assiry gombal mukiyo, 15 Desember 2014
Kaligrafi kontemporer menurut hemat saya adalah sebuah karya yang “menyimpang” atau "keluar ” dari rumus-rumus dasar baku kaligrafi, atau tidak lagi terikat oleh patokan Seni Rupa yang merupakan bentuk manifestasi gagasan dalam wujud visual. Bisa juga saya sebut sebagai "Kaligrafi Sinthing".
Secara estetika kaligrafi kontemporer mengacu kepada kaidah penciptaan seni rupa kontemporer secara umum dan secara etika bersumber kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits, yang membawa muatan artistik-apresiatif yang berfungsi sebagai tontonan (media apresiasi), di sisi lain mengandung muatan etik-religius yang berfungsi sebagai tuntunan (media dakwah).
Selain kaligrafi murni, dalam dunia kaligrafi juga mengenal lukis kaligrafi. Meski terkesan mendikotomi, lukis kaligrafi tidak lebih hanya sebuah perkembangan media yang tidak hanya “terpenjara” di atas kertas. Tidak hanya di tanah air, lukisan di Timur Tengah juga telah banyak mengambil objek-objek huruf sebagai bagian yang utama.
Seperti “Samudra Fatihah” yang pernah dilukis oleh Guru saya Pak.Didin Sirajuddin misalnya, kaligrafi surat Alfatihah dilukis dengan sebuah objek samudra. Di sinilah letak saling mendukung antara kaligrafi dengan objek lukisan. Seolah keduanya merupakan fondasi keindahan sebuah objek yang dihasilkan.
Kaligrafi kontemporer pun bisa menerapkan kaligrafi murni. Seperti beberapa karya saya misalnya, yang lebih asik dan menikmati ketika saya menerapkan kaligrafi murni dalam media lukis ataupun 3 Dimensi. Lain halnya dengan Amang Rahman misalnya, beliau sudah terkenal dengan lukisan batiknya. Amang Rahman melukis kaligrafi dengan tanpa memperhatikan kaidah baku kaligrafi yang diterapkan Hasyim Muhammad.
Di tanah air, banyak “aliran” lukis kaligrafi kontemporer yang terkenal. Seperti A.D. Pirous, Amang Rahman, dan masih banyak yang lainnya. Seolah memiliki “trade mark” tersendiri, satu dengan yang lainnya mempunyai karakter berbeda ketika membuat sebuah lukisan kaligrafi.
Di luar negeri, khususnya di Timur Tengah, lukis kaligrafi kontemporer biasanya menampilkan objek-objek huruf yang tidak “terpatok” pada arti. Namun huruf bisa berdiri sendiri.
Lukis kaligrafi kontemporer memiliki keunikan tersendiri karena seni lukis dan bentuk huruf saling melengkapi. Dan, lengkaplah keindahan tertanam dalam sebuah objek lukisan.
Kaligrafi Islam kontemporer merupakan “pemberontakan” atas kaidah-kaidah murni kaligrafi klasik. Perkembangannya sangat pesat menjejali aneka media dalam bentuk-bentuk kategori. Mazhab tersebut berusaha lepas dari kelaziman khath atau kaligrafi murni yang banyak dipegang para khathath di banyak pesantren dan perguruan Islam, seperti Naskhi, Tsuluts, Farisi ,Diwani Diwani Jali, Kufi, dan Riq’ah.
Di antara ciri-ciri “pelanggaran” yang menunjuk pada bukti kebebasan kreatif yang menghasilkan gaya berbeda ini dapat disimpulkan dari kemungkinan-kemungkinan berikut:
Sepenuhnya berdiri sendiri sebagai suguhan khas pelukisnya, dengan mengabaikan sama sekali bentuk anatomi huruf khath murni. Bentuk ini merupakan eksplorasi teknik dan kebebasan ekspresi penuh sang pelukis.Merupakan kombinasi antara hasil imajinasi pelukis dengan gaya murni yang populer. Pada bagain ini , karya kontemporer masih mewarisi bentuk tradisionalnya.
Gaya kontemporer juga lebih mengarah kepada kecenderungan tema, yakni karya dua dimensi atau tiga dimensi yang menghadirkan unsur kaligrafi “secara mandiri” dan dilatari unsur lain dalam kesatuan estetik dengan penampilan sebagai gaya ungkapan, media, dan teknik. Wujud nyata alam pada karya-karya dihadirkan melauli penggambaran nyata berupa pemandangan, benda-benda, dan peristiwa.
Ciri tertentu dari gaya kaligrafi yang baru ini berbeda dari satu daerah ke daerah lain, tetapi tidak nampak perbedaan yang menonjol dari satu wilayah dalam mengembangkan seni Islam kuno tersebut. Bukan berati bahwa hasil karya para kaligrafer dewasa ini tidak memperlihatakan keragaman corak. Keragaman corak itu ada, tetapi keragaman corak itu lebih didasarkan pada variasi adaptif pengaruh dari dunia non-Islam bukan dari ciri nasional. Kalaupun harus ditetapkan kategori atas kecendrungan kaligrafi kontemporer di dunia Islam, kebanyakan gaya baru itu akan terbagi menjadi kategori-kategori berikut: Tradisional, Figural, Ekspresionis, Simbolik, dan Abstrak.
1. Kaligrafi Tradisional
Tipe ini dihasilkan oleh para kaligrafer kontemporer muslim dalam berbagai gaya dan tulisan yang telah dikenal generasi kaligrafer terdahulu. Pemakaian kata “tradisional” menunjukan kesenian dengan tradisi khath masa lalu. Pesan-pesan yang lebih ditekankan pada pengaturan yang indah dari huruf-huruf ketimbang menapilkan lukisan kaligrafi dalam bentuk pigura alam. Meskipun demikian, terdapat juga kaligrafer tradisional yang melukis kaligrafi dalam pola dedaunan atau motif-motif bunga dan pola-pola geometris. Namun, efek keseluruhan karya kontemporer para kaligrafer tradisional adalah abstrak.
2. Kaligrafi Figural
Kaligrafi kontemporer disebut sebagai “figural” karena ia menggambungkan motif-motif figural dengan unsur-unsur kaligrafi melalui berbagai cara dan gaya. Unsur-unsur figural lazimnya terbatas pada motif-motif daun atau bunga yang dilukiskan agar lebih sesuai dengan sifat abstrak kaligrafi Islam. Figur-figur manusia atau binatang biasanya jarang ditemukan dalam naskah-naskah al-Qur’an yang ditulis secara kaligrafis, dalam dekorasi masjid atau madrasah. Tipe terakhir ini lebih banyak digunakan pada perkakas rumah tangga. Dalam tipe figural, sering terjadi “peleburan” huruf dalam seni lukis masa lalu dan kontemporer. Dalam desain seperti ini, huruf-huruf diperpanjang atau diperpendek, melebar dan menyelip, atau diperinci dengan perluasan lingkaran, tanda-tanda tambahan dan sisipan lain yang dibuat agar sesuai dengan non-kaligrafis, geometris, floral, fauna, atau sosok manusia.
3. Kaligrafi Ekspresionis
Kaligrafi ekspresionis merupakan tipe ketiga seni kaligrafi kontemporer di dumia Islam kini. Gaya ini berhubungan dengan perkembangan utama dalam estetika Barat. Meskipun para kaligrafer ekspresionis menggunakan “Perbendaharaan Kata” warisan artistik Islam, mereka jauh berpindah dari contoh “Grammar” kaligrafi asli yang sudah baku. Dalam kaligrafi ekspresionis, perlu diusahakan penyampaian pesan emosional, visual, dan respon pribadi terhadap objek-objek, orang-orang atau peristiwa yang digambarkan.
