Kudus, 12 Agustus 2019
Muhammad Assiry
Muhammad Assiry
Wakil Rakyat yang menjilat-jilat
mereka mencuri uang rakyat, bukan karena lapar.
Gaji yang mereka terima dari negara, jauh lebih dari cukup untuk makan. Keserakahan menjadikan mereka terus ingin makan apa saja.
mereka mencuri uang rakyat, bukan karena lapar.
Gaji yang mereka terima dari negara, jauh lebih dari cukup untuk makan. Keserakahan menjadikan mereka terus ingin makan apa saja.
Makan aspal, besi, trotoar dan kotorannya sendiri mereka makan. Seisi lautan dan daratan mereka sikat semuanya.
Mereka bahkan lebih rakus dari monyet hutan.
Di hotel-hotel berbintang, mereka berpesta pora berebut nikmat selangkangan dan makan, hanya sedikit yang di makan habis itu tidur dengan artis pilihan agar terlihat beretiket dan elit.
Mereka membayar apa saja dengan mahal untuk prestisius agar disebut bermartabat. Mereka begitu mudah membuang uang, semudah korup, membuang ludah dan kentut.
Tapi, tidak bagi rakyat yang melarat. Di tengah pertumbuhan ekonomi 5 persen saat ini, gelombang pemutusan hubungan kerja terjadi di berbagai perusahaan besar. Kemiskinan seperti akan menyergap, pelan dan pasti habis itu mati.
Kesulitan demi kesulitan akan silih berganti. Tidak semua dapat menahan lapar, seperti Putri Dewi Nilaratih.
Gadis lugu Aceh ini hanya diam, tidak mengeluh.
Dia membiarkan tubuhnya yang loyo bergetar menahan lapar, wajahnya pucat, dan berkeringat. Putri tidak meminta, tidak mengambil yang bukan haknya apalagi berebut kursi. Dia diam menahan pilu meski hatinya berdarah -darah.
Sedangkan pejabat negeri ini pura -pura dungu. Mereka tidur di atas derita dan tangis rakyat dengan nyenyak. Mereka melihat tapi buta.
Sudahkah mereka layak disebut Dewan perwakilan Rakyat. Di Mimbar TV mereka sering omong soal membela hak rakyat. Aku tanya "mewakili dan membela rakyat yang mana?"
Jutaan Putri-Putri lainnya yang Sekolah dan menahan lapar. Sedangkan pendidikan tinggi di negeri para bedebah tidak menjamin kesejahteraan.
Oh di negeri monyet. Semua berebut pisang kekuasaan dan saling membunuh dalam diam namun pasti.
Mereka bahkan lebih rakus dari monyet hutan.
Di hotel-hotel berbintang, mereka berpesta pora berebut nikmat selangkangan dan makan, hanya sedikit yang di makan habis itu tidur dengan artis pilihan agar terlihat beretiket dan elit.
Mereka membayar apa saja dengan mahal untuk prestisius agar disebut bermartabat. Mereka begitu mudah membuang uang, semudah korup, membuang ludah dan kentut.
Tapi, tidak bagi rakyat yang melarat. Di tengah pertumbuhan ekonomi 5 persen saat ini, gelombang pemutusan hubungan kerja terjadi di berbagai perusahaan besar. Kemiskinan seperti akan menyergap, pelan dan pasti habis itu mati.
Kesulitan demi kesulitan akan silih berganti. Tidak semua dapat menahan lapar, seperti Putri Dewi Nilaratih.
Gadis lugu Aceh ini hanya diam, tidak mengeluh.
Dia membiarkan tubuhnya yang loyo bergetar menahan lapar, wajahnya pucat, dan berkeringat. Putri tidak meminta, tidak mengambil yang bukan haknya apalagi berebut kursi. Dia diam menahan pilu meski hatinya berdarah -darah.
Sedangkan pejabat negeri ini pura -pura dungu. Mereka tidur di atas derita dan tangis rakyat dengan nyenyak. Mereka melihat tapi buta.
Sudahkah mereka layak disebut Dewan perwakilan Rakyat. Di Mimbar TV mereka sering omong soal membela hak rakyat. Aku tanya "mewakili dan membela rakyat yang mana?"
Jutaan Putri-Putri lainnya yang Sekolah dan menahan lapar. Sedangkan pendidikan tinggi di negeri para bedebah tidak menjamin kesejahteraan.
Oh di negeri monyet. Semua berebut pisang kekuasaan dan saling membunuh dalam diam namun pasti.
No comments: