Assiry gombal mukiyo, 12 Januari 2015
Dalam sejarah Islam, masa kekhalifahan yang sebenarnya itu cuma ada di masa khulafaurrasyidin ( Abu Bakar, Umar, Ustman, Ali). Setelah nabi Muhammad meninggal, sesepuh umat Islam Madinah memilih secara musyawarah Abu Bakar sebagai khalifah pertama. Saat itu pendukung Ali bin Abi Thalib sebenarnya tidak puas, karena mereka beranggapan bahwa Ali menantu nabi Muhammad lah yang berhak memimpin umat. Namun Ali akhirnya menerima Abu Bakar sebagai khalifah, karena bagi Ali persatuan umat lebih penting daripada sekedar jabatan khalifah.
Ali tidak menerima kepemimpinan Abu Bakar hingga Fatimah wafat atau enam bulan setelah Abu Bakar declare sebagai khalifah. Alasan Ali benar, untuk persatuan umat. Selain itu, bahwa terpecahnya Sunni-Syiah itu terjadi setelah Nabi wafat bukan setelah fitnah pertama terjadi. Dari versi syiah, dan juga dimuat dalam berbagai tradisi hadits sunni, Nabi mengangkat Ali sebagai "mawla" atau pemimpin di Ghadir Khumm. Sumber Sunni mengakui bahwa Abu Bakr, Umar dan Utsman berada disana saat Nabi mengangkat tangan Ali. Namun setelah Nabi wafat, justru diadakan musyawarah, awalnya oleh kaum Anshar, lalu diikuti oleh Abu bakar, Umar dan perwakilan Muhajirin lainnya. Sahabat Nabi yang "keukeuh" Ali yang berhak menjadi khalifah diantaranya salman al farisi, ammar ibn yasir, abu dhaar dan al miqdad ibn al aswad.
Setelah Abu Bakar meninggal, musyawarah memutuskan Umar bin Khatab yang menjadi khalifah meskipun Umar diusulkan oleh Abu Bakar saat masih hidup. Umar adalah khalifah yang tegas dan ditakuti, namun hidupnya juga sangat sederhana seperti Abu Bakar. Banyak administrasi pemerintahan jenis baru yang dilakukan Umar termasuk konsep welfare state dimana kas negara (baitul maal) digunakan untuk membantu orang-orang miskin dan terpinggirkan. Umar dibunuh oleh orang Iran yang tidak rela daerahnya dikuasai oleh tentara Muslim, karena Iran dimasa itu memang bukan wilayah muslim dan mayoritas beragama Zoroaster, Mani, dsb.
Setelah Umar terbunuh, Utsman bin Affan dijadikan sebagai khalifah berikutnya, Utsman adalah khalifah yang kaya, sehingga hidupnya tidak sesederhana khalifah sebelumnya. Bahkan dimasa pemerintahannya, mulai dibangun istana untuk khalifah di Madinah walaupun bukan dibayar negara tapi dari uangnya sendiri. Di masa Utsman, banyak wilayah muslim yang memberontak, termasuk diantaranya Mesir. Dari pemberontak Mesir yang datang menyerang Madinah inilah akhirnya Utsman terbunuh.
Namun bukan karena Utsman kalah kekuatan, tetapi karena dia tidak mau menyerang para pemberontak itu karena dianggapnya akan memecah persatuan umat. Kelemahan Utsman yang terutama adalah nepotisme, banyak kepemimpinan diserahkan kepada klan nya yaitu Bani Umayyah, yang pada saatnya nanti akan meracun cucu Nabi Muhammad Hasan dan memenggal kepala Husein di karbala.
Setelah Utsman terbunuh, musyawarah tetua umat Islam termasuk para pemberontak memilih Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah selanjutnya. Pada awalnya Ali tidak mau menjadi khalifah, karena dia tidak setuju atas beberapa peraturan khalifah sebelumnya. Namun akhirnya dia menerima untuk menjadi Khalifah. Di masa pemerintahan Ali, Fitnah pertama terjadi, perpecahan besar umat Islam yang akhirnya menjadi Sunni, Syiah, dan Ibadi(Khawarij). Orang-orang Sunni pada dasarnya adalah yang setuju atas pemerintahan Muawiyah, alias pemberontak atas khalifah Ali, walaupun di masa-masa selanjutnya semua orang yang netral pun menjadi Sunni. Kelompok pecahan kedua adalah Syiah, dimana mereka hanya menganggap Ali yang pantas memimpin umat Islam dan juga keturunannya karena mereka punya darah nabi Muhammad. Dan pecahan ketiga adalah Ibadi (Khawarij) yang menentang Sunni dan Syiah dan menganggap keduanya kafir dan pantas dibunuh. Dan akhirnya kaum Khawarij inilah yang akhirnya bisa membunuh Ali bin Abi Thalib, dimana kemudian kaum Sunni dibawah Muawiyah mengambil alih kekhalifahan dan memindahkan pusat pemerintahan menjauh dari Madinah.
Setelah periode Khulafaurrasyidin ini, sebenarnya selesai sudah jaman Khalifah, karena pemilihan pemimpin sama sekali tidak melalui musyawarah , namun berdasarkan keturunan. Nabi Muhammad tidak pernah menganjurkan bahwa keturunannya menjadi pemimpin, oleh karena itu seluruh khalifah Islam setelah Khulafaurrasyidin dari dinasti Umayyah, Abbasiyah, sampai Utsmaniyah termasuk Mughal dan raja-raja Indonesia muslim sebenarnya sama sekali bukan khalifah, tapi raja-raja yang kebetulan beragama Islam.
Tentunya jangan berharap bahwa sultan-sultan muslim akan berbuat seperti khulafaurrasyidin, dan jangan pula berharap akan ada daulah islamiyah di masa kini yang sering digembar -gemborkan beberapa kelompok minoritas di Indonesia. Karena memang sejak dahulu kala Islam hanya dijadikan alasan untuk berkuasa, ulama-ulama adalah gedibal raja yang memakai ayat-ayat dan memalsu hadits untuk membenarkan sang raja. Bahkan di masa Khulafaurrasyidin pun perpecahan besar sudah mulai ada dan akhirnya terwarisi oleh umat Islam saat ini yang masih selalu ribut dan bunuh-bunuhan antara Sunni dan Syiah, dimana kaum Khawarij terpinggirkan dan hanya ada di kerajaan Oman.
Khulafaurrasyidin adalah para pemimpin yang sangat jujur dan sederhana, dan pemilihan berdasarkan musyawarah serta keengganan mereka untuk berkuasa hanya untuk sekedar berkuasa dan menumpuk harta itulah yang patut dicontoh. Ini sangat jauh berbeda dengan raja-raja Islam dan pemimpin Islam setelah itu sampai masa modern ini sangatlah terlihat entah meskipun sekarang berubah menjadi partai islam. Sejarah Khulafaurasyidin adalah peringatan buat umat Islam sekarang untuk berhati-hati dengan kekuasaan, dan apalagi para pemimpin politik yang membawa nama agama. Dan sejarah juga membuktikan, negara yang berdasarkan agama akan sangat mudah terpecah karena interpretasi teks agama yang bisa sangat berbeda-beda. Jadi warisan perpecahan yang sudah ribuan tahun itu harus diakhiri, dan umat Islam perlu menerima format baru kepemimpinan yang demokratis dimana negara berdasarkan kesetaraan atas semua agama dan golongan tanpa ada perbedaan sedikitpun. NKRI adalah harga mati.
Dalam sejarah Islam, masa kekhalifahan yang sebenarnya itu cuma ada di masa khulafaurrasyidin ( Abu Bakar, Umar, Ustman, Ali). Setelah nabi Muhammad meninggal, sesepuh umat Islam Madinah memilih secara musyawarah Abu Bakar sebagai khalifah pertama. Saat itu pendukung Ali bin Abi Thalib sebenarnya tidak puas, karena mereka beranggapan bahwa Ali menantu nabi Muhammad lah yang berhak memimpin umat. Namun Ali akhirnya menerima Abu Bakar sebagai khalifah, karena bagi Ali persatuan umat lebih penting daripada sekedar jabatan khalifah.
Ali tidak menerima kepemimpinan Abu Bakar hingga Fatimah wafat atau enam bulan setelah Abu Bakar declare sebagai khalifah. Alasan Ali benar, untuk persatuan umat. Selain itu, bahwa terpecahnya Sunni-Syiah itu terjadi setelah Nabi wafat bukan setelah fitnah pertama terjadi. Dari versi syiah, dan juga dimuat dalam berbagai tradisi hadits sunni, Nabi mengangkat Ali sebagai "mawla" atau pemimpin di Ghadir Khumm. Sumber Sunni mengakui bahwa Abu Bakr, Umar dan Utsman berada disana saat Nabi mengangkat tangan Ali. Namun setelah Nabi wafat, justru diadakan musyawarah, awalnya oleh kaum Anshar, lalu diikuti oleh Abu bakar, Umar dan perwakilan Muhajirin lainnya. Sahabat Nabi yang "keukeuh" Ali yang berhak menjadi khalifah diantaranya salman al farisi, ammar ibn yasir, abu dhaar dan al miqdad ibn al aswad.
Setelah Abu Bakar meninggal, musyawarah memutuskan Umar bin Khatab yang menjadi khalifah meskipun Umar diusulkan oleh Abu Bakar saat masih hidup. Umar adalah khalifah yang tegas dan ditakuti, namun hidupnya juga sangat sederhana seperti Abu Bakar. Banyak administrasi pemerintahan jenis baru yang dilakukan Umar termasuk konsep welfare state dimana kas negara (baitul maal) digunakan untuk membantu orang-orang miskin dan terpinggirkan. Umar dibunuh oleh orang Iran yang tidak rela daerahnya dikuasai oleh tentara Muslim, karena Iran dimasa itu memang bukan wilayah muslim dan mayoritas beragama Zoroaster, Mani, dsb.
Setelah Umar terbunuh, Utsman bin Affan dijadikan sebagai khalifah berikutnya, Utsman adalah khalifah yang kaya, sehingga hidupnya tidak sesederhana khalifah sebelumnya. Bahkan dimasa pemerintahannya, mulai dibangun istana untuk khalifah di Madinah walaupun bukan dibayar negara tapi dari uangnya sendiri. Di masa Utsman, banyak wilayah muslim yang memberontak, termasuk diantaranya Mesir. Dari pemberontak Mesir yang datang menyerang Madinah inilah akhirnya Utsman terbunuh.
Namun bukan karena Utsman kalah kekuatan, tetapi karena dia tidak mau menyerang para pemberontak itu karena dianggapnya akan memecah persatuan umat. Kelemahan Utsman yang terutama adalah nepotisme, banyak kepemimpinan diserahkan kepada klan nya yaitu Bani Umayyah, yang pada saatnya nanti akan meracun cucu Nabi Muhammad Hasan dan memenggal kepala Husein di karbala.
Setelah Utsman terbunuh, musyawarah tetua umat Islam termasuk para pemberontak memilih Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah selanjutnya. Pada awalnya Ali tidak mau menjadi khalifah, karena dia tidak setuju atas beberapa peraturan khalifah sebelumnya. Namun akhirnya dia menerima untuk menjadi Khalifah. Di masa pemerintahan Ali, Fitnah pertama terjadi, perpecahan besar umat Islam yang akhirnya menjadi Sunni, Syiah, dan Ibadi(Khawarij). Orang-orang Sunni pada dasarnya adalah yang setuju atas pemerintahan Muawiyah, alias pemberontak atas khalifah Ali, walaupun di masa-masa selanjutnya semua orang yang netral pun menjadi Sunni. Kelompok pecahan kedua adalah Syiah, dimana mereka hanya menganggap Ali yang pantas memimpin umat Islam dan juga keturunannya karena mereka punya darah nabi Muhammad. Dan pecahan ketiga adalah Ibadi (Khawarij) yang menentang Sunni dan Syiah dan menganggap keduanya kafir dan pantas dibunuh. Dan akhirnya kaum Khawarij inilah yang akhirnya bisa membunuh Ali bin Abi Thalib, dimana kemudian kaum Sunni dibawah Muawiyah mengambil alih kekhalifahan dan memindahkan pusat pemerintahan menjauh dari Madinah.
Setelah periode Khulafaurrasyidin ini, sebenarnya selesai sudah jaman Khalifah, karena pemilihan pemimpin sama sekali tidak melalui musyawarah , namun berdasarkan keturunan. Nabi Muhammad tidak pernah menganjurkan bahwa keturunannya menjadi pemimpin, oleh karena itu seluruh khalifah Islam setelah Khulafaurrasyidin dari dinasti Umayyah, Abbasiyah, sampai Utsmaniyah termasuk Mughal dan raja-raja Indonesia muslim sebenarnya sama sekali bukan khalifah, tapi raja-raja yang kebetulan beragama Islam.
Tentunya jangan berharap bahwa sultan-sultan muslim akan berbuat seperti khulafaurrasyidin, dan jangan pula berharap akan ada daulah islamiyah di masa kini yang sering digembar -gemborkan beberapa kelompok minoritas di Indonesia. Karena memang sejak dahulu kala Islam hanya dijadikan alasan untuk berkuasa, ulama-ulama adalah gedibal raja yang memakai ayat-ayat dan memalsu hadits untuk membenarkan sang raja. Bahkan di masa Khulafaurrasyidin pun perpecahan besar sudah mulai ada dan akhirnya terwarisi oleh umat Islam saat ini yang masih selalu ribut dan bunuh-bunuhan antara Sunni dan Syiah, dimana kaum Khawarij terpinggirkan dan hanya ada di kerajaan Oman.
Khulafaurrasyidin adalah para pemimpin yang sangat jujur dan sederhana, dan pemilihan berdasarkan musyawarah serta keengganan mereka untuk berkuasa hanya untuk sekedar berkuasa dan menumpuk harta itulah yang patut dicontoh. Ini sangat jauh berbeda dengan raja-raja Islam dan pemimpin Islam setelah itu sampai masa modern ini sangatlah terlihat entah meskipun sekarang berubah menjadi partai islam. Sejarah Khulafaurasyidin adalah peringatan buat umat Islam sekarang untuk berhati-hati dengan kekuasaan, dan apalagi para pemimpin politik yang membawa nama agama. Dan sejarah juga membuktikan, negara yang berdasarkan agama akan sangat mudah terpecah karena interpretasi teks agama yang bisa sangat berbeda-beda. Jadi warisan perpecahan yang sudah ribuan tahun itu harus diakhiri, dan umat Islam perlu menerima format baru kepemimpinan yang demokratis dimana negara berdasarkan kesetaraan atas semua agama dan golongan tanpa ada perbedaan sedikitpun. NKRI adalah harga mati.
No comments: