Oleh Irfan Ali Nasrudin.
Seni tak hidup tanpa sentuhan manusia, bayangkan jika hidup tanpa seni,
tanpa hiburan, tanpa rasa, hidup hanya akan terasa datar saja tanpa
inovasi rasa dan tentu ini menjemukan. Beda kalau beragama maka bukan
melulu persoalan rasa, tapi faith (naluri kepercayaan) yang mengkristal
kemudian diikuti rasa yang melahirkan semangat pengabdian kepada Tuhan
yang diyakininya (baik agama samawi maupun agama ardhi).
Seni
adalah peradaban manusia yang lahir dari proses dinamik nan kreatif yang
mengkomparasikan sains, sense, herritage dan craftmanship. Umat Islam
dengan semangat sains Al-Qur'annya seolah menemukan momentum untuk
mengolah rasa (sense) dengan menjunjung tulisan Al-Qur'an yang beraksara
huruf Arab untuk menjadi instrumen kreativitas diawal2 perkembangan
yang kemudian dikenal dengan seni kaligrafi, seni ini pun dijadikan
sebagai herritage (pusaka) nya seni rupa umat Islam. Dalam sejarah yang
cukup panjang dari proses pengolahan bentuk anatomi huruf dari generasi
ke generasi secara temurun, kaligrafi mengalami dualisme aliran; pertama
aliran kaidah murni yang lahir melalui sentuhan piawai tangan seniman
muslim semacam khat kufi, naskhi, tsulus, diwani, diwani jali, riq'ah,
farisi, nasta'liq, raihani, muhaqqaq, ijazah, maghribi dan lain2 yang
diawal2 perkembangan sempat mencapai 400 aliran khat. Kedua aliran
ekspresi bebas tanpa mengikuti kaidah murni sesuai dengan imajinasi
penulisnya atau pelukisnya. Kemudian diera global ini muncullah istilah
kontemporer dalam dunia seni, termasuk kaligrafi. Kontemporer muncul
sebagai dampak modernisasi yang kemudian melahirkan istilah Contemporary
Art berkembang di Barat digunakan dalam produk seni sejak Perang Dunia
II. Praktek kontemporer dimulai ketika terjadi peleburan batasan-batasan
seni yang sudah profan dan memiliki karakter kuat dalam kesejarahan dan
kontinuitas pengamalan antar generasi semisal kaligrafi murni.
Eksistensi kaligrafi murni kuat karena dilahirkan oleh satu seniman
kemudian diteruskan, dikembangkan dan disempurnakan oleh muridnya dan
muridnya lagi seterusnya hingga mengalami kesempurnaan bentuk baku khat
yang kita kenal saat ini.
Nah kontemporer itu apa sih? Kontemporer
kan mencari sesuatu yang baru atau kekinian, sesuatu yang berbeda dan
bebas dari sebelumnya karena mungkin jenuh dengan pakem yang telah biasa
dan hanya itu-itu saja, mudahnya kontemporer adalah mendobrak kemapanan
yang telah ada dan berinovasi secara lebih progresif kepada sesuatu
yang lebih fresh dan baru. Kaligrafi murni sebetulnya sudah mengalami
kontemporer sejak zaman klasik, ditandai makin rumitnya model dan
variasi, dulu khat tsulus hanya biasa saja model baris dengan tazin
sederhana, lalu maestro kaligrafi Mustafa Raqim menginisiasi gebrakan
tsulus menjadi lebih dinamis penuh inovasi dengan model komposisi
menumpuk bahkan sampai model berbalikan (ma'kus) sehingga lahirlah Jali
Tsulus. Begitu juga Diwani yang semula biasa lurus2 saja tanpa harakat
dan hiasan tazin, lalu oleh maestro kaligrafi Hafidz Usman diinisiasi
menjadi rumit dan menumpuk, maka lahirlah Jali Diwani. Begitulah,
kaligrafi juga mengalami modernisasi pada zaman klasik seperti
penghilangan kepala tsulus (Tarwish) oleh pelukis kaligrafi tempo dulu,
ini juga bisa dimaknai kontemporer dalam konsep yang sederhana.
Di
Indonesia pun, khalayak seni rupa mencatat di awal tahun 1970-an, ketika
Gregorius Sidharta memberi judul pamerannya seni patung kontemporer.
Berangkat akan ketidaksetujuan pameran besar seni lukis Indonesia yang
diadakan Dewan Kesenian Jakarta di Taman Ismail Marzuki tahun 1974,
sejumlah perupa mua protes dengan mengirimkan karangan bunga sebagai
tanda matinya seni rupa Indonesia yang dikenal dengan peristiwa Desember
Hitam. Setahun kemudian para perupa muda melakukan pameran di Taman
Ismail Marzuki dengan tajuk pameran seni rupa baru (kontemporer).
Kaligrafi pun turut mengalami euforia di zaman seni rupa kontemporer
tersebut, yang diinisiasi oleh 4 lokomotif pelukis kaligrafi Indonesia
diantaranya Ahmad Sadali, AD. Pirous, Amang Rahman, Amri Yahya. Generasi
berikutnya muncullah Saiful Adnan, Hatta Hambali, Said Akram, Abay
Subarna dan lainnya yang turut menggebrak dan memberikan warna baru bagi
perkembangan kaligrafi kontemporer Indonesia. Para pelukis kaligrafi
kontemporer ini lahir dari embrio Akademi Seni Rupa yang enggan
mempelajari kaidah baku kaligrafi murni, bagi mereka kaidah baku itu
"memperkosa kreatifitas" seni dengan produk klasik yang stagnan. Seni
adalah kebebasan berekspresi tanpa dikekang. Lalu meletuplah semangat
mereka dengan memunculkan eksistensinya secara terbuka mengadakan
pameran kaligrafi lukis kontemporer perdana pada MTQ Nasional tahun 1979
di Semarang.
Kini, dalam MTQ lahir golongan baru dari cabang khat
al-Qur'an yaitu kaligrafi kontemporer selain tiga golongan yang sudah
ada yaitu naskah, hiasan mushaf, dekorasi. Puncaknya dalam MTQ Nasional
NTB kemarin lomba kaligrafi kontemporer menunjukkan tajinya. Diluar
dugaan lomba golongan baru ini menyisakan kontroversi, ditandai dengan
penjurian yang memenangkan karya tidak memenuhi standar disiplin seni
rupa kontemporer sehingga mengakibatkan protes dari para peserta dan
pembina. Kriteria penilaian hanya menuruti selera juri yang senang
dengan model2 flora dan warna2 alam layaknya dunia pastel anak2. Sungguh
ironi, seni rupa kontemporer hanya dinilai sedangkal itu, padahal
proses berseni rupa itu panjang dan rumit sepanjang juga proses
kaligrafi murni yang mengalami fase kehalusan secara periodik dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Untuk mendapatkan karya yang
masterpiece dan memiliki keunikan perlu melakukan eksplorasi teknik dan
bentuk secara berkesinambungan agar dinilai berbeda dan melahirkan unsur
kebaruan misalnya kaligrafi kontemporer yang diramu oleh Saiful Adnan,
ia melakukan model pencarian itu tidak hanya satu dua hari, tapi
bertahun-tahun dengan melakukan "meditasi" seni dan tidak terpikat
dengan seni rupa umum yang melukis anatomi bentuk manusia atau hewan,
tapi ingin lebih pada aspek universalitas keindahan gaya dan bentuk
huruf kaligrafi Arab yang berbeda, maka ketemulah Mazhab Saifuli yang
sekarang banyak ditiru oleh pelukis kaligrafi setelahnya. Ini tidak
mudah, teknik memerlukan proses dan tidak instan. Istilah penamaan
kontemporer dalam golongan ini pun terasa kurang proporsional, karena
kontemporer sifatnya umum, seni apapun bisa dinamai kontemporer kalau
sudah dimodernisasi. Lebih tepat kalau dinamai kaligrafi lukis saja,
untuk membedakan dengan golongan kaligrafi murni yang mencakup tiga
golongan (naskah, hiasan mushaf dan dekorasi).
Dari permasalahan
lomba kaligrafi lukis (kontemporer) ini, agaknya perlu melakukan
revitalisasi dewan juri dengan perubahan2 sistem dan mencari sosok juri
yang lebih menguasai teknik lukis seni rupa. Juri golongan kaligrafi
lukis ini harus dari unsur pelukis profesional dan sebaiknya
dirahasiakan inisialnya, tidak boleh melakukan pembinaan keliling daerah
agar netralitas penjurian terjaga. Sebaliknya yang menjadi pembina
keliling daerah kabupaten/provinsi tidak boleh menjadi dewan hakim.
Lomba kaligrafi di Indonesia memang unik, ketika juri melakukan
pembinaan keliling daerah maka itu disinyalir akan memiliki
kecenderungan dengan peserta yang dibina dan rentan SKSD (sok kenal sok
dekat). Lain di Indonesia lain di Turki yang jadi tempat perlombaan
kaligrafi Internasional IRCICA setiap 3 tahun sekali, penjurian
kaligrafi amat berbeda, kalau sudah masuk wilayah waktu lomba, maka guru
akan memberi warning agar jangan mendekati guru yang mendidiknya, kalau
ketahuan akan dikeluarkan dari perguruan kaligrafi. Bahkan karya lomba
yang sedang dikoreksi oleh dewan juri pun dicek dengan sangat teliti,
terdapat satu titik saja dipojok kertas dan diketahui juri, maka karya
tersebut akan didiskualifikasi (disingkirkan), karena dianggap sebagai
karya titipan oleh juri A juri B dan lainnya. Betul-betul netral.
Bagaimana dengan fakta penjurian kaligrafi di Indonesia? Yang memiliki
harapan besar menang ya yang dikenal dan dekat dengan juri. Sungguh
naif, jangan sampai karena hal ini, perkembangan seni rupa kaligrafi
lukis di Indonesia terganggu. Jangan sampai ada karangan bunga sebagai
simbol matinya kaligrafi kontemporer yang sedang digelorakan ini melalui
media MTQ hanya karena faktor dewan hakim yang kurang kredibel dan
sistem yang mengaburkan kriteria. Ke depan harus ada perbaikan nyata
agar gelora ini menjadi nilai yang positif untuk lebih membumikan
kaligrafi di masyarakat dengan berbagai approach (pendekatan)
multikultural seni. Kasihan anak-anak muda yang masih semangat belajar
dan menempa diri. Memang belajar kaligrafi harus dimulai dari niat,
bahwa niat yang utama adalah menguasai kaligrafi untuk sarana
mendekatkan diri kepada Allah, berdakwah dengan seni, bukan semata-mata
untuk menjadi pemenang lomba apalagi pecundang yang mengebiri asa para
peserta lomba, karena ke depan para peserta itu nanti juga akan menjadi
posisi yang menggantikan dewan juri saat ini. Jangan sampai mereka juga
melakukan hal yang sama kepada generasi anak cucu kita nanti yang akan
ditakdirkan menjadi peserta lomba MTQ cabang kaligrafi pada masa-masa
mendatang.
_________________________________________
Postingan ini saya kembangkan dari hasil dialog kaligrafi pada Pameran
Kaligrafi Nasional bertajuk ISTIQLAL di galeri UIN SUKA tanggal 30
Agustus 2016 pukul 13.30 sampai 16.00 WIB.
Dialog dihadiri oleh Dr.
Abdul Aziz Ahmad (Kepala Prodi Jurusan Seni dan Desain Universitas
Negeri Makasar), Drs. Saiful Adnan (Pelukis Kaligrafi Kontemporer Mazhab
Saifuli), H. Robet Nasrullah (Pelukis Kaligrafi Kontemporer dan Imam
Besar Masjid UIN Sunan Kalijaga) dan Ust. Athoillah (Pimpinan Lembaga
Kaligrafi SAKAL Jombang Jawa Timur).
Semoga bermanfaat.
No comments: