Assiry gombal Mukiyo, 18 Desember 2014
Suatu malam, tepatnya malam Jumat kliwon beberapa bulan yang lalu saat perjalanan pulang ke rumah, saya bertemu dengan seorang Kakek yang compang -camping dan kumal ( nggembel) di pinggiran sudut jalan. Tiba -tiba dia memanggil saya dan menyuruh saya duduk didekatny, dengan langsung mengenalkan namanya sebagai Mbah Parjo. Saya sedikit curiga karena saya tidak mengenalnya sama sekali. Dia malah tertawa terkekeh -kekeh sambil sesekali membetulkan sarungnya yang mlorot. Seolah -olah dia tau kegundahan saya. Dia mulai berbicara. Berbicara apa saja. Saya hanya mendengarkan apapun kata -katanya yang dalam meskipun sesekali menusuk kalbu.
Pertama -tama dia menyebut soal ibadah itu tidak ada bedanya dengan muamalah. Dia berkata lirih namun sarat makna. "Dalam Islam, belajar fisika itu juga ibadah malah tingkatannya lebih tinggi daripada sholat".
Saya kaget dan bertanya kenapa dia ngomong seperti itu. Dia menjawab " Sampean mempelajari ilmu alam misalnya maka dari ilmu itu sampean bisa menemukan keagungan dan kebesaran Allah yang sesungguhnya. Disana Saintis itu jauh lebh mulia dari ahli sholat dan puasa". Begitu terangnya.
Saya masih terus mendengarkan apa yang dikatakn kakek tua itu.Dia juga menegaskan dengan lirih sambil berbisik pelan "Al Quran yang membahas tauhid dan ritual cuma 3%, sebagian besar di ayat2 makkiyah, selebihnya yang 97% adalah tata negara dan muamalah yang lebih banyak ayat 2 tersebut turun di Madinah (ayat madaniyah). Makanya kalau belajar Islam jangan cuma kulitnya saja, akhirnya ketipu Ustadz abal-abal".
Saya tersentak kaget dengan pernyataannya itu. "Apa maksudnya itu Ustaz Abal -abal mbah ?" Tanyaku.
Dengan nada agak sedikit keras dia makin berapi -api. "Ustaz abal -abal itu ya seperti "Ujub Manjur !!!" katanya kalo mau kaya sedekah tapi sedekahnya sama dia. Lha wong sedekah ko ingin jadi kaya. Sedekah itu seperti buang air. Jadi jangn malah meminta Tuhan agar menjadikan sampean lebih kaya dari jalan sedekah. Terus katanya lagi kalo punya hutang biar lunas tanpa susah payah, orang disuruh baca sebanyak- banyaknya bacaan disujud terakhir saat Sholat, padahal dia sendiri masuk penjara 2x karena hutang!!!".
Haduh saya makin bingung seperti linglung saja mendengar omongan Mbah Parjo. Hanya bisa diam bagai kerbau congok.
Dia terus saja mengalirkan kata -katanya meskipun terkadang sesekali tersengal nafasnya yang semakin berat."Belajarlah kepada Guru yang tepat seperti Gus Dur, Cak Nun, Cak Nur, Gus Mus, Kang Jalal, dsb, bukan sama Ustadz abal -abal.Karena Ustad yang abal-abal terkadang lebih memilih jadi penghasut daripada melakukan syiar Islami". Terangnya.
"Untung saya gigolo dan bukan Ustaz ya mbah. Karena memang sepertinya jadi Ustaz itu berat lho Mbah, heuheuhe. sahutku sambil tertawa."Sebentar Mbah!" Saya memotong... "Tadi Mbah Parjo ngomong kalau kita belajar Fisika misalnya kok bisa lebih tinggi daripada Sholat itu bagaimana?" Dia terkekeh-kekeh dan menjawab pertanyaan saya.
"Makanya Kalau mau belajar ilmu Agama harus berpikiran luas.Jangan cuma bisa membaca/mengartikan Kitab saja tetapi harus direnungkan".
Saya ngeyyel dengan perkataannya itu. "lho kata para kiyai bahwa untuk menjadi orang baik itu kudu mengutamakan dulu hubungan dengan Allah (sholat) baru hubungan baik sesama manusia (hablu minannas) karena dg sholat yg benar , khusuk dan Ikhlas akan lebih tenang jiwa dan ruh illahiyat yang dapat mencegah emosional dan perbuatan keji. Bagaimana itu Mbah ?" Tanyaku serius.Lagi -lagi dia tertawa ngakak bahkan ini lebih keras, sehingga beberapa orang yang dipinggir jalan banyak yang melihat kearah sumber suara itu.
"Beribadah itu justru yang terpenting adalah beribadah horizontal yaitu beribadah kepada sesama manusia dan lingkungan sekitarnya. Ibadah vertikal itu cuma latihan untuk mencerahkan ibadah horizontal. Ibadah vertikal yang biasanya diarahkan kepada Tuhan, bisa dilakukan dimana saja, di rumah maupun di tempat ibadah, dan negara wajib memberikan perlindungan kepada siapapun untuk bebas beribadah baik di rumah ataupun tempat ibadah tanpa diganggu sama sekali". Dia melanjutkan penjelasannya yang terkesan melawan logika saya.
"Percuma saja jika masjid, gereja, pura dan klentengmu di bangun megah-megah kalau pada akhirnya masyarakat sekitarnya tidak terbantu oleh bangunan-bangunan kosong itu. Tempat ibadah seharusnya adalah tempat ibadah horizontal, dan ibadah vertikal hanya sebagai pelengkap saja. Jadikanlah tempat ibadah baik masjid, gereja, pura, dan klenteng sebagai sentra membantu kaum miskin dan terlantar, sebagai tolok ukur keberagamaan sebuah bangsa.
Maka hanya dari situlah Islam bisa rahmatallilalamin, Kristen bisa bercinta kasih, Hindu bisa bertrihita karana, Buddha bisa berdharma".Saya mulai mengerti tentang apa yang Mbah Parjo omongkan malam itu. Meskipun saya sulit mencernanya hingga hari kini.
" Semua pasti melalui proses dan ada tingkatannya to Mbah?" Tanyaku lagi. "Lha wong Pelajaran SD saja tidak mungkin dimengerti anak TK, pelajaran anak SMP tidak mungkin dimengerti oleh anak SD dan seterusnya kecuali bagi yang mendapatkan Hidayah. Selebihnya harus melalui proses dan tingkatannya masing-masing, jadi biarkan mereka mencari serta mendapatkan prosesnya sendiri-sendiri agar tingkatannya bisa naik kan Mbah ?".
Mbah Parjo mendadak bangkit dari duduknya dan berlalu begitu saja meninggalkan saya sendirian digelapnya malam yang mulai sepi dan makin mencekam. tanpa mengucapkan sepatah kata apapun, Mbah Parjo terus saja tertawa terkekeh-kekeh dan menghilang ditikungan jalan. Tanpa saya sadari ternyata waktu menunjukkan pukul 12.00 tengah malam.Sampai sekarang saya masih bingung siapakah gerangan kakek itu. Apakah jelmaan Gerenduwo atau orang gila yang jadi gelandangan atau siapa ya?. Hambuhlah..........
Suatu malam, tepatnya malam Jumat kliwon beberapa bulan yang lalu saat perjalanan pulang ke rumah, saya bertemu dengan seorang Kakek yang compang -camping dan kumal ( nggembel) di pinggiran sudut jalan. Tiba -tiba dia memanggil saya dan menyuruh saya duduk didekatny, dengan langsung mengenalkan namanya sebagai Mbah Parjo. Saya sedikit curiga karena saya tidak mengenalnya sama sekali. Dia malah tertawa terkekeh -kekeh sambil sesekali membetulkan sarungnya yang mlorot. Seolah -olah dia tau kegundahan saya. Dia mulai berbicara. Berbicara apa saja. Saya hanya mendengarkan apapun kata -katanya yang dalam meskipun sesekali menusuk kalbu.
Pertama -tama dia menyebut soal ibadah itu tidak ada bedanya dengan muamalah. Dia berkata lirih namun sarat makna. "Dalam Islam, belajar fisika itu juga ibadah malah tingkatannya lebih tinggi daripada sholat".
Saya kaget dan bertanya kenapa dia ngomong seperti itu. Dia menjawab " Sampean mempelajari ilmu alam misalnya maka dari ilmu itu sampean bisa menemukan keagungan dan kebesaran Allah yang sesungguhnya. Disana Saintis itu jauh lebh mulia dari ahli sholat dan puasa". Begitu terangnya.
Saya masih terus mendengarkan apa yang dikatakn kakek tua itu.Dia juga menegaskan dengan lirih sambil berbisik pelan "Al Quran yang membahas tauhid dan ritual cuma 3%, sebagian besar di ayat2 makkiyah, selebihnya yang 97% adalah tata negara dan muamalah yang lebih banyak ayat 2 tersebut turun di Madinah (ayat madaniyah). Makanya kalau belajar Islam jangan cuma kulitnya saja, akhirnya ketipu Ustadz abal-abal".
Saya tersentak kaget dengan pernyataannya itu. "Apa maksudnya itu Ustaz Abal -abal mbah ?" Tanyaku.
Dengan nada agak sedikit keras dia makin berapi -api. "Ustaz abal -abal itu ya seperti "Ujub Manjur !!!" katanya kalo mau kaya sedekah tapi sedekahnya sama dia. Lha wong sedekah ko ingin jadi kaya. Sedekah itu seperti buang air. Jadi jangn malah meminta Tuhan agar menjadikan sampean lebih kaya dari jalan sedekah. Terus katanya lagi kalo punya hutang biar lunas tanpa susah payah, orang disuruh baca sebanyak- banyaknya bacaan disujud terakhir saat Sholat, padahal dia sendiri masuk penjara 2x karena hutang!!!".
Haduh saya makin bingung seperti linglung saja mendengar omongan Mbah Parjo. Hanya bisa diam bagai kerbau congok.
Dia terus saja mengalirkan kata -katanya meskipun terkadang sesekali tersengal nafasnya yang semakin berat."Belajarlah kepada Guru yang tepat seperti Gus Dur, Cak Nun, Cak Nur, Gus Mus, Kang Jalal, dsb, bukan sama Ustadz abal -abal.Karena Ustad yang abal-abal terkadang lebih memilih jadi penghasut daripada melakukan syiar Islami". Terangnya.
"Untung saya gigolo dan bukan Ustaz ya mbah. Karena memang sepertinya jadi Ustaz itu berat lho Mbah, heuheuhe. sahutku sambil tertawa."Sebentar Mbah!" Saya memotong... "Tadi Mbah Parjo ngomong kalau kita belajar Fisika misalnya kok bisa lebih tinggi daripada Sholat itu bagaimana?" Dia terkekeh-kekeh dan menjawab pertanyaan saya.
"Makanya Kalau mau belajar ilmu Agama harus berpikiran luas.Jangan cuma bisa membaca/mengartikan Kitab saja tetapi harus direnungkan".
Saya ngeyyel dengan perkataannya itu. "lho kata para kiyai bahwa untuk menjadi orang baik itu kudu mengutamakan dulu hubungan dengan Allah (sholat) baru hubungan baik sesama manusia (hablu minannas) karena dg sholat yg benar , khusuk dan Ikhlas akan lebih tenang jiwa dan ruh illahiyat yang dapat mencegah emosional dan perbuatan keji. Bagaimana itu Mbah ?" Tanyaku serius.Lagi -lagi dia tertawa ngakak bahkan ini lebih keras, sehingga beberapa orang yang dipinggir jalan banyak yang melihat kearah sumber suara itu.
"Beribadah itu justru yang terpenting adalah beribadah horizontal yaitu beribadah kepada sesama manusia dan lingkungan sekitarnya. Ibadah vertikal itu cuma latihan untuk mencerahkan ibadah horizontal. Ibadah vertikal yang biasanya diarahkan kepada Tuhan, bisa dilakukan dimana saja, di rumah maupun di tempat ibadah, dan negara wajib memberikan perlindungan kepada siapapun untuk bebas beribadah baik di rumah ataupun tempat ibadah tanpa diganggu sama sekali". Dia melanjutkan penjelasannya yang terkesan melawan logika saya.
"Percuma saja jika masjid, gereja, pura dan klentengmu di bangun megah-megah kalau pada akhirnya masyarakat sekitarnya tidak terbantu oleh bangunan-bangunan kosong itu. Tempat ibadah seharusnya adalah tempat ibadah horizontal, dan ibadah vertikal hanya sebagai pelengkap saja. Jadikanlah tempat ibadah baik masjid, gereja, pura, dan klenteng sebagai sentra membantu kaum miskin dan terlantar, sebagai tolok ukur keberagamaan sebuah bangsa.
Maka hanya dari situlah Islam bisa rahmatallilalamin, Kristen bisa bercinta kasih, Hindu bisa bertrihita karana, Buddha bisa berdharma".Saya mulai mengerti tentang apa yang Mbah Parjo omongkan malam itu. Meskipun saya sulit mencernanya hingga hari kini.
" Semua pasti melalui proses dan ada tingkatannya to Mbah?" Tanyaku lagi. "Lha wong Pelajaran SD saja tidak mungkin dimengerti anak TK, pelajaran anak SMP tidak mungkin dimengerti oleh anak SD dan seterusnya kecuali bagi yang mendapatkan Hidayah. Selebihnya harus melalui proses dan tingkatannya masing-masing, jadi biarkan mereka mencari serta mendapatkan prosesnya sendiri-sendiri agar tingkatannya bisa naik kan Mbah ?".
Mbah Parjo mendadak bangkit dari duduknya dan berlalu begitu saja meninggalkan saya sendirian digelapnya malam yang mulai sepi dan makin mencekam. tanpa mengucapkan sepatah kata apapun, Mbah Parjo terus saja tertawa terkekeh-kekeh dan menghilang ditikungan jalan. Tanpa saya sadari ternyata waktu menunjukkan pukul 12.00 tengah malam.Sampai sekarang saya masih bingung siapakah gerangan kakek itu. Apakah jelmaan Gerenduwo atau orang gila yang jadi gelandangan atau siapa ya?. Hambuhlah..........
No comments: