Assiry Gombal Mukiyo, 29 Januari 2016
Berbicara satu sifat seorang Muslim saja saya sepertinya belum pantas disebut "Muslim". Kriteria Muslim yang shaleh tidak hanya diukur lewat shalatnya. Standar kesalehan seseorang tidak melulu dilihat dari banyaknya dia hadir di kebaktian atau misa. Tolok ukur kesalehan hakikatnya adalah output sosialnya: kasih sayang sosial, sikap demokratis, cinta kasih, kemesraan dengan orang lain, memberi, membantu dan menolong sesama. Idealnya, orang beragama itu mesti shalat, misa, atau ikut kebaktian, tetapi juga tidak korupsi dan memiliki perilaku yang santun dan berkasih sayang.
"Segalanya dalam hidup ini tidak ada artinya kecuali kebaikan" inilah yang pernah dikatakan oleh Chow Yun Fat. Chow Yun Fat menyisihkan 99% hartanya atau setara dengan Rp 1,15
Triliun untuk amal, mirip Nabi Muhammad SAW. yang menyerahkan hampir
semua hartanya ketika meninggal.
Kalau Nabi Muhammad masih hidup,
Chow Yun Fat pasti jadi sahabat dekatnya, sedangkan orang Islam yang
sukanya bunuh-bunuhan, anarkhi dan kekerasan dengan dalih jihad bisa
jadi malah tidak diakui sebagai ummat Nabi Muhammad SAW. karena
kelakuannya mirip Quraisy. Saya tidak sedang menuding-nuding
siapapun, tapi tentu apa yang saya utarakan adalah sesuatu yang harus
selalu kita renungkan. Kita mengaku Islam tapi perilaku kita tidak
Islam.
Dari segi bahasa, Islam berasal dari kata aslama yang
berakar dari kata salama. Kata Islam merupakan bentuk mashdar
(infinitif) dari kata aslama ini. Islam memiliki banyak pengertian,
diantaranya adalah: Salaam yang berarti sejahtera atau selamat. Orang
(subyek) yang berperilaku menyelamatkan, mengayomi atau mensejahterakan
itu disebut Muslim. Sudahkah kita menjadi Muslim yang sesungguhnya
Muslim, apa sekadar Islam Kartu?
Berbicara satu sifat seorang Muslim saja saya sepertinya belum pantas disebut "Muslim". Kriteria Muslim yang shaleh tidak hanya diukur lewat shalatnya. Standar kesalehan seseorang tidak melulu dilihat dari banyaknya dia hadir di kebaktian atau misa. Tolok ukur kesalehan hakikatnya adalah output sosialnya: kasih sayang sosial, sikap demokratis, cinta kasih, kemesraan dengan orang lain, memberi, membantu dan menolong sesama. Idealnya, orang beragama itu mesti shalat, misa, atau ikut kebaktian, tetapi juga tidak korupsi dan memiliki perilaku yang santun dan berkasih sayang.
Agama adalah akhlak. Agama adalah perilaku. Agama adalah sikap. Semua
agama tentu mengajarkan kesantunan, belas kasih, dan cinta kasih sesama.
Bila kita cuma puasa, shalat, baca al-quran bahksn sampai hafal 30 juz
sekalipun, atau bagi saudara kita yang pergi kebaktian, misa, datang ke
pura, menurut saya, kita belum layak disebut orang yang beragama.
Tetapi, bila saat bersamaan kita tidak "nggarong" uang negara,
menyantuni fakir miskin, memberi makan anak-anak terlantar, hidup
bersih, menolong sesama, maka itulah orang yang beragama.
Ukuran
keberagamaan seseorang sesungguhnya bukan dari kesalehan personalnya,
melainkan diukur dari kesalehan sosialnya. Bukan kesalehan pribadi, tapi
kesalehan sosial. Orang beragama adalah orang yang bisa menggembirakan
tetangganya. Orang beragama ialah orang yang menghormati orang lain,
meski beda agama. Orang yang punya solidaritas dan keprihatinan sosial
pada kaum mustadh’afin (kaum tertindas). Juga tidak korupsi dan tidak
mengambil yang bukan haknya. Karena itu, orang beragama mestinya
memunculkan sikap dan jiwa sosial tinggi.
Muslim yang saleh itu
bukan orang-orang yang meratakan dahinya ke lantai masjid hingga
berbekas hitam dijidatnya ( atsarilkarpeet). Letak kesalehan kita
sesungguhnya bisa dilihat dari bekas sujud (min Atsari assujud). Artinya
dari Sujud dan Shalat kita berbuah menjadi perilaku baik kita terhadap
sesama, menjadi pelindung, pengayom, penyelamat bagi siapapun itulah
yang disebut sebagai "Muslim". Ternyata untuk menjadi Muslim dihadapan
Allah begitu berat kriterianya.
Duh Gusti semoga Engkau selalu
memberikan petunjuk bagi kami agar menjadikan Islam bukan sekadar agama
tapi sebagai alat untuk memperbaiki diri " husn al khuluq" dan perduli
terhadap lingkungan sosial. Barangkali Chow Yun Fat adalah muslim
dihadapan Allah SWT. Entahlah kita tidak memilki hak sedikitpun untuk
menilai dengan murah dan " renyah" dengan menyimpulkan seseorang itu
Muslim, Kafir, murtad, atau sesat seperti kang Mas MUI ( Majlis Ulama
Indonesia). Hanya Ia yang memilki kewenangan dengan prerogratif mutlaq
atas cap -cap terhadap diri kita.
No comments: