Slider[Style1]

PSKQ dalam Liputan

Style2

Style3[OneLeft]

Style3[OneRight]

Style4

Style5

Style6

Style7

Style8

Style9

Buton Riau, Assiry gombal mukiyo, 22 Oktober 2015


Saya tidak berani menyebut bahwa asap tebal yang memeluk erat bahkan tak mau berpendar dari wilayah Sumatera selatan, Jambi, Riau, Kalteng dan sekitarnya sebagai musibah, atau petaka. Ini hanya soal dialektika kita terhadap Tuhan yang telah menciptakan asap itu sendiri.

Saya menyebutnya sebagai " bukti kemesraan" alam terhadap kita bangsa manusia. Masih kurangkah cinta dan kebaikan yang diberikan alam untuk kehidupan kita?

Bagaimana tidak mesra, lha wong hutan dibakar kok apapun yang dibakar tentu menimbulkan asap. Asap itu adalah "kado cinta" alam terhadap kita. Dan kado cinta dari alam adalah cerminan perilaku kita sendiri. Beratus tahun tanah dibajak, diracuni dengan gas industri, digorok dengan racun kimiawi, dihisap paksa minyak dan batubara, diperkosa hingga tak tersisa.

Lantas hari ini asap yang mengepul pekat bukan karena alam sedang murka dan menumpahkan kekesalannya. Boleh lah sedikit alam "bercanda" mengeluarkan asapnya. Itupun karena ulah kita bangsa manusia yang terus -menerus menebar kerusakan bagai menampar "muka bumi".

Kabut asap hadir sebagai fakta imajis-metaforis. Memasuki “kabut asap”, tidak selalu berarti memasuki sebuah kawasan hutan atau lahan gambut yang terbakar secara faktual. Sesungguhnya kita bangsa ini sudah ratusan tahun terkungkung oleh asap yang terus mengepul. Asap-asap itu bisa bernama korupsi, bisa juga kita sebut sebagai tata pemerintahan yang 'acakadul', DPR yang mustinya menjadi tempat menumpahkan segala aspirasi dan keluhan rakyat justru yang sering kita keluhkan dan tempat sumpah serapah atau asu-asuan bagi"wong cilik". Singkatnya apa saja yang semrawut dalam kehidupan ini bisa kita katakan sebagai kabut asap. Sesuatu yang samar, remang dan penuh kegamangan.

Orang bisa saja hanya masuk ke hutan atau pun lahan terbakar, melihat secara kasatmata bagaimana si jago merah melahap begitu cepat, tetapi ruang kabut asap itu tetap bertapal-batas baginya.

Itu berarti, memasuki ruang kabut asap adalah untuk sejenak meninggalkan dunia di luarnya, lalu “meleburkan diri” sekaligus berkeakraban dalam peristiwa yang dibingkai sebagai kebakaran hutan dan lahan, serta membiarkan diri menjelma ke dalam apa yang dilihat.

Hanya dengan cara itu, kita dibuat melihat sekaligus mendengar jeritan atau pun kegetiran dalam tafsir yang tidak tunggal.

Dalam makna lain, “kabut asap” menampung atau sebaliknya memberi ruang lebih luas berlangsungnya geliat pemikiran yang kritis, satiris, multidimensi, reflektif sekaligus mencerahkan, terutama seputar mitos (untuk menyebut perangkap) kemajuan yang terinstitusionalisasi dalam pembangunisme dewasa ini.

Bedanya, di sini kemajuan tidak lagi ditilik dalam pendekatan “ekonometrik” melainkan dalam perspektif yang katakanlah masuk wilayah social and humanities, sebuah kategori yang bisa kita jumpai dalam pemikiran-pemikiran berdimensi kebudayaan.

Tanpa bermaksud menafikan akibat yang ditimbulkan kabut asap, (untuk menyebut sekadar kulit luar), seperti ISPU, ISPA, petani gagal panen, sekolah libur, penerbangan lumpuh sehingga saya pun harus naik kapal di Buton Riau untuk menuju Batam membutuhkan waktu 5 jam baru bisa menuju semarang. Setidaknya untuk sampai kudus jawa tengah saya membutuhkan waktu 8 jam.

Singkat kata hal ini menjadi dangkal dan tidak memberikan bias pada makna dan hikmah bagi kita jika hanya memandang secara parsial melalui ekonomi, kesehatan, politik, dan khususnya, kerja birokrasi.

Bertolak dari hal itu, muncul sebuah pertanyaan (kalau bukan kegelisahan), masihkah kita terus tumbuh hanya dengan menggali banyak batu bara, menanam ribuan hektar kelapa sawit, mengeruk tambang di kali-kali, dan menghisap gas dan minyak di perut bumi yang semakin keriput.

Sementara di saat bersamaan, pencemaran lingkungan hidup akibat eksploitasi sumber daya alam telah menjadi sumber bencana bagi kita saat ini.

Ini bukan karena Tuhan tidak sayang kepada kita dengan adanya kabut asab yang oleh Pemerintahpun "ndase ngelu" mengatasi soal kecil itu.

Saya yakin Pak Jokowi hampir saja "gulung -gulung "karena mentok cari solusinya. Mbuk ya jangan terlalu memberi beban berat kepada Pak Jokowi, beliau sudah kurus kalau terlalu kita bebani nanti habis dagingnya tnggal tulang.

Hanya karena keserakahan beberapa gelintir manusia, efek yang ditimbulkan bagi kehidupan dan ekosistem lingkungan hidup menjadi terkoyak.

Mahatma Gandi pun pernah berujar " Jika bumi ini diciptakan untuk mencukupi kebutuhan hidup manusia niscaya cukuplah sudah, tapi jika bumi ini diciptakan untuk memenuhi hasrat dan ambisi manusia maka tidak akan pernah bisa bumi mencukupkannya".

About Elsya Vera Indraswari

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments:

Post a Comment

Terimakasih telah berkunjung di Pesantren Seni Kaligrafi Al Quran, silahkan meninggalkan pesan, terima kasih


Top