Slider[Style1]

PSKQ dalam Liputan

Style2

Style3[OneLeft]

Style3[OneRight]

Style4

Style5

Style6

Style7

Style8

Style9

Assiry gombal mukiyo, 24 November  2014

Dalam hidup pasti kita menemukan rentetan peristiwa yang pelik dan sulit. Kesulitan apapun dalam hidup pasti berbarengan dengan kemudahan dan solusinya "inna ma'al al 'usri yusran ".
Jadi yang benar adalah setiap kesulitan pasti diikuti dengan kemudahan. Itu Firman Tuhan bukan kata -kata saya. Kita kadang masih berfikir apatis bahwa setelah kesulitan baru ada kemudahan. Inilah yang membuat kita takut menghadapi setiap persoalan maupun kesulitan hidup ini.


Setiap kesulitan apakah merupakan sebuah teguran atau sebuah ujian untuk naik kelas. Kalau kita pribadi mendapatkan kesulitan, anggaplah itu sebagai teguran dari Allah agar kita introspeksi diri dan berusaha menjadi lebih baik. Tapi kalau kesulitan itu terjadi pada orang lain, betapa pun buruk sifat orang itu, jahat dan amburadulnya orang itu anggaplah itu sebuah ujian bagi dia. Barangkali itu adalah kesempatan dari Tuhan untuk dia naik kelas ke jenjang kebajikan yg lebih tinggi. Dengan bersikap begini, kita senantiasa teringat untuk menjadi lebih baik, dan juga terhindar dari perasaan benci pada orang lain sekecil apapun itu.
Kata Guru saya Mbah Datuk "The way you see the problem is the problem, esse est percipi (to be is to be perceived). Semua stimulus itu sifatnya netral, kita yang memberi arti pada stimulus itu; teguran, ujian, karma, siksa, berkah. Kenyataan itu adanya di kepala kita, bukan di mata kita.

Betapa sering kita diam2 atau tanpa kita sadari mensyukuri kesulitan yang dialami orang lain, kita malah "njilekno" atau "nyokorno" orang lain yang mendapatkan kesulitan dan kesusahan hidup, kemudian lantas menyalahkan orang tersebut tanpa memberi solusi apapun.

Betapa bodoh dan kerdilnya saya yang kadang-kadang masih punya kepongahan dan menggunakan kalimat suci sebagai justifikasi: doa orang yang teraniaya memang didengar Tuhan.
Padahal, apa sih hak atas diri saya menganggap bahwa diri saya sebagai orang yg teraniaya?
Salah satu kejadian yg saya ingat adalah ketika suatu malam sekitar pukul 19.00 WIB, saya silaturrahim ke rumah calon istri saya untuk bertemu Bapak ibunya. Ternnyata masnya dari calon istri saya itu tidak setuju atas hubungan saya dengan adiknya. Dia memaki -maki saya habis -habisan, menghina dan merendah -rendahkan saya karena saya miskin dan ngga punya pekerjaan jelas waktu itu. Bahkan hampir saja saya terkena sebongkah batu besar saat dia melemparkan batu itu ke arah saya. Untung tidak sampai kena, cuma pintu rumah Bapaknya yang pecah terkena lemparannya.

Waktu itu saya hanya bisa mengelus dada, istighfar dalam -dalam Sedih rasanya, dimarahi, diumpat- umpat untuk hal-hal yang menurut saya nggak prinsip. Singkat cerita hubungan saya kandas ditengah jalan.

Beberapa bulan kemudian masnya itu terkena musibah dan terlilit banyak hutang dan mengalami kecelakaan.
Well, Saya kasihan sama dia. I really am. Tapi, walaupun saya berhasil menahan kemunculannya secara nyata, saya harus mengakui bahwa I smugly smiled dan merasa Tuhan sudah memberikan ganjaran pada dia. Padahal, apa hak saya untuk berpikir seperti itu? Just because he did me wrong, it does not mean that I am better than him, or he is worse than me.

Tapi mungkin pengalaman seperti ini yang menjadi bagian dari proses perkembangan psikologis saya.
Seperti kata Jeffrey Lang dalam bukunya Struggling to Surrender
virtue itu harus dicapai manusia melalui evolusi moral-spiritualnya, dengan menggunakan kemampuan untuk memilih, kemampuan untuk menimbang konsekuensi pilihan kita, serta kesulitan yang akan menggoda kita memilih hal yang kurang tepat. Free will, intellect, and adversity.

Virtue adalah bahasa latin yang berarti kebajikan ,kebaikan atau moral, memang tidak bisa di-install. Jika kita ibaratkan diri kita adalah computer, maka yg bisa di-install adalah program untuk spell-check; menghindari word processor dari kata2 yang salah. Tapi kita tidak akan pernah bisa membuat computer itu menjadi computer yang penuh kejujuran.

Semoga, sedikit demi sedikit, pengalaman sepahit dan seburuk apapun yang pernah kita alami akan mengantar kita pada suatu kebajikan. Mungkin saat ini kita baru sampai pada tahap spell-check; menghindari mengucapkan kata-kata kasar secara nyata, sementara kejengkelan belum bisa kita hilangkan. Namun, dengan terus menerus belajar, suatu hari kita tidak perlu spell-check lagi, karena kebajikan itu menjadi bagian yg built-in dalam diri kita.

About Elsya Vera Indraswari

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments:

Post a Comment

Terimakasih telah berkunjung di Pesantren Seni Kaligrafi Al Quran, silahkan meninggalkan pesan, terima kasih


Top