan diikuti irama seni tulis secara kreatif.
Gejala ini
 muncul terutama tahun ’70-an dan berkembang lebih beringas di tahun 
’80-an yang diikuti oleh pameran-pameran yang meluas di Eropa dan 
negara-negara Islam termasuk Indonesia.
Namun, tanda-tanda dan 
yang mengarahkan pada model kaligrafi “bebas” atau “dibebaskan” ini 
sudah berlangsung sebelum tahun-tahun tersebut dan tidak semata 
dipengaruhi seni rupa Barat. Pertama, hasrat “perburuan” terhadap 
penemuan-penemuan baru di kalangan khattat selalu menggebu yang sampai 
pada titik kulminasi di mana kreasi ditujukan untuk mencapai karya-karya
 masterpiece yang adiluhung. Selanjutnya, seni kaligrafi maju lagi 
kepada konsep kreatif yang lebih filosofis di masa Turki Usmani dan 
kerajaan-kerajaan Islam Persia seperti Ilkhaniyah, Timuriyah, dan 
Safawiyah. Karya-karya unik ini menonjol pada gaya Tugra dari Turki 
Usmani dan pola-pola animasi dari Persia. Kedua, sifat plastis yang 
dimiliki kaligrafi Arab, memudahkan beradaptasi dengan pengaruh-pengaruh
 luar yang memuncak dengan kehadiran pengaruh seni rupa Barat di 
penghujung abad ke-20, terutama dalam titimangsa 20 tahunan terakhir.
Seni rupa Islam kontemporer, yang di dalamnya termasuk kaligrafi, 
menurut kritikus dan kurator seni rupa Marwan Yusuf, memang bisa membuat
 masyarakat terkejut, karena kehadirannya yang tiba-tiba populer di 
tahun ’70-an. Padahal tidak muncul begitu saja, melainkan melalui 
pergumulan ide yang panjang. Jadi, sejak penghujung dasawarsa 1970-an, 
seni kaligrafi Islam mulai dilanda oleh semangat posmodernisme. Bahkan, 
jauh sebelum posmodernisme berkembang menjadi jargon.
C. Corak Kaligrafi Islam Kontemporer
 
Kaligrafi Islam kontemporer merupakan karya “pemberontakan” atas 
kaedah-kaedah murni kaligrafi klasik. Perkembangannya sangat pesat 
menjejali aneka media dalam bentuk-bentuk kategori. Mazhab tersebut 
berusaha lepas dari kelaziman khat atau kaligrafi murni yang banyak 
dipegang para khattat di banyak pesantren dan perguruan-perguruan Islam 
seperti Naskhi, Tsulutsi, Farisi, Diwani, Diwani Jali, Kufi, dan Riq’ah.
Di antara ciri-ciri “pelanggaran” yang menunjuk pada bukti kebebasan 
kreatif yang menghasilkan gaya berbeda ini dapat disimpulkan dari 
kemungkinan-kemungkinan berikut:
- Sepenuhnya berdiri sendiri sebagai suguhan khas pelukisnya, dengan mengabaikan samasekali bentuk anatomi huruf khat murni. Bentuk ini merupakan eksplorasi teknik dan kebebasan ekspresi penuh sang pelukis.
- Merupakan kombinasi antara hasil imaji pelukis dengan gaya murni yang sudah populer. Pada bagian ini, karya kontemporer masih mewarisi sedikit warisan bentuk tradisionalnya.
- Gaya kontemporer juga lebih mengarah kepada kecenderungan tema, yakni karya dwi-matra (dua demensi) maupun tri-matra (tiga dimensi) yang menghadirkan unsur kaligrafi “secara mandiri” maupun dilatari unsur lain dalam kesatuan estetik dengan penampilan sebagai gaya ungkapan, media, dan teknik. Wujud nyata alam pada karya-karya dihadirkan melalui penggambaran nyata berupa pemandangan benda-benda, peristiwa.
Corak-corak kaligrafi Islam kontemporer, 
karenanya, oleh Ismail dan Lamya al-Faruqi dibagi kepada 
kategori-kategori tradisional, figural, ekspresionis, simbolik, dan 
abstraksionis mutlak.
 a. Kaligrafi Tradisional
Tipe ini dihasilkan oleh para kaligrafer kontemporer muslim dalam pelbagai gaya dan tulisan yang telah dikenal generasi kaligrafer terdahulu. Pemakaian kata “tradisional” menunjukan kesesuaian dengan tradisi khat masa lalu. Pesan-pesan lebih ditekankan pada pengaturan yang indah dari hruf-huruf ketimbang menampilkan lukisan kaligrafi dalam bentuk figur-figur alam.
Tipe ini dihasilkan oleh para kaligrafer kontemporer muslim dalam pelbagai gaya dan tulisan yang telah dikenal generasi kaligrafer terdahulu. Pemakaian kata “tradisional” menunjukan kesesuaian dengan tradisi khat masa lalu. Pesan-pesan lebih ditekankan pada pengaturan yang indah dari hruf-huruf ketimbang menampilkan lukisan kaligrafi dalam bentuk figur-figur alam.
 Meskipun demikian, terdapat juga kaligrafer tradisional yang melukis 
kaligrafi dalam pola dedaunan atau motif-motif bunga dan pola-pola 
geometris. Namun, efek keseluruhan karya kontemporer kaligrafer 
tradisional adalah abstrak. Di antara pelukis kaligrafi dewasa ini yang 
mewakili kategori tradisional adalah Said al-Saggar, Muhammad Ali 
Syakir, Ilham al-Said, Emin Berin, Adil al-Sagir dan lain-lan.
b. Kaligrafi Figural
Kaligrafi kontemporer disebut sebaga “figural” karena ia menggabungkan motif-motif figural dengan unsur-unsur kaligrafi melalui pelbagai cara dan gaya. Unsur-unsur figural lazimnya terbatas pada motif-motif daun atau bunga yang dilukiskan atau dinaturalisasikan agar lebih sesuai dengan sifat abstrak seni kaligrafi Islam. Figur-figur manusia atau binatang biasanya jarang ditemukan dalam naskah-naskah al-Quran yang ditulis secara kaligrafis, dalam dekorasi masjid atau madrasah. Tipe terakhir ini lebih banyak digunakan pada perkakas rumah tangga.
Kaligrafi kontemporer disebut sebaga “figural” karena ia menggabungkan motif-motif figural dengan unsur-unsur kaligrafi melalui pelbagai cara dan gaya. Unsur-unsur figural lazimnya terbatas pada motif-motif daun atau bunga yang dilukiskan atau dinaturalisasikan agar lebih sesuai dengan sifat abstrak seni kaligrafi Islam. Figur-figur manusia atau binatang biasanya jarang ditemukan dalam naskah-naskah al-Quran yang ditulis secara kaligrafis, dalam dekorasi masjid atau madrasah. Tipe terakhir ini lebih banyak digunakan pada perkakas rumah tangga.
Dalam tipe figural, kerap terjadi “peleburan” huruf dalam seni lukis 
masa lalu dan kontemporer. Dalam desain seperti ini, huruf-huruf 
diperpanjang atau diperpendek, melebar dan menyelip atau diperinci 
dengan perluasan lingkaran, ikalan atau tanda-tanda tambahan atau 
sisipan lain yang dibuat agar sesuai dengan bentuk non-kaligrafis, 
geometris, floral, fauna atau sosok manusia. Sayyid Naquib al-Attas 
merupakan salah seorang tokoh kaligrafer kontemporer yang banyak 
menciptakan gaya peleburan kaligraf figural selain Sadiqayin dari 
Pakistan.
c. Kaligrafi Ekspresionis
Kaligarfi “ekspresions” merupakan tipe ketiga seni kaligrafi kontemporer di dunia Islam masa kini. Gaya ini, seperti karya-karya kaligrafi waktu-waktu terakhir, berhubungan degan perkembangan-perkembangan utama dalam estetika Barat. Meskipun para kaligrafer ekspresionis menggunakan “perbendaharaan kata” warisan artistik Islam, namun mereka jauh berpindah dari contoh “grammar” kaligrafi yang asli.
Kaligarfi “ekspresions” merupakan tipe ketiga seni kaligrafi kontemporer di dunia Islam masa kini. Gaya ini, seperti karya-karya kaligrafi waktu-waktu terakhir, berhubungan degan perkembangan-perkembangan utama dalam estetika Barat. Meskipun para kaligrafer ekspresionis menggunakan “perbendaharaan kata” warisan artistik Islam, namun mereka jauh berpindah dari contoh “grammar” kaligrafi yang asli.
Dalam karya kaligrafi 
ekspresionis, pelukisnya berusaha menyampaikan pesan emosional, visual, 
dan respon pribadi terhadap obyek-obyek, orang-orang atau peristiwa yang
 digambarkan. Buland al-Haidari menggambarkan karya kaligrafi 
ekspresionis sebagai usaha menggunakan huruf-huruf sebagai “penyaluran 
perasaan dan gagasannya yang paling dalam, dan karena itu dipengaruhi 
oleh apa yang hidup dalam kesadarannya”. Ia meyakinkan dalamnya pengaruh
 semangat Islam yang mendorong tumbuhnya gagasan dan ilham mencpta sang 
kaligrafer yang tiada akhir. Sebagian karya Hassan Massoud (Tunisia), 
Qutaba Shaikh Nouri Diya al-azawi (Irak) mewakili orientasi seni khat 
jenis ini.
d. Kaligrafi Simbolis
Kategori keempat kaligrafi Islam kontemporer termasuk apa yang disebut kaligrafi “simbolis”. Dengan memaksakan penyatuan melalui kombinasi makna-makna, peranan huruf-huruf sebagai penyampai pesan dinafikan. Bukti dari akulturasi semacam ini sangat kentara dalam desain-desain kaligrafer kontemporer yang menggunakan huruf atau kata Arab tertentu sebagai simbol suatu gagasan atau ide-ide yang kompleks. Misalnya huruf sin diasosiasikan dengan sayf (pedang) atau sikkin (pisau) yang lazimnya disandingkan bersama penggambaran obyek-obyek asosasi untuk menyampaikan “pesan-pesan khusus”nya.
Kategori keempat kaligrafi Islam kontemporer termasuk apa yang disebut kaligrafi “simbolis”. Dengan memaksakan penyatuan melalui kombinasi makna-makna, peranan huruf-huruf sebagai penyampai pesan dinafikan. Bukti dari akulturasi semacam ini sangat kentara dalam desain-desain kaligrafer kontemporer yang menggunakan huruf atau kata Arab tertentu sebagai simbol suatu gagasan atau ide-ide yang kompleks. Misalnya huruf sin diasosiasikan dengan sayf (pedang) atau sikkin (pisau) yang lazimnya disandingkan bersama penggambaran obyek-obyek asosasi untuk menyampaikan “pesan-pesan khusus”nya.
Bagi sebagian kalangan, hampir semua huruf bisa 
dipahami secara simbolik (metaforika), meskipun tidak disetujui sebagian
 yang lain.
e. Kaligafi Abstrak
Gaya kelima kaligrafi Islam kontemporer ini disebut al-Faruqi dengan julukan “Khat Palsu” atau “Khat Kabur Mutlak”, karena menunjukan corak-corak seni yang menyamai huruf-huruf dan atau perkataan-perkataan tetapi tidak mengandung makna apapun yang dapat dikaitkan dengannya.
Gaya kelima kaligrafi Islam kontemporer ini disebut al-Faruqi dengan julukan “Khat Palsu” atau “Khat Kabur Mutlak”, karena menunjukan corak-corak seni yang menyamai huruf-huruf dan atau perkataan-perkataan tetapi tidak mengandung makna apapun yang dapat dikaitkan dengannya.
Dengan menafikan makna 
linguistik, huruf-huruf tersebut hanya menjadi unsur sesuatu corak untuk
 “tujuan-tujuan” seni semata. Melalui penggunaan unsur-unsur abjad yang 
berubah-ubah itu, ahli-ahli kaligrafi abstrak mempergunakan huruf-huruf 
sebagai corak dan tidak sebagai unsur-unsur suatu pesan.
Muhammad
 Ghani, salah seorang tokoh aliran abstak, menggubah-gubah huruf dengan 
membenturkannya dengan huruf-huruf sebelum dan sesudahnya, sehingga 
meninggalkan kekosongan di kedua sisinya. Yang sangat aktif beruji coba 
dengan tipe ini adalah seniman kaligrafi Islam kontemporer Tunisia, Naja
 al-Mahdawi, Muhamad Saber Fauzi dan Hossein Zenderoudi (Iran), Kamal 
Boullata (Yerusalem), Rashid Korishi (Algeria) dan al-Said Hassan Shakir
 (Irak) yang lebih banyak menghasilkan “ukiran” mutlak daripada sesuatu 
yang dapat dibaca.
D. Pengaruh Luar Terhadap Kaligrafi Islam
 
Kaligrafi Islam kontemporer yang saat ini sering digabungkan dengan seni
 rupa kontemporer telah menjadi fenomena internasinonal. Sebagaimana 
seni rupa umumnya, ia pun berkembang bersama gelombang perubahan yang 
lebih luas, bahkan acapkali melabrak batas-batas “grammar” yang 
sebelumnya disucikan.
Terseretnya khat Arab ke dalam arus 
perubahan yang dramatis ini disebabkan oleh karena alphabetnya sangat 
toleran dijadikan (dan selalu mencakup) “ekspresi segala sesuatu”. 
Sementara itu, searah kaligrafi sendiri sebenarnya adalah sejarah 
penemuan dan perburuan gaya-gaya. Oleh Habibullah Fada’li disebutkan, 
bahwa setiap gaya kaligrafi tunduk sepenuhnya terhadap eksperimen dan 
modifikasi selama bertahun-tahun bahkan berkurun-kurun, sampai 
terbentuknya pola yang benar-benar sempurna. Terutama semenjak tahun 
70-an pengaruh pemikiran dan orientasi Barat terasa sangat dominan, 
sehingga memberikan gaya baru pada sosok kaligrafi Islam kontemporer. 
Bahkan menurut Samir al-Sayegh, sampai detik ini pun kecenderungan lebih
 berkiblat ke Barat di kalangan kaligrafer di kawasan Arab dan wilayah 
Islam lainnya sangat mencolok melebihi perhatian mereka ke gaya seni 
Timur lampau. Akibatnya, karakter asli kerapkali menghilang.
Kaligrafi eskpresionis, seperti jenis-jenis gaya baru yang lain, 
nyata-nyata berkaitan dengan gerakan estetika Barat. Ia adalah kesan 
dari “pembudayaan” seni Islam dan artisnya oleh seni Barat akhir-akhir 
ini. Gaya ekspresionis dalam kaligrafi Islam kontemporer, seperti dalam 
seni rupa kontemporer, sering tidak menggambarkan keadaan yang 
sebenarnya. Karena karya-karya para kaligrafer muslim kontemporer lebih 
mencerminkan tradisi seni Barat, kaligrafi semacam ini menurut al-Faruqi
 sedikit sekali artinya dalam upaya kebangkitan seni kaligrafi Islam.
Kaligrafi simbolik yang didominasi oleh gagasan dan ekspresi seni Barat
 juga merupakan “penyelewengan” serius dari tradisi estetika Islam yang 
bersifat transenden. Dalam kaligrafi ini, sekali lagi unsur-unsur 
kebaratan mempengaruhi orientasi kesenian dan prosesnya. Hal seperti ini
 tidak seharusnya mengagetkan, karena pilihan gaya pada kecenderungan 
seni rupa kontemporer bernafaskan Islam tidak terbatas pada gaya 
kaligrafi dan abstrak formalisme, melainkan juga mencakup gaya 
ekspresif, simbolis, dan instrumental (realisme maupun surealisme). Oleh
 karenanya, kelahiran gaya semacam ini merupakan suatu keniscayaan dan 
tidak mungkin dibendung.
Yang sangat santer adalah pengaruh 
“kebebasan penuh” ala Barat yang menonjolkan pada garapan model 
kaligrafi “abstrak”, istilah yang menunjukan kekaburan. Piet Mondrian 
dari Belanda adalah pelukis dan penyumbang terpenting gerakan ini. 
Kehadiran gaya abstrak dalam kaligrafi Islam kontemporer, sungguhpun 
bertentangan dengan unsur-unsur kreativitas seni yang diamalkan para 
kaligrafer muslim berabad-abad lamanya, kini semakin ngetrend di 
kalangan pelukis atau kaligrafer muslim kontemporer, terutama yang 
berhubungan banyak ke Barat, baik melalui pendidikan maupun kegiatan 
pameran.
Nama-nama pelukis kaligrafi abstrak kontemporer yang 
sehaluan dengan Zenderoudi seperti M. Omar, Benbella, Mahdoui, E.Ednan, 
dan Mehdi Qotbi kelahiran Rabat, kini hidup di Paris. Kamal Boullata 
bekerja di Washinton DC Ali Omar Ermes dari Libya Berstudi di London. 
Pergaulan dengan Barat para pelukis tersebut dan pelukis-pelukis lainnya
 memberikan pengaruh kuat terhadap gaya dan orientasi dalam karya-karya 
lukis kaligrafi mereka.
Bekal pengalaman hidup dan bergaul dengan
 seni lukis kontemporer Barat tersebut lebih mendapat pengukuhan via 
pameran-pameran yang biasanya menampilkan hasil karya kebudayaan Arab 
tradisional yang dipajang berdampingan dengan komposisi-komposisi 
abstrak dan surealistik. Misalnya, pameran bersama para seniwati Arab 
Saudi di Washington dan Fairfax, Virginia 1988, memancing banyak 
perhatian pemerhati seni lukis modern. Pameran ini menyambung sambutan 
atas pameran 64 pelukis Pakistan di London Centre for Pakistan Studies, 
1987 yang luar biasa antusias. Pameran-pameran semacam dilangsungkan 
lebih sering, bahkan terutama di kawasan Negara-negara petrodollar Timur
 Yengah seperti Arab Saudi atau Abu Dhabi. Terakhir, 6 April sampai 7 
Mei 1997, kaligrafer kontemporer Kuwait Fareed Abdulrahem al-Ali 
memamerkn “Formations of the revered word Allah”, di House of Zeinab 
Khatun al-Azhar Kairo, yang juga “mencekam” perhatian penonton karena 
gaya-gaya “pemberontakan” yang ditampilkannya. Fareed kembali menggelar 
karyanya di al-Qa’ah al-Kubra Abu Dhabi 1-8 Oktober 1998 atas prakarsa 
Muassasah al-Tsaqafah wa al-Funun yang disambut meriah.
Tambah 
maraknya kecenderungan baru berkaligrafi di tahun-tahun terakhir 
mendorong dan didorong kreativitas menggebu para peluis kaligrafi Islam 
kontemporer yang mencerminkan kecenderungan rata-rata sikap batin dan 
pikiran mereka. Contoh paling mencolok adalah kaligrafer kontemporer 
Tunisia Naja al-Mahdawi yang saban hari berujicoba huruf lebih dari 13 
jam secara tekun. Di antara ungkapan-ungkapannya yang paling “berani” 
adalah sebagai beriku :
“Huruf bagi saya adalah material hidup, yang darinya saya olah apa saja sekehendak saya”
“Dalam teknik mengolah seni saya, saya kembali ke warisan secara alamiah, namun saya musti keluar darinya. Kalau tidak, saya akan mati di sana”
“Dalam teknik mengolah seni saya, saya kembali ke warisan secara alamiah, namun saya musti keluar darinya. Kalau tidak, saya akan mati di sana”
Sikap Naja al-Mahdawi mencerminkan pandangan perlunya 
pengembangan huruf-huruf supaya tidak statis, karena huruf-huruf itu 
sendiri menawarkan kelenturan luar biasa. Sudah pasti sikap 
revolusionernya, yang oleh Charbal Dagir disebut “permainan gila” 
(al-la’bah al-majnunah), tidak terlepas dari pergaulan kesehariannya 
dengan model-model kreasi lukis gaya kontemporer Eropa. Tata pergaulan 
semacam ini oleh kaligrafer muslim kontemporer, Hassan Massaoud yang 
puya pergaulan erat dengan kehidupan seni Barat di Perancis, dianggap 
sangat menemtuan. Ia bahkan menyebut tentang “tatacara melindungi 
kaligrafi supaya terpelihara”, yaitu dengan menempatkan sang kaligrafer 
di tengah masyarakat. Tidak dapat disangkal, jika masyarakat 
sepergaulannya adalah para perupa Barat, maka akan lahir darinya adalah 
kreasi yang bemazhab atau dipengaruhi mazhab Barat.
E. Lukisan Kaligafi Islami di Indonesia
 
“Lukisan kaligrafi” atau “kaligrafi lukis” mulai populer di Indonesia 
terutama semenjak pameran pada MTQ Nasional XI tahun 1979 di Semarang. 
Pameran yang lebih besar lagi diselenggarakan tahun 1980 bersamaan 
dengan Muktamar media masa Islam se-dunia I di Balai Sidang Senayan, 
Jakarta. Semenjak itu, pameran-pameran semacam diselenggarakan secara 
rutin di kota-kota besar Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan 
pada pelbagai event penting di kota-kota lain di Indonesia. Buah dari 
pergelaran-pergelaran yang melibatkan para perupa ini telah memposisikan
 secara mantap seni lukis kaligrafi Islam dalam konstelasi seni rupa 
Indonesia.
Istilah “lukisan kaligrafi” biasanya digunakan untuk 
membedakannya dari “kaligrafi murni” atau “kaligrafi klasik” yang 
berpegang pada kaedah khattiyah seperti Naskhi, Tsuluts, Farisi, Diwani,
 Kufi dan Riq’ah. Lukisan kaligrafi acap dihubungkan dengan rupa-rupa 
teknik penggarapan karya secara keseluruhan, seperti teknik batik, 
teknik grafis, teknik ukir kayu, teknik logam dan lain-lain dalam media 
dan peralatan (seperti cat minyak atau akrilik) yang beragam pula. Hasil
 garapan yang memadukan huruf dengan latar belakangnya membentuk sebuah 
lukisan yang utuh, tidak hanaya tulisan terpisah.
Oleh karena 
itu, pengertian “lukisan” kaligrafi Islam di Indonesia tidak selalu 
menunjuk kepada pembagian gaya-gaya kaligrafi dalam arti huruf seperti 
kriterium al-Faruqi. Fokus “lukisan kaligrafi” di Indonesia “tidak hanya
 selesai pada huruf”, tetapi kehadirannya memang sebagai lisan dalam 
arti yang sesugguhnya, seperti dikemukakan pelukis kaligrafi Islami, 
Syaiful Adnan. Kritikus seni rupa, Dan Suwaryono menandaskan, bahwa 
lukisan kaligarfi Islami pada dasarnya ditopang dua unsur elemen seni 
rupa, berupa unsur-unsur fisiko plastis (berupa bentuk, garis, warna, 
ruang, cahaya, dan volume) di satu pihak, sedangkan di pihak lain 
tuntutan-tuntutan yang cenderung ke arah ideo plastis (meliputi semua 
masalah yang secara langsung ataupun tak langsung berhubungan dengan isi
 atau cita perbahasaan bentuk). Dalam ungkapan yang lebih mudah, bahwa 
lukisan kaligrafii di Indonesia tidak hanya menampilkan sosok huruf yang
 dilukis, tetapi sebuah lukisan utuh di mana huruf menjadi salah satu 
elemennya.
Maka, lukisan kaligrafi Islam kontemporer di Indonesia
 sangat kaya varisasi, karena integral dengan rupa-rupa huruf tanpa 
memandang gaya alirannya. Baik gaya kontemporer ataupun klasik baku, 
semuanya dapat menjadi obyek garapan.
Pelopor mazhab ini adalah 
Ahmad Sadali dan A.D. Pirous (Bandung) dikuti oleh Amri Yahya 
(Yogyakarta) dan Amang Rahman (Surabaya). Kehadiran mereka memberi 
pengaruh sangat kuat terhadap kelahiran dan popularitas kaligrafi Islam 
kontemporer di Indonesia. Terutama dua tersebut pertama adalah bidan 
kelahiran mazhab Bandung yang dikenal sebagai “laboratorium Barat”, 
selain aktif mengajar di Fakultas Seni Rupa ITB dan dikenal akrab dengan
 pergaulan seni rupa Barat bahkan sangat sering berpameran di luar 
negeri. Ajaran-ajaran mereka dengan cepat menyebar dan diikui para 
pelukis di kampus-kampus seni rupa. Di antara “generasi kedua” sesudah 
mereka antara lain, Syaiful Adnan, Hatta Hanbali, Hendra Buana, Abay D. 
Subarna, Yetmon Amier dan kawan-kawan mereka seperti Firdaus Alamhudi, 
Agoes Nugroho, Agus Kamal, Said Akram, Abdul Aziz Ahmad, dan lain-lain 
dengan aneka teknik dan gayanya masing-masing.
Kini, bukan hanya 
para alumnus perguruan seni rupa, bahkan para pelukis dan khattat yang 
tidak memiliki disiplin pendidikan seni rupa pun banyak yang terjun ke 
“permainan” seni lukis kaligrafi gaya baru ini.
F. Ikhtitam
 
Kaligrafi Islam, dalam peta seni rupa Islam kontemporer, memberikan 
sumbangsih yang sangat besar dan telah menimbulkan maraknya kegairahan 
berkreasi dikalangan pelukis dan kaligrafer. Munculnya gaya kontemporer,
 sungguhpun menimbulkan tanggapan pro-kontra, memberikan isyarat semakin
 meningkatnya pencarian gaya-gaya baru untuk lebih melengkapi gaya-gaya 
masa lalu.
Mengutip penyair India Rabindranath Tagore, al-khattat
 Kamil al-Baba dari Libanon menulis dalam bab “al-Jadid fi Dunya 
al-Khath” (Yang Trendy dalam Dunia Kaligrafi), bahwa perkembangan adalah
 sunnatullah dan hanyalah satu bagian dari hukum alam yang berputar. 
Perkembangan adalah cermin kekekalan, seperti halnya stagnasi atau 
jumud, adalah sebab pokok yang memperlekas fana. Dan kaligrafi, dia 
adalah “lukisan huruf”, posisisnya tidak pernah mandek, bahkan terus 
berkembang menyusuri waktu. Perkembangan yang juga disusuri kaligrafi 
Islam kontemporer.
*Pimpinan Pesantren Kaligrafi Al-Quran LEMKA 
Sukabumi Jawa Barat, Staf Pengajar Sastra Arab Universitas Islam Negeri 
(UIN) Syarif Hidayatulah Jakarta.
 
 
 
 
 
 

 



 
 
No comments: