Assiry gombal mukiyo, 20 April 2015
Al-Wazir Abu Ali al-Shadr Muhammad bin al-Hasan ibnu Muqlah
atau yang terkenal dengan Ibnu Muqlah, yang digelari ‘Si Biji Anak
Mata’. Sebenarnya Muqlah adalah nama bapaknya. Dengan tradisi Arab
memanggil seorang anak dengan ‘anak si fulan’, maka dipanggillah ia
dengan Ibnu Muqlah. Namun, kasih sayang sang kakek kepadanya berlebihan,
ia selalu dipanggil dengan sebutan “ ya muqlata abiihaa!” (wahai biji
mata ayahnya). Ibnu Muqlah dilahirkan pada tahun 272 H/887 M dan wafat
tahun 328 H/ 940 M.
Ia seorang jenius, menguasai ilmu dasar geometri membawa
berkah dengan sematan “Imam Khatthathin” (Bapak para kaligrafer)
baginya. Inilah akar utama penemuan kaligrafi cursif.
Ibnu Muqlah berkerja di bebearapa kantor pemerintahan dengan menyumbangkan keahliannya di berbagai bidang ilmu, termasuk kaligrafi. Dengan kekhasannya itulah karirnya menanjak tajam dengan menjadi salah satu wazir untuk tiga orang khalifah Abbasiyyah, antara lain khalifah Muqtadir, al-Qahir, al-Radi. Berkat keuletan dan hubungan sosial dengan sesama pejabat lain, ia menjadi orang yang terpandang.
Agaknya sudah menjadi tradisi apabila seorang pejabat ternama dan memiliki kredibilitas yang baik, mengalami banyak tekanan dari berbagai oknum yang curang dalam sistem pemerintahan. Begitu juga yang dialami oleh Ibnu Muqlah. Berbagai intrik kecurangan dalam sistem pemerintahan mengakibatkan dia mengalami penindasan yang sangat sadis. Penganiayaan tepatnya.
Ibnu Muqlah pada mulanya bekerja sebagai pemungut pajak
pemerintah sekaligus mengatur anggaran pengeluarannya. Hingga keadaan
membalik ketika ia menjabat sebagai pejabat bawaan al-Imami al-Muqtadi
Billah pada 316H. Ia difitnah oleh musuhnya dan hartanya disita,
sementara ia dibuang ke Persia. Namun pada akhirnya ia malah menjadi
pembantu al-Radi, maka musuhnya kembali mencemarkan nama baiknya hingga
ia ditangkap lagi dan dicopot dari jabatan kementrian.
Ia mencoba mendekati Ibnu Raiq, perdana menteri di Baghdad,
seorang pejabat dibawah khalifah yang naif itu. Namun, khalifah tidak
bisa menutup-nutupi rahasianya bahkan membusukkan namanya di hadapan
Ibnu Raiq. Maka ditangkaplah Ibnu Muqlah dan dipotong tangannya.
Akhirnya al-Radi pun menyesal atas sikapnya sendiri dan menyuruh para dokter untuk mengobati luka tangannya yang buntung hingga pulih.Dalam keadaan seperti itu, Ibnu Muqlah menggoreskan pena dengan tangan kanannya. Tradisi menulis dan akademis terus dijalaninya sebagaimana biasa. Namun, Ibnu Raiq sadar akan sikap baiknya, bahwa tindakan welas asihnya itu membuat Ibnu Muqlah dapat menyaingi kekuasaannya kembali, ketika Ibnu Muqlah memohon kepadanya untuk duduk kembali di kementrian.
Kesadisannya kumat lagi, dengan memerintahkan kepada anak
buahnya untuk menangkap Ibnu Muqlah, memotong lidahnya, dan
memenjarakannya hingga akhir hayat pada tahun 328 H/ 940 M. Ia
dikuburkan di rumah sultan.
Mendengar kejadian itu, keluarganya menuntut pada kerajaan agar jenazahnya dikembalikan kepada keluarga, dan permintaan itu dipenuhi. Segala kepedihan Ibnu Muqlah telah digoreskan dalam tiap-tiap bait syairnya, dengan artinya sebagai berikut:
Dengan pengorbanan yang besar, Ibnu Muqlah berhasil
menggoreskan sejarah tertinggi yang besar nan suci yang tak pernah
hilang dari peradaban manusia. Khususnya peradaban tulis-menulis
kaligrafi di kalangan kaligrafer dunia. Kita pantas mendoakan beliau
sebelum mulai belajar kaligrafi.
Keberhasilan Ibnu Muqlah dalam merumuskan desain kursif
kaligrafi murni diakui sangat bagus secara teoritis bahkan praktek, pada
masa itu hingga sekarang. Hingga, dalam waktu singkat mampu menggeser
popularitas khat Kufi yang telah lama mengakar dalam peradaban masa itu
(sebelum 328 H/ 940 M).
Tidak itu saja, demi menjaga kesempurnaan dan elektibilitas karya kaligrafi, seorang kaligrafer hendaknya memenuhi 4 husnul wadh’i (susunan yang baik) dan 5 kriteria penulisan yang sempurna sebagai dasar penulisan kaidah kaligrafi.
RUMUS IBNU MUQLAH TENTANG DASAR KALIGRAFI ISLAM
Perpaduan antara kebenaran kaidah imlaiyah, kaidah khattiyah dan temperamen atau etika penggarapan yang terjaga adalah suatu keindahan tersendiri. Hal ini tentu bagi sang penulis kaligrafi akan mendapatkan kepuasan lebih. Oleh karena itu, perlu sekali membuka kembali rumus-rumus Ibnu Muqlah tentang dasar penulisan kaligrafi Islam pada awal-awal pertumbuhan dan perkembangannya.
Ibnu Muqlah telah berhasil menyempurnakan suatu pekerjaan
besar dan suci, yang tak seorang kaligrafer sebelum ataupun setelahnya
sebanding dengan rintisannya, bahkan dalam hal ini dialah yang dikenal
menduduki tempat tertinggi dalam literatur sejarah kaligrafi Islam.
Dapat dipastikan, sejak abad ke-9 M model tulisan cursif (model tulisan miring dan lentur) dipakai secara merata dimana-mana, dengan segala kekurang-elokannya, jika dibandingkan dengan Kufi yang sudah sempurna menurut ukuran waktu itu.
Atas dasar tersebut, Ibnu Muqlah menempatkan dirinya pada
tugas pendesainan tulisan cursif yang pada waktu bersamaan mebjadi indah
atau menjadi sebuah keseimbangan sempurna. Dengan demikian, secara
efektif, tulisan cursif sanggup bersaing dengan tulisan Kufi yang
cenderung angular dan kaku.
Menurut Ibnu Muqlah, bentuk tulisan baru dianggap benar jika memiliki lima kriteria sebagai berikut :
a. Tawfiyah (Tepat), yaitu secara huruf harus mendapatkan usapan sesuai dengan bagiannya, dari lengkungan, kekejuran dan bengkokan
b. Itman (Tuntas), yaitu setiap huruf harus diberi ukuran yang utuh, dari panjang, pendek, tipis dan tebal.
c. Ikmal (Sempurna), yaitu setiap usapan garis harus sesuai dengan kecantikan bentuk yang wajar, dalam gaya tegak, terlentang, memutar dan melengkung.
d. Isyba’ (Padat), yaitu setiap usapan garis harus mendapat sentuhan pas dari mata pena sehingga terbentuk suatu keserasian. Dengan demikian tidak akan terjadi ketimpangan, satu bagian tampak terlalu tipis atau terlalu tebal dari bagian lainnya, kecuali pada wilayah-wilayah sentuhan yang menghendaki demikian.
e. Irsal (Lancar), yaitu menggoreskan kalam secara cepat-tepat, tidak tersandung atau tertahan sehingga menyusahkan, atau mogok di tengah-tengah sehingga menimbulkan getaran tangan yang kelanjutannya merusak tulisan yang sedang digoreskan.
a. Tawfiyah (Tepat), yaitu secara huruf harus mendapatkan usapan sesuai dengan bagiannya, dari lengkungan, kekejuran dan bengkokan
b. Itman (Tuntas), yaitu setiap huruf harus diberi ukuran yang utuh, dari panjang, pendek, tipis dan tebal.
c. Ikmal (Sempurna), yaitu setiap usapan garis harus sesuai dengan kecantikan bentuk yang wajar, dalam gaya tegak, terlentang, memutar dan melengkung.
d. Isyba’ (Padat), yaitu setiap usapan garis harus mendapat sentuhan pas dari mata pena sehingga terbentuk suatu keserasian. Dengan demikian tidak akan terjadi ketimpangan, satu bagian tampak terlalu tipis atau terlalu tebal dari bagian lainnya, kecuali pada wilayah-wilayah sentuhan yang menghendaki demikian.
e. Irsal (Lancar), yaitu menggoreskan kalam secara cepat-tepat, tidak tersandung atau tertahan sehingga menyusahkan, atau mogok di tengah-tengah sehingga menimbulkan getaran tangan yang kelanjutannya merusak tulisan yang sedang digoreskan.
Adapun mengenao tata letak yang baik (khusnul wad’i), menurut Ibnu Muqlah menghendaki perbaikan empat hal sebagai berikut :
a. Tarsif (Rapat Teratur), yaitu tepatnya sambungan satu huruf dengan huruf lainnya.
b. Ta’lif (Tersusun), yaitu menghimpun setiap huruf terpisah (tunggal) dengan lainnya dalam bentuk wajar namun indah.
c. Tastir (Selaras, Serasi), yaitu menghubungkan suatu kata dengan lainnya sehingga membentuk garisan yang selaras letaknya bagaikan mistar (penggaris).
d. Tansil (Bagaikan pedang atau lembing), yaitu meletakkan sapuan-sapuan garis memanjang yang indah pada huruf sambung.
Untuk menunjukkan ukuran bagaimana yang seharusnya dibentuk
dalam suatu tulisan, Ibnu Muqlah meletakkan suatu sistem yang luas dan
sempurna pada dasar kaidah penulisan kaligrafi. Diciptakannya sebuah
titik belah ketupat sebagai unit ukuran. Kemudian mendesain kembali
bentuk-bentuk ukuran (geometrikal) tulisan sambil menentukan model dan
ukuran menurut besarnya dengan memakai titik belah ketupat, standar alif
dan standar lingkaran. Tiga poin inilah, yaitu titik belah ketupat,
alif vertikal, dan lingkaran yang dikemukakan oleh Ibnu Muqlah sebagai
rumus-rumus dasar pengukuran bagi penulisan setiap huruf.
Untuk sistem ini, titik belah ketupat atau jajaran genjang
dibentuk dengan menekan pena bergaris sudut-menyudut diatas kertas atau
bahan tulisan lainnya. Dengan demikian, potongan, titik-titik mempunyai
sisi sama panjang dan lebarnya, seluas mata pena yang digoreskan.
Standar alif digoreskan dalam bentuk vertikal, dengan ukuran sejumlah khusus titik belah ketupat yang ditemukan mulai dari ujung atas ke ujung lain di bawahnya dan sejumlah titik-titik tersebut pusparagam sesuai dengan bentuknya, dari lima sampai tujuh buah. Standar lingkaran memiliki radius atau jarak sama dengan alif. Kedua standar alif dan standar lingkaran tersebut digunakan juga sebagai dasar bentuk pengukuran atau geometri.
Adalah di luar wilayah studi ini untuk menggambarkan
keseluruhan sistem geometrikal dan matematika Ibnu Muqlah selanjutnya:
selain untuk dikatakan bahwa keberhasilannya yang menakjubkan dalam
peletakan dasar-dasar kaligrafi yang benar dan mendalam sesuai dengan
rumus-rumus yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, mengikuti
disiplin yang luar biasa ketatnya dan berhubungan dengan tiga unit
standar, yaitu titik belah ketupat atau jajaran genjang, alif dan
lingkaran.
Metode penulisan ini disebut al-Khat al-Mansub (Kaligrafi berstandar), dan ini menunjukkan pada pemakaiannya yang segera lemuas. Ibnu Muqlah bereputasi ke arah perintisan jalan pemakaian “enam besar” tulisan cursif yang disebutkan, seindah seperti tulisan lainnya.
Buah tangannya yang dipercaya masih ada sampai sekarang
hanyalah yang tersimpan utuh di Museum Irak, Baghdad. Tulisan yang
terdiri dari sembilan halaman ini, yang disebut Naskhi dan Tsulus,
ditilik dari caya dan gaya penulisannya dianggap benar-benar berasal
dari tangan Ibnu Muqlah sendiri. Sumber lainnya menyebutkan bahwa di
Andalusia ada sebuah mushaf al-Qur’an yang sangat masyhur, sebagaimana
dikatakan oleh Ibnu Khalil al-Saquny bahwa di salah satu masjid dari
sekian banyak masjid Sevilla didapat mushaf juz IV edngan huruf-huruf
tulisan yang mirip dengan huruf-huruf Kufi. Dikuatkan oleh Abu al-Hasan
ibn Tufail bahwa mushaf itu ditulis dengan menggunakan khat Ibnu Muqlah.
Sumber tersebut berasal dari Majalah Ma’had al-Makhtutat al-‘Arabiyah
juz awal, halaman 95, tahun 1377 H, dalam suatu ulasan tentang
perpustakaan dan kitab-kitab di Spanyol Islam.
Masih dari sumber yang sama, halaman 32 dalam judul
al-Makhtutat al-‘Arabiyah fi Afganistan ulasan PSL de Beaurecueil
mengenai berkas-berkas tulisan di empat perpustakaan, yaitu al-Mulk,
Riasah al-Matbu’at, Wazarah al-Ma’arif al-Afganiyah dan Mathaf Herat,
disebutkan bahwa dari sejumlah kitab-kitab langka di perpustakaan yang
disebutkan terakhir ada sebuah mushaf yang ditulis oleh tangan Muhammad
IbnuMuqlah al-Wazir. Ia mengatakan”... Khat Kufinya,” Ibnu Muqlah
meninggal tahun 328 H. Ibnu Khallikan menyebutkan, di sana ada seorang
kaligrafer dengan panggilan al-Ahdab al-Muzawwar yang suka menulis
(meniru) khat setiap kaligrafer, dan tidak diragukan lagi bahwa salah
satu tulisan yang ditiru tersebut adalah khatnya Ibnu Muqlah. Orang itu
meninggal tahun 370 H.
Ibnu Muqlah lebih banyak menjuruskan penelitiannya pada
tulisan-tulisan cursif. Namun tidak mengherankan, seandainya sebagian
mushaf yang beliau tulis itu menggunakan khat Kufi – jika memang
penelitian terhadap kedua sumber terakhir tersebut bisa diuji
kebenarannya – tidak berarti Ibnu Muqlah hanya menguasai tulisan cursif.
Sebab kenyataannya tulisan yang sudah mapan pada waktu sebelum kreasi
Ibnu Muqlah itu dikemukakan hanyalah tulisan Kufi. Dapat dipastikan
bahwa sebelum itu Ibnu Muqlah menulis dengan khat Kufi, sebagaimana
dilakukan oleh para kaligrafer lainnya, dan bahwa hampir seluruh
kaligrafer menguasai setiap model tulisan yang berkembang pada masanya.
No comments: