Slider[Style1]

PSKQ dalam Liputan

Style2

Style3[OneLeft]

Style3[OneRight]

Style4

Style5

Style6

Style7

Style8

Style9

Assiry gombal mukiyo, 14 Juli 2015


Pemahaman dangkal kita yang gila harta tentang lalilatul qadar itu ya kalau tiba-tiba ada sekeranjang uang di rumah yang entah darimana datangnya stelah berdoa. Itu lho lailatul qadar.

Secera essensi lailatul qadar itu bisa terjadi kapan saja, dan pada malam apa saja. Karena lailatul qadar adalah sebuah titik yang dimensional Allah, yang dimana ketika manusia berusaha dengan sekuat tenaga untuk mendekat kepada titik tersebut, maka ia akan qabul, artinya Allah akan mengabulkan apa yang ia inginkan. Tidak harus "melek’an" semalaman untuk mendapatkannya. Tetapi hatimulah yang harus selalu melek kepada Allah.

Seringkali masalah kapan lailatul Qadar itu diperdebatkan.Bagi saya yang penting adalah beribadah (dalam arti sempit maupun luas) kapan saja, dimana saja dan kepada siapa saja berbuat baik tanpa melihat apapun baik agama, ras, warna kulit dan perbedaan budaya.

Saya sedikit berpikir nakal (melihat efek kabar tentang lailatul qadar dari para da'i di TV, ternyata membuat orang beribadah hanya pada waktu -waktu tertentu. Lha wong ibadah ko pilih-pilih waktu) hanya karena menduga -duga bahwa malam ini, dan malam itu adalah prediksi datangnya lailatul qadar. Celakanya dikhawatirkan Ibadah kita menjadi pamrih karena lailatul qadar bukan karena Allah. Padahal konteksny jelas carilah ridho Allah tentu Allah me-lailatul Qadarkan hidup kita, mensurgakan hidup kita. Mudah bukan?
Tapi kalau lailatul qadar yang kita kejar itu belum tentu kita dapat ridho Allah apalagi ko dapat Surga Allah.

Lailatul Qadar tidak perlu dicari. Tapi carilah rahmat dan ridhoNya dengan menyiapkan diri untuk mensucikan diri. Makanya kenapa peristiwa malam isra mi'rajnya kanjeng Nabi itu dalam Quran Surat Bani Israil ayat pertama berbunyi “Subhannaladzi asro bi’abdihi artinya maha suci Allah yang telah memperjalankan hambaNya di malam hari.

Apakah dalil perjalanan di malam hari itu hanya dikhususkan untuk peristiwa Isra’ Mi’raj Kanjeng Nabi saja? Dalam suatu hadist qudsi pernah diriwayatkan bahwasanya sesungguhnya setiap muslim yang taat pada saat menjalani sholat lima waktu berarti sedang menjalani isra’ mi’rajnya kepada Allah, dalam pengertian khusus tentunya. Apakah dengan demikian dapatlah dikatakan setiap muslim juga menjalani perjalanan di malam hari di setiap keseharian hidupnya? Hidup adalah sebuah perjalanan di malam hari.

Maka teramat logis juga di penghujung Surat Al Qodar, Allah menitahkan“Salaamun hiya hatta math’lail fajr”. Semoga engkau selamat hingga menjelang fajar. Bukankah ini mengindikasikan bahwa Tuhanpun bahkan mendoakan hambanya agar dalam menjalani perjalanan malamnya dapat melewatinya dengan selamat hingga terbitnya fajar menuju kehidupan di siang hari. Artinya ketika Manusia melewati kubangan dan dosa yang menggelapi hidupnya niscaya Tuhan selalu merahmati dengan cahaya hidayah agar mampu dan sanggup melewati malam mrnuju fajar ( hijrah ilallah) menuju terang benderang cahayaNya( kesucian).

Pertanyaannya, Apakah kita bersedia menerima lailatul Qadar itu sehingga sanggup meninggalkan segala nafsu yang me-lail-kan (menggelapkan) jiwa kita.

Sesungguhnya yang sepenuhnya harus kita urus dalam ‘menyambut’ Lailatul Qadar adalah Reciever Spiritual kita sendiri untuk mungkin menerima Lailatul-Qadar. Kesiapan Diri kita. Kebersihan Jiwa kita. Kejernihan Ruh kita. Kepenuhan Iman kita. Totalitas iman dan kepasrahan kita. Itulah yang harus kita maksimalkan.

Lail yang berarti malam gelap atau sepi, dimana seorang hamba bisa menyepikan hatinya, mensunyikan hatinya dari pengaruh-pengaruh makhluk sehingga hatinya benar-benar bersih hanya memandang Sang Pencipta, maka saat itulah hakikatnya lailatul qodar. Karena dia lebur kedalam kemuliaanNYA. Saat kegelapan hatinya dicahayai oleh Nur Sang Hyang Perkasa.

Kalau lampumu tak bersumbu dan tak berminyak, jangan bayangkan api. Kalau gelasmu retak, jangan mimpi menuangkan minuman. Kalau mentalmu rapuh, jangan rindukan rasukan tenaga dalam. Kalau kaca jiwamu masih kumuh oleh kotoran-kotoran dunia, jangan minta cahaya akan memancarkan dengan jernih atasmu.

Jadi, bertapalah dengan puasamu, bersunyilah dengan i’tikafmu, mengendaplah dengan lapar dan hausmu. Membeninglah dengan rukuk dan sujudmu. Puasa mengantarkanmu sesungguhnya menjauhkanmu dari kefanaan dunia, sehingga engkau mendekat ke alam spiritualitas. Puasa menanggalkan barang-barang pemberat pundak, nafsu-nafsu pengotor kalbu yang bertumpuk -tumpuk penuh syahwat, serta pemilikan-pemilikan penjerat kaki kesurgaanmu untuk kita lailatul Qadarkan. Sehingga Para Malaikat diturunkan dan bersemayam ikut menuntun kalbu dan langkah kita menuju Tuhan dengan ridha dan di ridhoi ( radhiyyatan mardhiyyatan).

Dengan demikian derajat hidup kita disisi Allah lebih berharga dan lebih baik dari seribu bulan bahkan jutaan bulan sekalipun.

About Assiry Art

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments:

Post a Comment

Terimakasih telah berkunjung di Pesantren Seni Kaligrafi Al Quran, silahkan meninggalkan pesan, terima kasih


Top