4. Kaligrafi Simbolis
Kategori keempat kaligrafi Islam kontemporer termasuk apa yang disebut kaligrafi “Simbolis” dengan memaksakan “penyatuan melalui kombinasi makna-makna”, peranan huruf-huruf sebagai penyampaian pesan dinaifkan. Bukti dari akulturasi semacam ini sangat kentara dalam desain-desain kaligrafi kontemporer yang menggunakan huruf atau kata Arab tertentu sebagai simbol suatu gagasan atau ide-ide yang kompleks. Misalnya huruf sin diasosiasikan dengan sayf (pedang) atau sikkin (pisau) yang lazimnya disandingkan bersama penggambaran objek-objek asosiasi untuk menyampaikan “pesan-pesan khususnya”. Bagi sebagian kalangan, hampir semua huruf bisa dipahami secara simbolik, meskipun tidak disetujui sebagian yang lain.
5. Kaligarafi Abstrak
Gaya kelima kaligrafi Islam kontemporer ini dijuluki “khat palsu” atau “khat kabur mutlak“ karena menunjukkan corak-corak seni yang menyamai huruf-huruf atau perkataan-perkataan tetapi tidak mengandung makna apapun yang dapat dikaitkan dengannya. Dengan menafikan makna lingustik, huruf-huruf itu hanya menjadi unsur sesuatu corak dan untuk “tujuan-tujuan” seni semata. Melalui penggunaan unsur-unsur abjad yang berubah-ubah itu, ahli-ahli kaligrafi abstrak menggunakan huruf-huruf sebagi corak, tidak sebagai unsur-unsur suatu pesan.
Keragaman corak dari beberapa kategori tersebut di atas, sama-sama ingin menghadirkan (menciptakan) sebuah karya seni sebagai wujud dari ekspresi estetika dan etika islami seorang seniman. Perbedaan yang sangat menonjol hanya terletak pada karakteristik yang berusaha ditampilkan dan media yang digunakan oleh masing-masing seniman sebagai perupayat (pelukis kaligrafi).
Seni rupa kontemporer Islam yang berkembang di Indonesia – termasuk di dalamnya seni lukis kaligrafi– memang membuat masyarakat terkejut dan menimbulkan berbagai pandangan di kalangan seniman muslim, karena kehadirannya yang tiba-tiba populer di tahun ’70-an. Padahal ia tidak muncul begitu saja, melainkan melalui pergumulan ide yang panjang, hingga tumbuh subur di kalangan seniman kita beberapa waktu terakhir ini, terutama sejak diadakannya pameran Seni Kaligrafi Islam pada MTQ XI di Semarang (1979) dan pameran pada Muktamar Media Masa Islam se-Dunia I di Balai Sidang Senayan Jakarta (1-3 September 1980).
Pelopor mazhab ini adalah Ahmad Sadali dan A.D. Pirous (Bandung) diikuti oleh Amri Yahya (Yogyakarta) dan Amang Rahman (Surabaya). Ajaran-ajaran mereka dengan cepat menyebar dan diikuti para pelukis di kampus-kampus seni rupa. Di Yogyakarta, “generasi kedua” sesudah mereka antara lain, Syaiful Adnan, Hatta Hambali, Hendra Buana, Yetmon Amier, dan lain-lain dengan aneka teknik dan gayanya masing-masing.
Illustrasi:
-Gambar 1. dari kiri karya kaligrafi kontemporer Sabah Arbilli dari Inggris. Sabah Arbili juga pernah juara 1 Kaligrafi Tsulust dan Naskhi Tingkat Dunia di Turki IRCICA.2013
-Gambar 2. Santri -santri PSKQ Modern angkatan 2008 tampak Nukman Aceh, Rifqi Nashrullah Jatim, dan Aziz Kurniawan sedang praktek membuat lukisan Kaligrafi kontemporer di Asrama 1PSKQ Modern.
-Gambar 3 dan 4 adalah karya saya dengan dua konsep yang berbeda gambar 3.dengan gaya kontemporer tapi tetap berpedoman pada kaligrafi kaidah seperti dalam gambar dengan kombinasi ayat Annur saya buat th.2010 dan gambar 4. Kaligrafi kontemporer abstrak ( kabur mutlak).th 2013
Kaligrafi kontemporer menurut hemat saya adalah sebuah karya yang “menyimpang” atau "keluar ” dari rumus-rumus dasar baku kaligrafi, atau tidak lagi terikat oleh patokan Seni Rupa yang merupakan bentuk manifestasi gagasan dalam wujud visual. Bisa juga saya sebut sebagai "Kaligrafi Sinthing".
Secara estetika kaligrafi kontemporer mengacu kepada kaidah penciptaan seni rupa kontemporer secara umum dan secara etika bersumber kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits, yang membawa muatan artistik-apresiatif yang berfungsi sebagai tontonan (media apresiasi), di sisi lain mengandung muatan etik-religius yang berfungsi sebagai tuntunan (media dakwah).
Selain kaligrafi murni, dalam dunia kaligrafi juga mengenal lukis kaligrafi. Meski terkesan mendikotomi, lukis kaligrafi tidak lebih hanya sebuah perkembangan media yang tidak hanya “terpenjara” di atas kertas. Tidak hanya di tanah air, lukisan di Timur Tengah juga telah banyak mengambil objek-objek huruf sebagai bagian yang utama.
Seperti “Samudra Fatihah” yang pernah dilukis oleh Guru saya Pak.Didin Sirajuddin misalnya, kaligrafi surat Alfatihah dilukis dengan sebuah objek samudra. Di sinilah letak saling mendukung antara kaligrafi dengan objek lukisan. Seolah keduanya merupakan fondasi keindahan sebuah objek yang dihasilkan.
Kaligrafi kontemporer pun bisa menerapkan kaligrafi murni. Seperti beberapa karya saya misalnya, yang lebih asik dan menikmati ketika saya menerapkan kaligrafi murni dalam media lukis ataupun 3 Dimensi. Lain halnya dengan Amang Rahman misalnya, beliau sudah terkenal dengan lukisan batiknya. Amang Rahman melukis kaligrafi dengan tanpa memperhatikan kaidah baku kaligrafi yang diterapkan Hasyim Muhammad.
Di tanah air, banyak “aliran” lukis kaligrafi kontemporer yang terkenal. Seperti A.D. Pirous, Amang Rahman, dan masih banyak yang lainnya. Seolah memiliki “trade mark” tersendiri, satu dengan yang lainnya mempunyai karakter berbeda ketika membuat sebuah lukisan kaligrafi.
Di luar negeri, khususnya di Timur Tengah, lukis kaligrafi kontemporer biasanya menampilkan objek-objek huruf yang tidak “terpatok” pada arti. Namun huruf bisa berdiri sendiri.
Lukis kaligrafi kontemporer memiliki keunikan tersendiri karena seni lukis dan bentuk huruf saling melengkapi. Dan, lengkaplah keindahan tertanam dalam sebuah objek lukisan.
Kaligrafi Islam kontemporer merupakan “pemberontakan” atas kaidah-kaidah murni kaligrafi klasik. Perkembangannya sangat pesat menjejali aneka media dalam bentuk-bentuk kategori. Mazhab tersebut berusaha lepas dari kelaziman khath atau kaligrafi murni yang banyak dipegang para khathath di banyak pesantren dan perguruan Islam, seperti Naskhi, Tsuluts, Farisi ,Diwani Diwani Jali, Kufi, dan Riq’ah.
Di antara ciri-ciri “pelanggaran” yang menunjuk pada bukti kebebasan kreatif yang menghasilkan gaya berbeda ini dapat disimpulkan dari kemungkinan-kemungkinan berikut:
Sepenuhnya berdiri sendiri sebagai suguhan khas pelukisnya, dengan mengabaikan sama sekali bentuk anatomi huruf khath murni. Bentuk ini merupakan eksplorasi teknik dan kebebasan ekspresi penuh sang pelukis.Merupakan kombinasi antara hasil imajinasi pelukis dengan gaya murni yang populer. Pada bagain ini , karya kontemporer masih mewarisi bentuk tradisionalnya.
Gaya kontemporer juga lebih mengarah kepada kecenderungan tema, yakni karya dua dimensi atau tiga dimensi yang menghadirkan unsur kaligrafi “secara mandiri” dan dilatari unsur lain dalam kesatuan estetik dengan penampilan sebagai gaya ungkapan, media, dan teknik. Wujud nyata alam pada karya-karya dihadirkan melauli penggambaran nyata berupa pemandangan, benda-benda, dan peristiwa.
Ciri tertentu dari gaya kaligrafi yang baru ini berbeda dari satu daerah ke daerah lain, tetapi tidak nampak perbedaan yang menonjol dari satu wilayah dalam mengembangkan seni Islam kuno tersebut. Bukan berati bahwa hasil karya para kaligrafer dewasa ini tidak memperlihatakan keragaman corak. Keragaman corak itu ada, tetapi keragaman corak itu lebih didasarkan pada variasi adaptif pengaruh dari dunia non-Islam bukan dari ciri nasional. Kalaupun harus ditetapkan kategori atas kecendrungan kaligrafi kontemporer di dunia Islam, kebanyakan gaya baru itu akan terbagi menjadi kategori-kategori berikut: Tradisional, Figural, Ekspresionis, Simbolik, dan Abstrak.
1. Kaligrafi Tradisional
Tipe ini dihasilkan oleh para kaligrafer kontemporer muslim dalam berbagai gaya dan tulisan yang telah dikenal generasi kaligrafer terdahulu. Pemakaian kata “tradisional” menunjukan kesenian dengan tradisi khath masa lalu. Pesan-pesan yang lebih ditekankan pada pengaturan yang indah dari huruf-huruf ketimbang menapilkan lukisan kaligrafi dalam bentuk pigura alam. Meskipun demikian, terdapat juga kaligrafer tradisional yang melukis kaligrafi dalam pola dedaunan atau motif-motif bunga dan pola-pola geometris. Namun, efek keseluruhan karya kontemporer para kaligrafer tradisional adalah abstrak.
2. Kaligrafi Figural
Kaligrafi kontemporer disebut sebagai “figural” karena ia menggambungkan motif-motif figural dengan unsur-unsur kaligrafi melalui berbagai cara dan gaya. Unsur-unsur figural lazimnya terbatas pada motif-motif daun atau bunga yang dilukiskan agar lebih sesuai dengan sifat abstrak kaligrafi Islam. Figur-figur manusia atau binatang biasanya jarang ditemukan dalam naskah-naskah al-Qur’an yang ditulis secara kaligrafis, dalam dekorasi masjid atau madrasah. Tipe terakhir ini lebih banyak digunakan pada perkakas rumah tangga. Dalam tipe figural, sering terjadi “peleburan” huruf dalam seni lukis masa lalu dan kontemporer. Dalam desain seperti ini, huruf-huruf diperpanjang atau diperpendek, melebar dan menyelip, atau diperinci dengan perluasan lingkaran, tanda-tanda tambahan dan sisipan lain yang dibuat agar sesuai dengan non-kaligrafis, geometris, floral, fauna, atau sosok manusia.
3. Kaligrafi Ekspresionis
Kaligrafi ekspresionis merupakan tipe ketiga seni kaligrafi kontemporer di dumia Islam kini. Gaya ini berhubungan dengan perkembangan utama dalam estetika Barat. Meskipun para kaligrafer ekspresionis menggunakan “Perbendaharaan Kata” warisan artistik Islam, mereka jauh berpindah dari contoh “Grammar” kaligrafi asli yang sudah baku. Dalam kaligrafi ekspresionis, perlu diusahakan penyampaian pesan emosional, visual, dan respon pribadi terhadap objek-objek, orang-orang atau peristiwa yang digambarkan.
4. Kaligrafi Simbolis
Kategori keempat kaligrafi Islam kontemporer termasuk apa yang disebut kaligrafi “Simbolis” dengan memaksakan “penyatuan melalui kombinasi makna-makna”, peranan huruf-huruf sebagai penyampaian pesan dinaifkan. Bukti dari akulturasi semacam ini sangat kentara dalam desain-desain kaligrafi kontemporer yang menggunakan huruf atau kata Arab tertentu sebagai simbol suatu gagasan atau ide-ide yang kompleks. Misalnya huruf sin diasosiasikan dengan sayf (pedang) atau sikkin (pisau) yang lazimnya disandingkan bersama penggambaran objek-objek asosiasi untuk menyampaikan “pesan-pesan khususnya”. Bagi sebagian kalangan, hampir semua huruf bisa dipahami secara simbolik, meskipun tidak disetujui sebagian yang lain.
5. Kaligarafi Abstrak
Gaya kelima kaligrafi Islam kontemporer ini dijuluki “khat palsu” atau “khat kabur mutlak“ karena menunjukkan corak-corak seni yang menyamai huruf-huruf atau perkataan-perkataan tetapi tidak mengandung makna apapun yang dapat dikaitkan dengannya. Dengan menafikan makna lingustik, huruf-huruf itu hanya menjadi unsur sesuatu corak dan untuk “tujuan-tujuan” seni semata. Melalui penggunaan unsur-unsur abjad yang berubah-ubah itu, ahli-ahli kaligrafi abstrak menggunakan huruf-huruf sebagi corak, tidak sebagai unsur-unsur suatu pesan.
Keragaman corak dari beberapa kategori tersebut di atas, sama-sama ingin menghadirkan (menciptakan) sebuah karya seni sebagai wujud dari ekspresi estetika dan etika islami seorang seniman. Perbedaan yang sangat menonjol hanya terletak pada karakteristik yang berusaha ditampilkan dan media yang digunakan oleh masing-masing seniman sebagai perupayat (pelukis kaligrafi).
Seni rupa kontemporer Islam yang berkembang di Indonesia – termasuk di dalamnya seni lukis kaligrafi– memang membuat masyarakat terkejut dan menimbulkan berbagai pandangan di kalangan seniman muslim, karena kehadirannya yang tiba-tiba populer di tahun ’70-an. Padahal ia tidak muncul begitu saja, melainkan melalui pergumulan ide yang panjang, hingga tumbuh subur di kalangan seniman kita beberapa waktu terakhir ini, terutama sejak diadakannya pameran Seni Kaligrafi Islam pada MTQ XI di Semarang (1979) dan pameran pada Muktamar Media Masa Islam se-Dunia I di Balai Sidang Senayan Jakarta (1-3 September 1980).
Pelopor mazhab ini adalah Ahmad Sadali dan A.D. Pirous (Bandung) diikuti oleh Amri Yahya (Yogyakarta) dan Amang Rahman (Surabaya). Ajaran-ajaran mereka dengan cepat menyebar dan diikuti para pelukis di kampus-kampus seni rupa. Di Yogyakarta, “generasi kedua” sesudah mereka antara lain, Syaiful Adnan, Hatta Hambali, Hendra Buana, Yetmon Amier, dan lain-lain dengan aneka teknik dan gayanya masing-masing.
Illustrasi:
-Gambar 1. dari kiri karya kaligrafi kontemporer Sabah Arbilli dari Inggris. Sabah Arbili juga pernah juara 1 Kaligrafi Tsulust dan Naskhi Tingkat Dunia di Turki IRCICA.2013
-Gambar 2. Santri -santri PSKQ Modern angkatan 2008 tampak Nukman Aceh, Rifqi Nashrullah Jatim, dan Aziz Kurniawan sedang praktek membuat lukisan Kaligrafi kontemporer di Asrama 1PSKQ Modern.
-Gambar 3 dan 4 adalah karya saya dengan dua konsep yang berbeda gambar 3.dengan gaya kontemporer tapi tetap berpedoman pada kaligrafi kaidah seperti dalam gambar dengan kombinasi ayat Annur saya buat th.2010 dan gambar 4. Kaligrafi kontemporer abstrak ( kabur mutlak).th 2013
Kaligrafi Kontemporer karya Sabah Arbilli |
Santri PSKQ Modern sedang belajar Kaligrafi Kontemporer |
Kaligrafi Kontemporer Karya Muhammad Assiry Jasiri Pengasuh PSKQ Modern |
No comments: